tirto.id - Jumat petang itu (3/3/2023), kobaran api besar dan asap mengepul di area Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara. Ledakan berasal dari pipa Bahan Bakar Minyak (BBM) area depo, kemudian merambat ke permukiman Tanah Merah yang letaknya berdekatan.
Menurut keterangan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta,
hingga Kamis (9/3/2023), sedikitnya 19 warga meninggal akibat insiden ini. Selain korban jiwa, 32 orang sedang dirawat di rumah sakit.
BPBD DKI Jakarta juga mencatat, per 9 Maret 2023, jumlah warga yang mengungsi ada sebanyak 206 orang. Hingga kini penyebab peristiwa itu masih dalam proses investigasi.
Buntut kasus kebakaran ini, pemerintah bersama PT Pertamina (Persero) sepakat akan memindahkan Terminal BBM (TBBM) milik Pertamina tersebut ke lahan milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut, perpindahan kilang bakal dilakukan di pengujung tahun 2024 mendatang.
Kejadian di Plumpang lantas memicu pertanyaan, seberapa banyak objek vital nasional yang lokasinya bersebelahan dengan permukiman?
Pertamina Kuasai Pengelolaan Obvitnas
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Depo Pertamina sendiri merupakan tempat penyimpanan bahan bakar sebelum didistribusikan. Aktivitas di dalamnya meliputi pendistribusian dan penyimpanan bahan bakar, seperti keluar masuknya tangki.
Dilansir laman resmi Pertamina, Depo Pertamina Plumpang termasuk terminal BBM terpenting di Indonesia lantaran menyuplai sekitar 20 persen kebutuhan BBM harian, atau sekira 25 persen dari total kebutuhan SPBU Pertamina. Thruput BBM depo ini rata-rata sebesar 16.504 kiloliter per hari dan wilayah distribusi utamanya yakni area Jabodetabek.
Depo Plumpang pun masuk dalam Objek Vital Nasional (Obvitnas) bidang ESDM, mengacu pada Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Nomor 270 Tahun 2022.
Lebih lanjut, Obvitnas bidang ESDM merupakan kawasan/lokasi, bangunan atau instalasi dan atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan atau sumber pendapatan negara bersifat strategis di bidang ESDM.
Pengelompokan obvitnas sektor ESDM terbagi atas sub bidang minyak dan bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, serta energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.
Jumlah teranyar obvitnas yang bergerak di kegiatan hilir minyak dan gas bumi (migas) tercatat sebanyak 218, termasuk di dalamnya Depo Pertamina Plumpang. Angka itu nampak naik dibanding 2021, yang mencatat jumlah obvitnas kegiatan hilir migas sebanyak 206 buah.
Jika jumlah obvitnas pada 2022 ini dibedah berdasar sebaran lokasi, jumlah keseluruhannya menjadi kurang lebih 233 lokasi atau instalasi. Dari jumlah itu bentuk obvitnas diketahui berupa fuel terminal, integrated fuel terminal, kilang atau tempat pengolahan minyak mentah menjadi berbagai jenis produk minyak dan gas alam, depo alias tempat penyimpanan minyak mentah dan produk turunannya, Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU), dan pipa transmisi.
Masih merujuk Kepmen ESDM yang sama, pengelola mayoritas obvitnas saat ini merupakan anak perusahaan PT Pertamina (Persero) seperti PT Pertamina Patra Niaga, PT Pertamina Gas, dan PT Nusantara Regas. Di luar Pertamina, ada pula PT AKR Corporindo Tbk, PT Titis Sampurna, PT Surya Esa Perkasa, dan PT Elnusa Petrofin.
49 Objek Vital Masih Bersebelahan dengan Permukiman
Tirto kemudian melakukan pengecekan terhadap 233 lokasi obvitnas yang terdaftar di Kepmen ESDM itu dengan menggunakan Google Maps dan Google Earth. Tirto mendata obvitnas yang lokasinya berjarak maksimal 500 meter dari permukiman penduduk, hingga kami kategorikan sebagai bersebelahan.
Mengingat metode ini bergantung pada data yang tersedia pada Google Maps, Tirto menyadari ada keterbatasan dalam data yang diperoleh melalui metode ini jika ada perubahan di lokasi yang belum dimasukkan ke sistem Google Maps.
Berdasar pantauan Tirto lewat citra satelit Google Maps dan Google Earth, dari 233 lokasi obvitnas, ada sekira 49 objek vital yang terletak bersebelahan dengan permukiman penduduk.
Sisanya sebanyak 142 objek vital berada cukup jauh dari rumah warga, dan 42 lain lokasinya tidak dapat ditemukan. Sebagian besar yang tidak diketahui memang kebanyakan merupakan objek vital berupa pipa penyalur BBM dan pipa transmisi gas.
Hampir keseluruhan obvitnas yang bersandingan dengan permukiman itu dikelola oleh PT Pertamina Patra Niaga, yang tersebar utamanya di Pulau Sumatera, yakni 15 buah, disusul dengan Pulau Jawa (11 buah). Namun ada juga yang lokasinya berada di Pulau Sulawesi, Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara, Kalimantan, serta Bangka Belitung. Merespons temuan jumlah objek vital yang berdampingan dengan rumah warga, Nirwono Yoga, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, mengatakan hal itu menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak melakukan pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di sekitar obvitnas.“Karena pertumbuhan permukiman tidak muncul tiba-tiba dalam waktu singkat, tetapi perlahan dalam waktu tahunan dan sengaja dibiarkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan, pengelola obvitnas tidak punya kemampuan untuk mengamankan lahan miliknya maupun upaya penertiban jika terjadi penyerobotan lahan oleh masyarakat,” tuturnya kepada Tirto, Kamis (9/3/2023).
Salah satu contoh obvitnas yang bersisian dengan permukiman adalah Integrated Terminal (IT) Teluk Kabung yang terletak di Jalan Raya Padang - Painan KM.24, Teluk Kabung Tengah, Kec. Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Sumatera Barat.
Berdasarkan hasil ukur dari citra satelit Google Earth, jarak antara tangki penyimpanan minyak di IT Teluk Kabung dengan salah satu rumah warga terlihat sekitar 131 meter. Jika dihitung dari pagar luar, maka jaraknya menunjukkan hanya sebatas 51 meter.
Lain dengan jarak sempit yang terlihat lewat citra satelit Google Earth, Darik (43 tahun)—bukan nama sebenarnya, yang memiliki saudara yang tinggal di dekat depo tersebut menuturkan, ada batas lebih luas yaitu sekitar 500 meter antara pagar terluar depo dengan permukiman.
Akan tetapi, Darik, yang kontaknya Tirto temukan melalui laman informasi sebuah toko kelontong yang pada Google Map berada di samping depo tersebut, hanya mengira-ngira dan kurang yakin dengan angka tersebut.
“Jadi nggak terlalu mepet sama permukiman. Sekarang [terminal Pertamina itu] udah dipagar tinggi, dulu pagar kawat keliatan isinya. Terus sekarang udah pagar permanen,” katanya saat dihubungi Tirto via telepon di sela pekerjaannya, Kamis (9/3/2023).
Meski Darik kini menetap di Kota Padang Panjang, yakni sekitar 76 kilometer dari Kota Padang, ia mengaku pernah merasakan tinggal di rumah saudaranya itu sebab ia sesekali berkunjung saat liburan. Darik bilang, jika membayangkan terjadi kebakaran di depo, tumpahannya ia rasa masih dalam batas aman.
Kendati demikian, Darik tak bisa membayangkan efek ledakannya, apakah akan menyebar seperti hujan lalu terbawa angin.
“Misalnya, meledak nanti kan, kan nyembur tuh minyaknya ke udara, apalagi ini daerah pinggir pantai lho, 'kan ada angin dari laut itu kan kalo siang. Bisa jadi rumah saya bisa terpapar itu kalo saya rasa itu. Mungkin terpapar dari efek ledakan itu, tapi kalo kena langsung saya rasa nggak sampe deh. Nggak tau deh berapa jarak amannya,” tuturnya.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso menyampaikan kepada Tirto, buffer zone atau batas lingkungan yang diatur dalam Health, Safety, Security, and Environmental (HSSE) Pertamina bergantung dari jenis bahan bakar dan tingkat risikonya.
Buffer zone atau batas lingkungan bertujuan untuk mencegah atau memperkecil timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan, akibat kegiatan penerimaan, penyimpanan dan penyaluran BBM
Untuk jenis BBM, Fadjar menjelaskan, buffer zone yang disyaratkan adalah sepanjang 50 meter. Lain dengan LPG, buffer zone yang disyaratkan bisa sepanjang 500 meter hingga satu kilometer lantaran sifat fase LPG yang penyebarannya lebih cepat.
Kurang sepakat, Nirwono berpendapat, jarak aman harus dievaluasi sebab uap BBM tercium sampai dengan jarak satu kilometer.
“Belajar dari kasus kebakaran depo Plumpang, jarak buffer zone 50 meter terlalu dekat. Minimal satu kilometer baik depo BBM dan LPG, yang tidak boleh ditawar demi keselamatan dan keamanan kedua belah pihak,” katanya.
Terminal pengisian BBM di Teluk Kabung sendiri sempat mengalami kebakaran pada 14 Mei 2014, diduga akibat kesalahan teknis dalam pekerjaan, mengutip laporan Tempo. Kebakaran tersebut menyebabkan tiga pekerja kontrak di terminal mengalami luka bakar di bahu dan lengan.
Adapun terkait waktu mulai operasi, dilansir Antara Sumbar, IT Pertamina Teluk Kabung dikatakan telah beroperasi menyalurkan BBM sejak 1994 dan LPG sejak 2015. Cakupan distribusinya yakni wilayah Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
Darik mengatakan, sebelum bertempat di Teluk Kabung, gudang minyak ini berlokasi di Teluk Bayur, sekitar 20 kilometer ke arah utara.
“Ini dulu gudang minyak ini di pelabuhan Teluk Bayur. Tapi karena pemukiman udah mepet ke area penyimpanan minyak, jadi diusulkan yang sedikit jauh 'lah, dari permukiman," katanya.
Sebagian besar tanah tempat berdirinya (IT) Teluk Kabung dikisahkan Darik merupakan bekas tanah ulayat atau tanah bersama para warga masyarakat hukum adat, termasuk tanah ulayat keluarga besarnya.
“Tapi dapat ganti rugi juga dulu,” sambungnya.
Tujuh Kasus Kebakaran dalam 5 Tahun
Seperti halnya Terminal di Teluk Kabung yang sempat mengalami kebakaran, depot dan kilang minyak lain, di samping TBBM Plumpang, juga pernah bernasib serupa. Kebakaran di TBBM Plumpang bahkan merupakan kali kedua setelah sebelumnya mengalami kebakaran 14 tahun silam, yakni pada 18 Januari 2009.
Dilaporkan Detik, kebakaran TBBM Plumpang 2009 saat itu terjadi tepatnya pada tangki bernomor 24 dan telah merenggut nyawa satu orang petugas keamanan Pertamina.
Sementara dalam 5 tahun terakhir atau sepanjang 2019 – 2023, Tirto menemukan setidaknya 7 kasus kebakaran telah terjadi di area depo dan kilang minyak. Kilang Refinery Unit (RU) V Balikpapan misalnya, mengalami kebakaran dua kali yaitu tahun 2019 dan 2020.
Dalam kasus kebakaran tahun 2019 itu, bersumber dari Antara Kaltim, kebakaran telah terjadi di ujung utara kilang dan disebut jauh dari bagian dapur tempat minyak mentah diolah dan dari tangki-tangki penampung minyak. Lalu setahun setelahnya, tepatnya 19 Juni 2020, kebakaran kembali melanda Kilang RU V Balikpapan tersebut.
Setahun berselang, yaitu pada 29 Maret 2021, kebakaran terjadi di kilang minyak RU VI Balongan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Menurut laporan Tirto, kejadian itu menyebabkan 5 orang mengalami luka berat, 15 orang terluka ringan, dan ratusan warga sekitar mengungsi.
Pada 7 September 2022, kebakaran kembali berlangsung di wilayah Pertamina Balongan, Indramayu. Peristiwa itu terjadi pada katup tekanan di area tangki terintegrasi Terminal Balongan, yakni berjarak satu kilometer dari kilang minyak RU VI Balongan.
Deret kasus kebakaran yang beruntun ini, ditambah masih cukup banyaknya obvitnas yang bersebelahan dengan permukiman seharusnya menjadi alarm untuk mengatur ulang jarak antara objek vital dan permukiman.
“Dari kasus Depo Plumpang, kuncinya adalah pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang harus dilakukan pemerintah daerah bekerjasama dengan pengelola objek vital nasional," pungkas Nirwono Yoga pada Tirto.
Editor: Farida Susanty