tirto.id -
Dia mencontohkan, selisih tarif cukai antara golongan 1 dan di bawahnya untuk sigaret kretek mesin masih lebar sehingga potensi masyarakat untuk membeli rokok dengan harga murah masih cukup lebar.
“Selisih tarif keduanya yaitu Rp385 per batang. Apabila 1 bungkus rokok terdapat 16 batang, maka selisih tarif cukainya sebesar (Rp385 X 16 batang) Rp6.160. Ini belum termasuk PPN, maka rentang perbedaaan harganya makin tinggi lagi. Belum lagi, produk ini juga dikenakan pajak rokok 10 persen untuk daerah, sehingga selisih total pajaknya bisa mencapai Rp8.000/bungkus,” ujarnya, Jakarta, Senin (10/10/2022).
Risky mengatakan, kebijakan CHT yang menyuburkan fenomena rokok murah tidak sejalan dengan semangat tujuan utama cukai. Salah satunya pengendalian konsumsi rokok. Jika dilihat lebih jauh, di tingkat konsumen, variasi harga rokok ini bisa mencapai Rp 10.000-an.
“Perokok masih bisa leluasa membeli produk rokok yang lebih murah bahkan ketika harga rokok naik,” ujarnya.
Risky pun memaparkan hasil studi soal keterkaitan rokok murah dengan perokok anak. Dia menjelaskan anak-anak tetap bisa membeli rokok karena tarif cukai dinaikkan setiap tahun. Karena itu, Risky merekomendasikan pemerintah untuk melihat ulang struktur tarif cukai tembakau saat ini untuk mencegah semakin banyaknya rokok murah beredar di pasar, termasuk mempercepat pengurangan lapisan struktur tarif CHT.
Lebih lanjut, dia menuturkan melalui kebijakan tarif CHT, pemerintah perlu mengambil langkah yang cukup signifikan. Dia menilai cara tersebut bisa mengurangi prevalensi perokok anak, menekan angka perokok usia dewasa, dan mencapai visi Indonesia yaitu mencapai sumber daya manusia yang unggul.
Sementara itu, Tim Peneliti Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Lara Rizka mengatakan, lebarnya selisih tarif CHT antar golongan memang akan mempengaruhi harga rokok di pasaran. Kondisi ini tentu mengurangi efektivitas cukai untuk pengendalian konsumsi tembakau.
Hal ini terjadi karena adanya ketersediaan rokok yang lebih murah sehingga perokok dapat beralih ke rokok murah ketika ada kenaikan harga.
“Oleh karena itu, selisih tarif tersebut perlu didekatkan. Skemanya, tarif yang rendah perlu dinaikkan secara signifikan,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pemerintah menargetkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun dapat ditahan di angka 8,83 persen dari target 8,7 persen dalam RPJMN tahun 2024. Sementara Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan jumlah perokok muda yang meningkat menjadi 9,1 persen dari sebelumnya 7,1 persen (2013).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin