Menuju konten utama

Tantangan Indonesia Akuisisi Hak Partisipasi Rio Tinto di Freeport

Langkah pemerintah bisa terhambat jika Freeport terlibat menentukan harga 40 persen hak partisipasi PT Rio Tinto.

Tantangan Indonesia Akuisisi Hak Partisipasi Rio Tinto di Freeport
Para pekerja Freeport berkumpul di sekitar gerbang pengamanan di wilayah tambang Grasberg di Tembagapura, Mimika, Papua (14/07/13). FOTO/REUTERS

tirto.id - Negosiasi divestasi saham 51 persen antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia masih belum mencapai titik temu. Penghambatnya adalah perbedaan perhitungan untuk menentukan harga saham PT Freeport Indonesia yang akan didivestasikan kepada pemerintah Indonesia sebagai bagian dari negosiasi perpanjangan kontrak.

Guna menghindari jalan buntu, pemerintah berencana membeli 40 persen hak partisipasi (participating interest) perusahaan tambang asal Inggris-Australia, Rio Tinto, pada PT Freeport Indonesia (PT FI). Hak ini akan dikonversi menjadi saham sebagai upaya mencapai target divestasi 51 persen saham PT FI.

Rio Tinto adalah pemegang hak partisipasi dalam proyek Freeport Indonesia sebesar 40 persen. Ia memiliki perjanjian dengan Freeport pada 1990-an mengenai pendanaan dan pengoperasian. Sehingga, dalam operasional tambang Grasberg di Tembagapura terbagi dua pemegang kendali: 40 persen milik Rio Tinto dan 60 persen milik Freeport-McMoRan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai rencana itu "terobosan baik" untuk mengantongi divestasi 51 persen saham PT FI, tetapi bisa terganjal jika manajemen Freeport terlibat dalam proses akuisisi hak partisipasi Rio Tinto.

“Ini jalan keluar yang bisa dilakukan dengan segera. Kalau enggak, masalahnya masih sama dalam menetapkan harga jual,” kata Komaidi kepada Tirto, kemarin.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah 1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, PT Freeport Indonesia telah sepakat memberikan divestasi saham sampai 51 persen secara bertahap kepada pemerintah Indonesia.

Sementara ini divestasi yang dimiliki pemerintah Indonesia sebesar 9,36 persen saham melalui perusahaan negara PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero). Indonesia masih perlu mengantongi 41,64 persen saham PT FI.

Menurut Komaidi, pemerintah tengah mencari jalan untuk mengantongi harga divestasi yang lebih terjangkau. Asumsinya, mengakuisisi hak partisipasi Rio Tinto lebih murah ketimbang harga saham Freeport Indonesia, yang gilirannya dikonversikan menjadi saham pada PT FI.

“Tentu [akuisisi Rio Tinto] lebih murah karena memang participating interest, kan. Belum bentuk saham, enggak ada hak suara, jadi hanya punya hak atas produksi. Kalau hak itu dijual ke orang lain, harganya lebih murah dibandingkan harus beli sahamnya. Harga tergantung harga pasar,” kata Komaidi.

Hak partisipasi 40 persen ketika dikonversi menjadi saham, kata Komaidi, persentasenya hanya sebesar 36,25 persen. “Jadi perhitungannya, 100 persen dikurangi 9,36 persen, hasilnya 90,64 persen. Kemudian dikalikan 40 persen, ketemunya 36,25 persen,” kata Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti ini.

Sehingga, jika 36,25 persen ditambahkan kepemilikan saham 9,36 persen di PT Inalum, maka saham yang terkumpul baru 45,61 persen. Artinya, kata Komaidi, masih butuh 5,39 persen lagi untuk menjadi 51 persen.

“Nah, [kekurangannya] bisa ambil dari saham PT FI. Pembelian saham 5 persen saham PT FI lebih sederhana ketimbang harus membeli saham PT FI langsung sebesar 41,64 persen. Maka, pilihannya membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto,” kata pria yang pernah menjadi tenaga ahli pada Komisi VII Bidang Energi di DPR RI ini.

Tantangan Berat Pemerintah

Namun, kata Komaidi, terobosan akuisisi hak partisipasi Rio Tinto akan menghadapi masalah ketika Freeport ikut campur menentukan harga 40 persen hak partisipasi Rio Tinto. Freeport mungkin saja khawatir jika harga yang dijual terlalu rendah ketimbang harga saham PT FI.

“Pada dasarnya itu urusan kesepakatan bisnis antara pemerintah Indonesia dan Rio Tinto, PT FI enggak seharusnya ikut campur. Berapa pun harganya, seharusnya PT FI enggak perlu khawatir karena kalau sudah dikonversi harganya mengikuti harga saham yang sudah ada,” kata Komaidi.

Menurutnya, langkah pemerintah ini bisa mempercepat divestasi saham rampung tahun ini. Apalagi jika pemerintah Indonesia mampu mendesak Freeport-McMoRan tidak terlibat menentukan besaran nilai hak partisipasi Rio Tinto.

Fahmi Radhi, dosen ekonomi dan bisnis dari Universitas Gajah Mada, mengatakan bahwa pembelian hak partisipasi Rio Tinto "sah-sah saja" asalkan dapat dikonversi menjadi saham.

“Untuk hak partisipasi Rio Tinto di PT FI ada perjanjian, pada 2022 hak itu bisa dikonversi jadi saham. Saya kira keputusan pemerintah sudah tepat untuk membeli itu,” kata Fahmi.

Jika tidak dikonversi, kata Fahmi, akuisisi hak partisipasi Rio Tinto tidak bisa menjadi terobosan divestasi. Alasannya, hak partisipasi dan saham berbeda.

Fahmi berkata Rio Tinto tidak memiliki hak suara serta tidak memperoleh deviden dari PT Freeport Indonesia. Hak partisipasi Rio Tinto hanya memiliki hak bagi hasil sebesar 40 persen atas total produksi PT FI.

Menurut Fahmi, pemerintah dapat mempercepat proses konversi dengan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara, yang akan berakhir pada 10 Januari 2018, serta perjanjian baru tentang konversi yang disetujui oleh pihak Freeport, sehingga tidak harus menunggu sampai tahun 2022.

Juru bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengatakan rencana ini tengah dinegosiasikan dengan pihak pemerintah dan berharap "bisa selesai secepatnya."

“Saya belum bisa memberikan pernyataan karena masih berunding dengan pemerintah Indonesia,” kata Riza kepada Tirto, kemarin.

Soal perpanjangan IUPK sementara, kata Riza, PT FI sudah mengantonginya hingga 30 Juni 2018. “IUPK [sementara] itu diterbitkan pemerintah tertanggal 28 Desember 2017,” tambahnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan saat ini masih merumuskan empat isu dalam satu paket perjanjian operasional terhadap PT Freeport Indonesia: divestasi saham, pembangunan smelter, kepastian investasi dan penerimaan pajak, serta perpanjangan operasional.

Saat ini, kata Sri Mulyani, keempat isu itu sudah dibahas secara mendetail.

“Mungkin nanti perpanjangan operasi akan dikaitkan dengan izin usaha pertambangan, khususnya mencakup item-item mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh PT FI seperti pembangunan smelter, kapan jangka waktunya, bagaimana kita mengukur prosesnya, masalah penerimaan negara dan kepastian investasi. Kita akan menekankan bagaimana meningkatkan pembayaran,” kata Sri Mulyani, kemarin.

Infografik Freeport

Baca juga artikel terkait FREEPORT INDONESIA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz