tirto.id - Bareskrim Polri menetapkan mantan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Bachtiar Nasir sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dana Yayasan Keadilan Untuk Semua (YKUS) pada Selasa (7/5/2019).
Tak tanggung-tanggung, Bachtiar dijerat dengan tiga pasal di UU TPPU, yaitu: pasal 3, pasal 5, dan pasal 6. Selain dijerat dengan pasal TPPU, Bachtiar juga dijerat dengan sejumlah pasal lainnya, antara lain: pasal 70 juncto pasal 5 ayat (1) UU Yayasan; pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan; pasal 63 ayat (2) UU Perbankan Syariah; pasal 374, pasal 372, dan pasal 378 KUHP.
Kasus ini bermula kala YKUS menghimpun dana sebesar Rp3,8 miliar dari sekitar 4.000 donatur. Uang itu sedianya digunakan untuk Aksi Bela Islam 4 November 2016 dan 2 Desember 2016.
Selain itu, uang itu juga akan disumbangkan ke korban gempa di Pidie Jaya, Aceh dan banjir di Nusa Tenggara Barat.
Namun, pada 6 Februari 2017 penyidik kepolisian menduga ada aliran dana dari YKUS ke lembaga non-pemerintah milik Bachtiar Nasir, Indonesian Humanitarian Relief (IHR). Polisi menduga uang ini kemudian mengalir lagi ke kelompok Jaysh Al-Islam, sebuah kelompok bersenjata di Suriah yang memberontak melawan Presiden Bashar Al-Assad.
Polisi kemudian menetapkan Ketua YKUS Adnin Armas dan mantan pegawai Bank BNI Syariah Islahudin Akbar sebagai tersangka. Adnin dijerat dengan UU Yayasan, sementara Islahudin Akbar dijerat dengan UU Perbankan.
Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menyebut, keterangan tersangka Adnin Armas di kemudian hari menjadi alat bukti untuk menjerat Bachtiar. Selain itu, penyidik juga menjadikan hasil audit rekening YKUS sebagai alat bukti.
Kendati begitu, penetapan Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI sebagai tersangka TPPU ini tetap menuai pro dan kontra.
Ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mempertanyakan alasan penyidik Polri menetapkan Bachtiar sebagai tersangka TPPU. Menurut dia, penyidikan pasal TPPU baru bisa dilakukan jika uang yang digunakan sudah terbukti merupakan hasil kejahatan.
“Kalau dia sudah punya kepastian hukum yang tetap bahwa itu adalah hasil tindak pidana barulah kemudian dia [penyidik] melakukan penyidikan TPPU,” kata Muzakir kepada reporter Tirto, Rabu (8/5/2019).
Kesimpulan itu berangkat dari bunyi pasal 3 UU TPPU yang mengatakan, uang yang dicuci dalam TPPU ialah uang hasil tindak pidana sebagaimana disebut dalam pasal 2 ayat (1) UU TPPU.
Adapun kejahatan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) antara lain: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Di sisi lain, kata Mudzakir, sampai saat ini belum ada putusan yang menyatakan uang yang digunakan oleh Bachtiar merupakan hasil kejahatan.
“Apakah pemilik yayasan itu lapor sebagai tindak pidana atau tidak? Apakah sudah diproses sedemikian rupa kalau itu tindak pidana?" kata Mudzakir.
Selain itu, Mudzakir menilai, dalam pencucian uang seharusnya duit itu kembali lagi ke tangan Bachtiar Nasir dalam keadaan yang sudah tersamarkan asal usulnya. Sementara berdasarkan keterangan pihak polisi, Bachtiar menggunakan uang yayasan tersebut untuk mendanai kegiatan tertentu.
“Jadi [uang itu] kembali lagi kepada pemilik asalnya [Bachtiar]. Nah, ini tidak kembali ke pemilik asalnya, bagaimana dia jadi pencucian uang?" kata Mudzakir.
Aziz Yanuar, kuasa hukum Bachtiar pun berpendapat serupa. Menurut dia, penerapan pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 UU TPPU membutuhkan tindak pidana asal (predicate crime). Ia menilai, tindak pidana asal itu tidak terpenuhi karena belum ada satu pun tersangka dalam kasus ini yang dinyatakan bersalah.
Artinya, kata Aziz, perkara Bahctiar tidak memenuhi unsur TPPU.
“Kalau awal [penetapan predicate crime] tidak memenuhi unsur TPPU, bagaimana selanjutnya bisa seperti itu [pengusutan perkara]” kata Aziz di kantor Bareskrim Mabes Polri, Rabu (8/5/2019).
Rencananya, Bachtiar akan menjalani pemeriksaan pertama kali sebagai tersangka pada Rabu (8/5/2019). Namun, Aziz mengatakan kliennya urung hadir lantaran sibuk berkegiatan. Untuk itu, ia mendatangi Bareskrim Polri guna meminta penjadwalan ulang.
Bisa Jalan Terus
Sebaliknya, Doktor Tindak Pidana Pencucian Uang dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih menilai polisi sudah benar dalam penerapan pasal TPPU dalam kasus Bachtiar Nasir.
Yenti mengatakan, untuk menggunakan pasal TPPU, uang yang dicuci memang harus berasal dari hasil tindak pidana. Namun, ia tak sepakat kalau harus menunggu ada putusan yang berkekuatan hukum tetap lebih dahulu.
Sebab, Yenti menilai, pasal TPPU bisa langsung diterapkan asalkan penyidik memiliki bukti atas tindak pidana asalnya [yang disebut di pasal 2 ayat 1]. Dalam hal ini, tolok ukur adanya tindak pidana asal ialah adanya proses penyidikan.
“Bareskrim kalau sampai memberi sangkaan TPPU, tentu Bareskrim sudah memiliki bukti-bukti terkait kejahatan asal,” kata Yenti saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (8/5/2019).
Dalam hal ini, Yenti berpegang pada pasal 75 UU TPPU yang berbunyi: “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK.”
Selain itu, Yenti berpendapat uang hasil TPPU tidak harus kembali pada si pencuci uangnya. Menurut dia, poin terpenting dari TPPU adalah adanya upaya menyamarkan uang hasil kejahatan sehingga seolah menjadi uang yang sah.
“Kemanapun mau dikasih ke siapa pun, untuk kegiatan apa pun itulah pencucian uang,” kata Yenti.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz