Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Suparna Sastra Diredja Dirajam Sejarah Kelam

Suparna Sastra Diredja adalah sosok pejuang dan tokoh nasional yang tersingkir dari Indonesia sejak terjadinya Gerakan 30 September 1965.

Suparna Sastra Diredja Dirajam Sejarah Kelam
Suparna Sastra Diredja. FOTO/Istimewa

tirto.id - Sejumlah anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan BPP (Badan Pembantu Pimpinan) MPRS berkunjung ke Tiongkok pada pertengahan September 1965 itu. Ada nama Suparna Sastra Diredja dalam rombongan tersebut.

Saat para anggota dewan yang lain kembali ke tanah air, Suparna tidak turut serta. Atas anjuran anggota BPP MPRS lainnya, Suparna diminta untuk tetap di negeri Cina dulu lantaran situasi di Indonesia yang belum stabil.

Ternyata, Suparna tidak akan pernah pulang ke negeri kelahirannya. Situasi politik yang terjadi saat itu memaksanya untuk tetap bertahan di mancanegara demi keamanan. Bahkan, nantinya Suparna mencari perlindungan sampai ke Eropa.

Memang demikian adanya. Di Jakarta pada pengujung bulan itu, terjadilah peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) 1965. Suparna Sastra Diredja adalah anggota MPRS dari unsur Partai Komunis Indonesia (PKI).

Membela Bangsa Sedari Muda

Suparna Sastra Diredja lahir di sebuah desa kecil bernama Tarogong, terletak di Garut, Jawa Barat, tanggal 2 Februari 1914. Ayahnya, Abdul Sastra Diredja, adalah guru sekolah dasar, sementara keseharian sang ibunda, Emi Resmi, sebagai ibu rumah tangga.

Terlepas dari apapun ideologi politik yang dipilihnya nanti, faktanya, Suparna merupakan sosok heroik yang gigih menjaga martabat bangsanya. Ia berjuang sejak era pergerakan nasional pada zaman kolonial Belanda, turut melawan kala Jepang berkuasa di Nusantara, ikut mengawal kemerdekaan Indonesia, juga masa-masa setelahnya.

Suparna menekuni jalan pergerakan sejak muda. Bayangkan, pada usia 22 tahun, ia sudah merasakan pengapnya meringkuk di balik jeruji tahanan kolonial. Pada 1937 itu, Suparna ditangkap lantaran penerbitan artikel di majalah Indonesia Moeda yang dianggap meresahkan dan berpotensi menghasut masyarakat.

Kendati tokoh-tokoh mumpuni macam Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Yamin berusaha membelanya habis-habisan dalam pengadilan kolonial Hindia Belanda di Batavia (Jakarta), namun Suparna tetap harus menjalani hukuman: ditahan selama 10 bulan.

Majalah Indonesia Moeda yang dikelola Suparna itu adalah media milik organisasi pergerakan dengan nama yang sama, yakni Indonesia Moeda. Perhimpunan ini merupakan gabungan dari Jong Java, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, dan Jong Sumatera, dibentuk 31 Desember 1930 dengan anggota sebanyak 2.400 orang serta punya 25 cabang di berbagai daerah (Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda, 2008:34).

Selain Suparna sebagai salah satu pimpinannya, banyak tokoh nasional lintas kalangan yang juga terlibat dalam kepengurusan Indonesia Moeda, sebut saja Amir Hamzah, Ani Idrus, Abdulrahman Saleh, Mohammad Yamin, Roeslan Abdulgani, Saridjah Niung (kelak dikenal sebagai Ibu Sud), Soedarisman Poerwokoesoemo, Armijn Pane, Soekarni, hingga Sutan Mohammad Rasjid.

Suparna aktif pula di Pergoeroean Rakjat, wadah pengajaran yang menyelenggarakan kursus mengenai berbagai cabang ilmu yang diperuntukkan bagi masyarakat luas. Perguruan ini didirikan oleh Sunario Sastrowardoyo dan Sugondo Djojopuspito di Batavia tidak lama setelah Sumpah Pemuda tahun 1928 (‎Djuariah Latuconsina, dkk., Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan, 1986:10).

Melawan Jepang, Mengawal Kemerdekaan

Saat Jepang merebut Indonesia dari Belanda sejak 1942, Suparna turut bergerak. Ia bersama para pemuda revolusioner seperti Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni, yang nantinya berperan penting dalam persiapan kemerdekaan RI, bergabung dengan laskar perjuangan bawah tanah.

Laskar ini menjalankan pergerakannya dengan kedok Koperasi Rakyat Indonesia (Korindo) agar tidak menimbulkan kecurigaan meskipun pada akhirnya nanti ketahuan juga dan dibubarkan paksa oleh pemerintah militer Jepang (Rudolf Mrazek, et.al., Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, 1996:411).

Pada periode yang sama, Suparna terlibat aktif dalam Badan Penolong Prajurit Pekerja di Jawa Barat. Lembaga ini dibentuk untuk membantu keluarga romusha (Muhammad Abdul Aziz, Japan's Colonialism and Indonesia, 2012:240). Melalui Badan Penolong Prajurit Pekerja, Suparna mengelola dapur umum yang disediakan untuk rakyat yang dipekerjakan paksa oleh Jepang.

Suparna turut mengawal kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Seiring kembalinya Belanda (NICA) ke Indonesia sebulan berselang, ia turut membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Ini merupakan salah satu laskar perjuangan pemuda untuk menghadang tentara Belanda (Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution, 2006:118).

Tahun 1947, Suparna menjadi salah satu pendiri Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) dan menjabat sebagai sekretaris jenderal hingga 1965 (James C. Docherty & Sjaak van der Velden, Historical Dictionary of Organized Labor, 2012:236).

Selain itu, Suparna terpilih sebagai anggota Komite Nasional Indonesia, badan perwakilan rakyat sementara. Ia terlibat pula dalam berbagai perundingan penting antara delegasi Indonesia dengan Belanda, terutama tentang masalah perkebunan, hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI secara penuh sejak 27 Desember 1949.

Suparna juga duduk sebagai anggota Dewan Nasional (DN) Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia atau SOBSI. Sejak SOBSI berdiri hingga dihancurkan oleh militer pada era Orde Baru, Suparna selalu terpilih sebagai anggota Dewan Nasional dalam setiap kongres organisasi tersebut.

Sementara itu, TNI mendorong pembentukan Badan Nasionalisasi dan sebelum tahun 1958, tentara telah menguasai manajemen di 144 perusahaan (Sugiarso Surjojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai: G-30-S/PKI dan Peran Bung Karno, 1988:143).

Di perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi ini, para buruh yang bergabung di beberapa serikat buruh mulai didekati. Mereka dibujuk untuk melepaskan keanggotaan lama dan masuk ke Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (PKPN).

Pada 10 Mei 1961, dalam rapat pleno pimpinan PKPN seluruh Indonesia, dibentuklah Badan Koordinasi Pusat Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (BKPPKPN). Selanjutnya, dalam Musyawarah Kerja Nasional I di Palembang, BKPPKPN diubah namanya menjadi Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI).

Oleh Angkatan Darat, pembentukan SOKSI ditujukan untuk menarik para buruh perusahaan pemerintah agar tidak terpengaruh SOBSI (A.F. Sigit Rochadi, Gerakan Buruh Indonesia: Perlawanan dan Fragmentasi, 2020:80).

Konsep "kekaryaan" atau "karyawan" sejak semula dikedepankan untuk menolak konsep "buruh" yang dinilai antagonistis. Buruh dianggap identik dengan perjuangan kelas: kelas buruh melawan kelas majikan yang kapitalis. Sementara dalam konsep kekaryaan yang konon tidak ada pertentangan kelas, karyawan (buruh) bersama pengusaha (majikan) berjuang mencapai kemakmuran.

Tak lama setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965, tepatnya pada 1966, SOBSI dibubarkan lantaran dituding terlibat dalam gerakan tersebut. Setelah bubarnya SOBSI, SOKSI semakin berpengaruh, termasuk berperan dalam terbentuknya Sekretariat Bersama Golongan Karya yang merupakan kekuatan politik penting di era Orde Baru.

Para kader SOKSI pun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Soeharto. Pada akhirnya, kepanjangan SOKSI diubah menjadi Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia.

Tersingkir Sampai Akhir dari Tanah Air

Suparna bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang akan mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) pertama tahun 1955. Setelahnya, ia menjadi anggota Dewan Kostituante (lembaga negara yang bertugas konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950) dari fraksi parpol kiri tersebut.

Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dibentuklah MPRS yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, salah satunya dari unsur PKI.

Dalam kapasitasnya sebagai anggota MPRS inilah Suparna turut dalam rombongan yang berkunjung ke Tiongkok atau Cina pada September 1965 itu. Namun, setelah insiden G30S, sangat riskan baginya untuk pulang karena saat itu dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI di tanah air.

Suparna tertahan di Cina selama 12 tahun. Pada 1978, ia pindah ke Eropa dan mendapat suaka politik dari pemerintah Belanda. Suparna aktif dalam berbagai kegiatan sosial di negeri kincir angin selain bergabung dengan Partai Komunis Belanda sejak 1982. Ia juga kerap menulis artikel yang seringkali mengupas tentang negara yang selalu dirindukannya, Indonesia.

Namun, untuk kembali ke tanah air, Suparna masih belum berani. Sejak terjadinya G30S tahun 1965, rezim Sukarno mulai menuai keruntuhannya dan kemudian digantikan oleh Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto yang sangat anti-komunis.

Dari Amsterdam, Suparna hanya bisa menahan kangen terhadap negara yang dulu diperjuangkannya dengan segenap jiwa. Sang pejuang heroik ini tidak pernah sempat pulang hingga napas terakhirnya.

Suparna Sastra Diredja wafat di Amsterdam pada 31 Desember 1996. Sampai akhir, ia tetap menyandang predikat sebagai pelarian politik Orde Baru, rezim pimpinan Soeharto yang akhirnya tumbang 2 tahun berselang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH