Menuju konten utama

Surya Paloh Usul Ambang Batas Parlemen 7%: Oligarki Kuasai DPR

Peneliti Formappi Lucius Karus menilai jika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7 persen, maka justru berpotensi melanggengkan langkah oligarki dalam menguasai DPR RI.

Surya Paloh Usul Ambang Batas Parlemen 7%: Oligarki Kuasai DPR
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memberikan sambutan saat pembukaan Kongres II Partai NasDem di JIExpo, Jakarta, Jumat (8/11/2019). tirto.id/ANdrey Gromico

tirto.id - Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh mengusulkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dinaikkan dari 4 persen menjadi 7 persen. Dia juga mengusulkan agar agar presidential threshold tetap di angka 20 persen.

Wacana itu disampaikan Surya Paloh ketika menyambangi kantor DPP Golkar, Senin (9/3/2020). Saat itu Surya Paloh didampingi Sekjen Partai Nasdem Jhonny G Plate dan bertemu dengan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartanto dan Wakilnya Agus Gumiwang.

Tiga di antara empat tokoh parpol merupakan seorang menteri di Kebinet Indonesia Maju Jokowi-Ma'ruf: Airlangga (Menko Perekonomian), Agus Gumiwang (Menteri Perindustrian), dan Jhonny G Plate (Menkominfo). Mereka melakukan pertemuan partai saat masih dalam jam kerja sebagai pejabat negara.

Usulan Surya Paloh itu pun disambut baik Airlangga Hartarto. Ketua Umum Partai Golkar itu bahkan menyebut ambang batas parlemen 7 persen itu berlaku secara nasional.

Respons Parpol Lain Beragam

Namun, wacana yang dilontarkan Surya Paloh itu ditolak mentah-mentah oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan. Ia menilai ambang batas parlemen sebesar empat persen yang saat ini berlaku sudah cukup sehingga tidak perlu dinaikkan.

Partai Demokrat sendiri pada Pemilu 2019 berhasil memperoleh suara sebesar 7,77 persen. Artinya, partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY ini masih lolos ambang batas 7 persen seperti yang diusulkan Surya Paloh.

“Enggak usah dinaikkan [ambang batas parlemen]. Tidak setuju," kata dia di Kompleks DPR RI Senayan, Jakarta, Rabu (11/3/2020).

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya belum membahas terkait wacana tersebut.

Akan tetapi, kata dia, Gerindra tidak mempermasalahkan apabila ambang batas parlemen menjadi 7 persen. Gerindra sendiri pada Pemilu 2019 memperoleh suara 12,57 persen.

“Rasanya kalau PT sebesar 7 persen, dalam dua kali pemilu, Gerindra bisa melampaui,” kata Dasco di kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/3/2020).

Meskipun Gerindra optimistis dapat memperoleh suara 7 persen, tapi Dasco meminta agar mempertimbangkan publik yang memilih partai yang tidak lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019.

“Kita pertimbangkan berbagai aspek itu, ada partai-partai yang kemarin lolos 4 persen, tetapi ada pemilihnya yang tentu tidak bisa kita abaikan,” kata Dasco.

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengaku tidak mempersoalkan ambang batas parlemen menjadi 7 persen. Namun ia menyarankan agar kenaikan itu sebaiknya dilakukan secara bertahap.

PAN sendiri pada Pemilu 2019 hanya mendapat suara 6,84 persen. Artinya, jika mengacu pada ambang batas parlemen 7 persen yang diwacanakan Partai Nasdem, maka PAN kemungkinan besar terdepak dari parlemen.

Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) belum memberikan jawaban perihal ambang batas 7 persen ini. Politikus PKS Ledia Hanifah menerangkan pembicaraan tentang ambang batas parlemen memerlukan kajian yang mendalam.

Menurut dia, perlu mempertimbangan banyak aspek: Keragaman ideologi dan basis massa parpol yang menjadi pilihan masyarakat, iklim demokrasi di parlemen, dan seberapa ukuran penyederhanaan jumlah parpol di DPR.

Pada pemilu 2019, PKS berhasil memperoleh suara sebesar 8,21 persen.

“Saat ini kami belum bahas detail,” kata Ledia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (11/3/2020).

Bagaimana dengan partai baru yang tak lolos ambang batas parlemen?

Partai Solidaritas Indonesa (PSI) menyatakan siap dengan berapa pun besaran parliamentary threshold di Pemilu 2024. Partai yang hanya memperoleh suara sebesar 1,89 persen pada Pemilu 2019 ini optimistis dapat menyiapkan diri untuk mencapai ambang batas tersebut.

“Namun kami juga ingin tahu apa gagasan di balik keinginan menaikkan parlementary threshold ini. Kalau argumennya untuk mengurangi jumlah fraksi dan menyederhanakan proses pengambilan keputusan di parlemen, kelihatannya kurang tepat,” kata Wakil Sekjen PSI Satia Chandra Wiguna melalui keterangan tertulisnya, Rabu (11/3/2020).

Semakin Melanggengkan Oligarki

Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen (Fomappi) Lucius Karus menilai bahaya dari ambang batas 7 persen akan mengancam partai-partai kecil. Terutama partai yang pada saat Pemilu 2019 kemarin tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen.

Sementara ambang batas parlemen ini hanya akan menguntungkan partai-partai besar yang memiliki perolehan suara dan basis massa yang jelas, kata Lucius.

Sehingga Lucius menilai, bahayanya jika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7 persen, maka justru berpotensi melanggengkan langkah oligarki dalam menguasai DPR RI. Apalagi saat ini DPR RI dikuasai oleh parpol koalisi penguasa.

“Watak oligarkis parpol yang hampir sama akan membuat negeri luas kita ini hanya akan dikontrol oleh 5 sampai 6 orang pemilik partai saja,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (11/3/2020).

Semakin sedikit parpol di DPR RI, kata Lucius, hanya akan menyebabkan parlemen disabotase oleh segelintir elite partai.

“Mereka dengan mudah kong-kalingkong untuk kepentingan menancapkan dinasti masing-masing pada struktur kekuasaan,” kata Lucius.

Menurut Lucius, memang cukup baik bila ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7 persen. Hal itu akan membuat partai politik semakin terpacu bekerja keras untuk merebut hati rakyat.

Namun bahayanya, kata dia, ketika para parpol malah menggunakan segala macam cara agar bisa unggul pada saat pemilu, sehingga menimbulkan iklim demokrasi yang negatif. Misalnya, melakukan politik uang, penggalangan kekuatan melalui TNI-Polri, kampanye hitam, SARA, dan cara kotor lainnya.

“Cara kotor seperti itu bisa dengan mudah digunakan semata-mata agar bisa menembus persentase PT 7 persen itu,” kata Lucius.

Lucius melihat selama ini partai politik pragmatis dan lebih banyak mementingkan kepentingan kelompoknya dibanding rakyat. Berapapun ambang batas yang dibuat, tidak akan mengubah keberpihakan partai politik kepada masyarakat.

Oleh karena itu, Lucius meminta agar Nasdem maupun partai lainnya yang mendukung ambang batas 7 persen untuk berbenah diri dulu.

“Jadi dengan kondisi parpol seperti saat ini, PT berapapun untuk membatasi jumlah parpol masuk parlemen menjadi sia-sia,” kata dia.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai niatan untuk penyederhanaan partai bisa direalisasikan tanpa harus menaikkan ambang batas parlemen sebesar 7 persen.

“Penyederhanaan partai juga bisa dilakukan tanpa harus meninggikan ambang batas, misalnya dengan memperkecil besaran daerah pemilihan,” kata Titi seperti dikutip Antara, Rabu (11/3/2020).

Selain itu, kata Titi, bisa juga dengan menerapkan ambang batas pembentukan fraksi di parlemen. Menurut dia, cara ini bisa dilakukan tanpa harus menaikkan ambang batas parlemen dalam pemilu. Namun tetap membuat parlemen menjadi sederhana.

“Sehingga pengambilan keputusan di parlemen juga menjadi lebih sederhana,” kata Titi.

Titi menambahkan menaikkan ambang batas parlemen justru memberikan dampak negatif yang lebih banyak. Ambang batas parlemen yang tinggi akan membuat semakin banyak suara sah yang terbuang.

Menurut dia, jika makin besar angka dan semakin banyak partai yang tidak bisa mengonversi suara yang mereka peroleh menjadi kursi di parlemen, maka hal tersebut dapat berakibat pada timbulnya ketidakpuasan politik.

“Hal itu dapat membuat apatisme politik warga, atau bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik,” ujar Titi.

Ambang batas yang tinggi juga dinilai bisa memicu pragmatisme politik, di mana alih-alih mereka memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, malah disikapi dengan mengambil jalan pintas dengan melakukan politik uang yang lebih masif dengan harapan bisa merebut suara melalui praktik jual beli suara.

Baca juga artikel terkait PARLEMENTARY THRESHOLD atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz