Menuju konten utama

Tepatkah Meta Melabeli Pemeriksa Fakta sebagai Penyensor?

Lembaga pemeriksa fakta tak bisa hapus konten di platform-platform Meta. Mereka juga terbuka pada kritik dan perbaikan.

Tepatkah Meta Melabeli Pemeriksa Fakta sebagai Penyensor?
Terlihat di layar sebuah perangkat di Sausalito, California, CEO Facebook Mark Zuckerberg mengumumkan nama baru mereka, Meta, dalam sebuah acara virtual pada Kamis, 28 Oktober 2021. Zuckerberg membicarakan hasrat terbarunya -- menciptakan realitas virtual " metaverse" untuk bisnis, hiburan, dan interaksi sosial yang bermakna. (Foto AP/Eric Risberg)

tirto.id - Meta mengumumkan keputusannya mengakhiri program kerja sama dengan pemeriksa fakta pihak ketiga pada Selasa (7/1/2025). Meta berencana untuk mengembangkan sistem catatan komunitas (community notes) yang serupa dengan fitur di aplikasi X. Kebijakan perusahaan itu akan segera dimulai di Amerika Serikat (AS).

CEO Meta, Mark Zuckerberg, mengumumkan kebijakan korporasi itu lewat video pendekberdurasi sekitar lima menit, Selasa (7/1) pagi, waktu setempat.

Setelah Trump pertama kali terpilih pada 2016, media konvensional menulis tanpa henti tentang bagaimana misinformasi merupakan ancaman bagi demokrasi. Kami mencoba dengan iktikad baik untuk mengatasi masalah tersebut dengan menghindari menjadi penentu kebenaran. Namun, pemeriksa fakta terlalu bias secara politis dan telah menghancurkan lebih banyak kepercayaan daripada [kepercayaan] yang mereka bentuk, terutama di AS. Jadi, selama beberapa bulan ke depan, kami akan menerapkan sistem catatan komunitas yang lebih komprehensif,” ujar Zuckerberg.

Bersamaan dengan video tersebut, Chief of Global Affairs Meta, Joel Kaplan, juga memberi penjelasan dalam sebuah unggahan blog. Kaplan menyoroti cara pemeriksa fakta memilih konten dan pendedahannya yang disebutnya diliputi bias.

Menurut dia, hal tu berujung pada terlalu banyaknya konten yang diperiksa faktanya. Dampaknya, program ini dipandang malah menjadi alat untuk sensor informasi ke publik.

Kami sekarang mengubah pendekatan ini. Kami akan mengakhiri program pemeriksaan fakta pihak ketiga, saat ini di Amerika Serikat, dan sebagai gantinya mulai beralih ke program catatan komunitas,” terang Kaplan.

Kami pikir ini bisa menjadi cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan awal kami dalam menyediakan informasi kepada orang-orang tentang apa yang mereka lihat–dan yang tidak terlalu rentan terhadap bias.”

Zuckerberg dan Kaplan juga menyebut bahwa mereka semula membuat sistem moderasi konten yang kompleks. Namun, mereka lantas menganggap hal tersebut justru menjurusmenjadipenyensoran.

Kami ingin membatalkan perluasan misi yang telah membuat aturan kami terlalu ketat dan terlalu rentan terhadap penegakan hukum yang berlebihan. Kami menyingkirkan sejumlah pembatasan pada topik seperti imigrasi, identitas gender, dan gender yang sering menjadi pokok bahasan wacana dan perdebatan politik. Tidaklah benar jika sesuatu itu dapat dibicarakan di TV atau di Gedung Kongres, tapi malah tidak di platform kami,” tambah Kaplan.

Lantas, tepatkah anggapan para petinggi Meta itu bahwa pemeriksa fakta cenderung menjadi penyensor informasi?

Cara Kerja Pemeriksa Fakta Pihak Ketiga

Zuckerberg menyoroti soal penyensoran dan kebebasan berekspresi di media sosial, termasuk di Facebook, Instagram, dan Threads yang berada di bawah Meta. “Sensor” dan “kebebasan ekspresi” menjadi dua kata yang dominanmuncul dalam pesan Zuckerberg.

Dari transkripisi pesannya, dua kata itu muncul setidaknya lima kali dan termasuk sebagai frasa yang paling sering dia ucapkan dalam video monolog tersebut. Pun penghapusan konten disebut sebagai salah satu sarana sensor tersebut.

Padahal, Meta dalam praktiknya cenderung jarang menghapus konten dari platformnya. Jika pun terjadi penghapusan konten, keputusan tersebut berasal dari Meta, bukan dari lembaga pemeriksa fakta. Hal ini tercantum dalam laporan program yang mereka buat.

Pemeriksa fakta pihak ketiga dalam program Meta tidak pernah memiliki wewenang untuk mengapus konten dalam platform. Ketentuan ini juga tercantum dalam deskripsi programPemeriksa Fakta Pihak Ketiga yang dibuat Meta.

"Pemeriksa fakta tidak menghapus konten, akun, atau halaman dari aplikasi kami," demikian penjelasan resmi Meta.

Dalam tanggapan resmi atas kebijakan Meta tersebut, Institut Poynter(lembaga jurnalisme nirlaba yang mewadahi International Fact-Checking Network—IFCN) menegaskan bahwa lembaga pemeriksa fakta menawarkan tinjauan independen yang menjabarkan sumber resmi sebagai referensinya.

"Fakta bukanlah penyensoran. Pemeriksa fakta tidak melakukan sensor terhadap apa pun. Meta selalu yang menjadi pemegang kendali. Sudah saatnya berhenti menggunakan bahasa yang menghasut dan salah dalam menggambarkan peran jurnalis dan pemeriksa fakta," ujar Presiden Poynter Institute, Neil Brown.

Dalam program kerja sama dengan pemeriksa fakta pihak ketiga, Meta menyorot beberapa potensi misinformasi yang beredar di platformnya. Basis penentuannya berdasar pada beberapa variabel, di antaranya seberapa cepat konten tersebut menyebar dan bagaimana orang-orang meresponnya, perangkat yang mereka sebut sebagai community feedback, serta deteksi kata kunci selama peristiwa besar atau topik yang menjadi tren.

Konten yang berpeluang menjadi misinformasi itu kemudian dihimpun dalam satu platform. Pemeriksa fakta kemudian melakukan peninjauan dan menggunakan standar editorial masing-masing organisasi untuk menentukan kelayakan suatu konten untuk diperiksa kebenarannya.

Tugas pemeriksa fakta selanjutnya adalah membuat pelaporan hasil penelusuran menggunakan informasi dari sumber primer, wawancara, data publik, ataupun analisis.

Setelah pemeriksa fakta pihak ketiga memublikasikan laporan potensi mis/disinformasi di platform, Meta akan mengurangi distribusi konten tersebut.

“Setiap kali pemeriksa fakta menilai suatu konten sebagai salah, kami mengurangi distribusi konten tersebut secara signifikan sehingga lebih sedikit orang yang melihatnya,” begitu tulis Meta dalam situs resminya.

Konten tersebut juga akan mendapat label peringatan tersendiri agar orang sadar tentang potensi persebaran informasi salah yang akan dibagikan ulang.

"Kami memberi tahu orang-orang yang sebelumnya membagikan konten tersebut atau mencoba membagikannya bahwa informasi tersebut salah dan menerapkan label peringatan yang bertaut ke artikel pemeriksa fakta, membantah klaim tersebut dengan pelaporan asli,” demikian keterangan Meta.

Meta juga menggunakan artificial intelligence (AI) untuk meningkatkan skala pekerjaan pemeriksa fakta dengan menerapkan label peringatan pada duplikat klaim palsu dan mengurangi distribusinya.

Program pemeriksaan fakta juga terbuka untuk kritik dan menerima perbaikan. Pemilik konten dapat mengajukan banding atas keputusan pemeriksa fakta. Jika memenuhi ketentuan, pemilik konten dapat melakukan klarifikasi dan memperbaiki isi unggahan untuk kemudian menghilangkan label misinformasi yang tersemat.

Program pemeriksaan fakta oleh pihak ketiga juga terbilang mendapat respons positif dari pengguna aplikasi-aplikasi Meta. Dalam informasiyang dipublikasikan pada Juni 2021, Meta mengatakan bahwa, “Kami tahu program ini berhasil dan orang-orang merasa layar peringatan yang kami terapkan pada konten bermanfaat setelah mitra pemeriksa fakta menilainya. Kami menyurvei orang-orang yang telah melihat layar peringatan ini di platform dan menemukan bahwa 74 persen orang merasa puas dengan jumlah konten yang mendapat label atau terbuka untuk melihat lebih banyak label informasi palsu. Terdapat juga 63 persen orang merasa layar peringatan diterapkan secara adil.”

Citra Penyensor Konten bagi Pemeriksa Fakta

SeturutlaporanPoynter, keputusan Meta untuk beralih ke sistem catatan komunitas bakal berdampak langsung terhadap kontrak Meta dengan 10 mitra pemeriksa fakta di AS. Sejauh ini, memang hanya program di AS yang terdampak setelah pengumuman dari Zuckerberg.

Berdasar informasi dari situs resminya, Meta memiliki kontrak pemeriksaan fakta dengan 119 organisasi yang tersebar di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, Meta berkolaborasi denganTirto, AFP, Kompas, Liputan 6, Mafindo, dan Tempo. Pihak Meta Asia Pasifik telah memastikan bahwa sampai saat ini, tidak ada dampak terhadap mitra pemeriksa fakta di luar wilayah AS.

Sementara itu, IFCN menyayangkan keputusan Meta mengakhiri program pemeriksaan fakta oleh pihak ketiga.

“Keputusan itu akan merugikan pengguna media sosial yang mencari informasi akurat dan dapat diandalkan untuk membuat keputusan tentang kehidupan sehari-hari dan interaksi mereka dengan teman dan keluarga,” sebut Direktur IFCN, Angie Holan, dalam keterangan resminya.

Jurnalisme pemeriksaan fakta tidak pernah menyensor atau menghapus unggahan. Jurnalisme ini justru menambahkan informasi dan konteks atas klaim kontroversial serta menyanggah konten hoax dan teori konspirasi. Pemeriksa fakta yang digunakan oleh Meta mengikuti Kode Prinsip yang mengharuskannya nonpartisan dan transparan,” tambah Holan.

Mengutip Business Insider, IFCN juga melangsungkan pertemuan darurat dengan para anggotanya sehari setelah pengumuman dari Meta, tepatnya pada Rabu (8/1/2025).

Sebagai catatan, tidak semua lembaga pemeriksa fakta anggota IFCN adalah mitra pemeriksa fakta Meta. Namun, hampir semua memiliki kepentingan terhadap masa depan program tersebut dan implikasinya secara global.

Dalam wawancara eksklusif dengan Business Insider, Holan mendeskripsikan nuansa muram dan frustrasi yang melingkupilembaga-lembaga pemeriksa fakta.

"Para pemeriksa fakta kecewa karena mereka melihat diri mereka sebagai mitra yang memiliki hubungan baik dengan Meta dalam melakukan pekerjaan penting untuk menjadikan platform yang akurat dan andal," ujarnya.

Holan juga menekankan bahwa pemeriksa fakta, lagi-lagi, tidak bertanggung jawab untuk menghapus konten. Mereka hanya dapat memberi label terhadap konten yang menyesatkan dan mencegah kemungkinannya menjadi tambah viral.

"Ini bukan terkait upaya menyensor konten, tapi tentang menambahkan konteks untuk mencegah klaim palsu menjadi viral," tambah Holan.

Holan juga menyoroti dampak finansial bagi organisasi-organisasi pemeriksa fakta, terutama yang bergantung pada pendanaan dari Meta.

"Pemeriksaan fakta tidak akan hilang dan banyak organisasi yang kuat telah ada sebelum program Meta dan akan terus ada setelahnya," kata Holan. "Namun, beberapa inisiatif pemeriksa fakta dibuat karena dukungan Meta dan itu akan rentan."

Menurut survei IFCNyangdilakukan terhadap 137 organisasi pemeriksa fakta di 69 negara selama Januari-Maret 2024, pendanaan dari Meta dah hibah masih menjadi sumber pendapatan utama lembaga-lembaga pemeriksa fakta.

Pendanaan dari Meta menjadi sumber pendapatan kedua paling banyak bagi mayoritas anggota IFCN. Ia hanya kalah dari hibah, tapi masih lebih dominan ketimbang pelatihan dan keanggotan atau donasi dari audiens.

Laporan IFCN tersebut juga menunjukkan bahwa mayoritas lembaga yang disurvei (63,5 persen) merupakan mitra pemeriksa fakta pihak ketiga dari Meta.

Sejumlah lembaga pemeriksa fakta internasional juga telah mengeluarkan pernyataan resmi terkait kebijakan Meta. European Fact-Checking Standards Network (EFCSN), misalnya, mengungkapkan kekecewaannya. Mereka dengan tegas menyebut bahwa pemeriksaan fakta bukanlah upaya melakukan sensor.

Senada, PolitiFact, salah satu rekan pemeriksa fakta dari AS yang terdampak kebijakan Meta, juga menekankan bahwa pemeriksa fakta di Negeri Paman Sam tidak pernah melakukan sensor ataupun menghapus konten.

Mereka justru membantu Meta dalam menegakkan aturan yang dibuat di masing-masing media sosial.

"Kabar baiknya, PolitiFact dibuat pada 2007, jauh sebelum Facebook meluncurkan inisiatif pemeriksaan fakta. Saat itu, kami memeriksa lebih banyak pesan berantai daripada unggahan Facebook. Komitmen kami tidak berubah selama 17 tahun. Kami akan tetap melanjutkannya lagi.”

Sementara itu, Congo Check menyarankan Meta untuk kembali mempertimbangkan keputusannya dan berdiskusi dengan mitra pemeriksa fakta untuk menemukan alternatif yang terbaik.

"Ini adalah waktu terburuk untuk menghentikan program, sementara deep fake telah menjadi lebih dekat dengan kenyataan berkat semua program kecerdasan buatan."

Baca juga artikel terkait META atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi