Menuju konten utama

Tantangan Berat Indonesia Setop Impor BBM dan LPG di 2030

Bisakah Indonesia berhenti tergantung pada minyak dan gas impor? Jika melihat data sekarang, itu sulit dilakukan.

Tantangan Berat Indonesia Setop Impor BBM dan LPG di 2030
Petugas Dinas Perindustrian dan Perdagangan memasang segel pengaman saat melakukan tera ulang takaran bahan bakar minyak di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (14/7/2020). (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc)

tirto.id - Pemerintah menargetkan Indonesia bebas impor BBM dan LPG di 2030. Hal ini dinyatakan Menteri ESDM Arifin Tasrif di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/4/2021).

Untuk menutup kebutuhan konsumsi energi tanpa impor, salah satu yang bakal diupayakan adalah mendorong sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Target peningkatan penggunaan EBT naik menjadi 24 ribu megawatt dari total energi saat ini yang hanya 10,5 gigawatt. Kemudian khusus untuk mensubtitusi LPG, pemerintah akan memanfaatkan dimetil eter (DME) dan metanol dari program hilirisasi batu bara serta meningkatkan penggunaan kompor listrik.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Noto Negoro mengatakan banyak rintangan yang harus diselesaikan untuk merealisasikan target tersebut. Salah satunya mengoptimalkan produksi kilang dan membangun kilang baru seperti road map yang sudah dikonsep lama oleh pemerintah.

“Kapasitas kilang kita ini hanya 1,2 juta barel/hari. Kalau produksi total itu mungkin 800 ribu barel/hari. Konsumsi kita sudah 1,7 juta barel/hari, adi masih butuh separuhnya lagi,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (21/4/2021).

Menurut British Petroleum (BP) Statistical Review, konsumsi BBM Indonesia dalam 19 tahun terakhir naik 34%. Konsumsi di tahun 2000 sebanyak 1,14 juta barel/hari dan menjadi 1,73 juta barel/hari pada 2019.

Di sisi lain, produksi minyak dari kilang di dalam negeri dalam periode yang sama terus mengalami penurunan. Produksi kilang di tahun 2000 mencapai 987.000 barel/hari, kemudian di tahun 2005 menjadi 980.000 barel/ hari, lalu di tahun 2010 kembali turun menjadi 853.000 barel/ hari. Pada 2015 turun lagi menjadi 836.000 barel/hari dan berdasarkan data terakhir pada tahun 2019 produksi minyak dari kilang Indonesia hanya 918.000 barel/hari.

Kapasitas kilang selama 19 tahun terakhir pun tidak banyak mengalami penambahan. Di tahun 2000 kapasitas kilang 1,07 juta barel/hari, kemudian 2005 turun menjadi 1 juta barel/hari. Di 2010 naik tipis menjadi 1,09 juta barel/hari, di 2015 naik lagi menjadi 1,11 juta barel/hari, tapi di 2019 kembali sama seperti satu dekade sebelumnya, yaitu 2019 1,09 juta barel/hari.

Berdasarkan data tersebut, Komaidi mengatakan akan sulit untuk menutup kebutuhan konsumsi dengan pengoptimalan kilang maupun menambal kebutuhan dari EBT. Ia mengatakan banyak pembangkit EBT seperti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) saat ini masih mengandalkan BBM. Bukti pemanfaatan PLTD belum optimal adalah masih minimnya pemanfaatan panas bumi, baru 5% dari cadangan yang ada.

“Kita punya 40% cadangan panas bumi dunia, tapi sampai hari ini dari potensi yang ada baru 5 persen. Itu saja belum dioptimalkan,” kata dia.

Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra P.G Talattov punya pandangan senada. Ia memberi contoh lain, yaitu realisasi kendaraan listrik yang dapat mengurangi konsumsi BBM. Ia menyebut sejumlah tantangan memasifkan penggunaan kendaraan listrik, dari mulai ketersediaan stasiun penyedia listrik umum (SPLU) sampai mengubah kebiasaan masyarakat.

“Dari sisi suplai industri, apakah secepat itu bisa merespons kebijakan pemerintah? Kan butuh infrastruktur. Lalu apakah masyarakat secepat itu bisa mengganti kendaraan listrik? Dengan memaksakan terjadinya peralihan kendaraan dari fosil ke non fosil butuh investasi besar,” terang dia kepada reporter Tirto, Rabu.

Data PLN juga menunjukkan proyeksi penggunaan kendaraan listrik baru menyentuh angka ratusan ribu di 2025. Kendaraan listrik baik murni baterai dan hibrida sebanyak 2.453 unit pada 2020, kemudian 2021 diperkirakan 7.805 unit, lalu 2022 sebanyak 20.639 unit, 2023 41.835 unit, 2024 72.273 unit, kemudian 2025 114.523 unit.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Faby Tumiwa menyampaikan hal senada juga dengan contoh kendaraan listrik. Menurutnya pemerintah butuh 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik agar bisa menurunkan konsumsi BBM. Ia pesimistis kendaraan sebanyak itu tersedia meski pemerintah sendiri telah berencana membangun pabrik baterai yang berproduksi pada 2024.

“Perlu insentif pajak industri kendaraan bermotor sehingga harga jual kendaraan bermotor listrik itu bisa kompetitif dengan berbasis fosil,” katanya. Sampai saat ini harga kendaraan listrik memang relatif lebih mahal ketimbang rata-rata kendaraan dengan mesin pembakaran dalam.

Faby melanjutkan, upaya lain menekan BBM adalah dengan melakukan substitusi ke BBG. Sayangnya itu pun tidak berjalan meski programnya sudah dimulai sejak 30 tahun terakhir. “Kita tahu sudah tahun 1990-an dan enggak terlalu berhasil. Belakangan dipakai di bus. Itu enggak terlalu berhasil. Kita enggak melihat ada kenaikan signifikan.”

Meski demikian, target pemerintah bukan hal yang mustahil, kata Direktur Eksekutif Center for Energy Policy M Kholid Syeirazi. Kuncinya adalah dukungan politik dan regulasi dari pemerintah, katanya.

“Di tingkat regulasi harus pasti. Sektor strategis tapi payung hukumnya sudah dilucuti, dengan aturan yang bisa diubah dengan level peraturan menteri, [membuat] investor enggak merasa nyaman,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu. “Jokowi harus mendorong revisi Undang-undang Migas yang pasti. Hal itu yang bisa mengamankan kepentingan multistakeholder baik negara, investor, dan masyarakat.”

Baca juga artikel terkait MINYAK DAN GAS atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Penulis: Selfie Miftahul Jannah & Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino