tirto.id - Media sosial ramai dengan unggahan soal protes penggunaan mobil yang dilengkapi sirine dan strobo. Beberapa pengguna jalan kini memilih tidak membiarkan begitu saja kendaraan lewat meski sirine berbunyi dan kilau strobo keluar. Belakangan, protes itu terekam dalam gerakan “Stop tot tot wuk wuk”, yang mengambil ciri khas bunyi mobil pejabat dan aparat.
Seperti unggahan akun Instagram @callmetimo yang tampak kendaraannya tetap di jalur, tak memberi jalan, walau mobil berjenis SUV dengan plat kepolisian mendesak menyalip dengan strobo.
“Jujur agak deg-degan juga sih, apalagi dia tetap bisa nyalip setelah dapat celah dari jalur kiri. Tapi kalau enggak salah, kenapa takut,” tulis akun tersebut, yang disambut ribuan respons.
Unggahan akun tersebut senada dengan unggahan-unggahan lain di media sosial, yang bernarasi protes seperti, “Kecuali ambulance dan damkar, stop strobo dan sirine, kalian hidup dari pajak kami”.
Menyusul protes ini, Kakorlantas Polri, Irjen Agus Suryonugroho memutuskan pelarangan penggunaan rotator dan sirine mobil patroli pengawalan (patwal). Meski begitu, keputusan ini bersifat sementara waktu.
"Saya bekukan untuk pengawalan menggunakan suara-suara itu karena ini juga masyarakat terganggu, apalagi padat," kata Agus di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Kata Agus, Korlantas Polri menerima ragam masukan dari masyarakat soal perbaikan lalu lintas selama ini. Tak terkecuali termasuk protes soal penghentian penggunaan rotator dan sirine yang bergema di jagat maya.
"Semua masukan masyarakat itu hal positif untuk kita dan ini saya evaluasi. Biarpun ada ketentuannya pada saat kapan menggunakan sirine termasuk tot tot. Dan ini saya terima kasih kepada masyarakat untuk Korlantas sementara kita bekukan," ujar Agus.

Polda Metro Jaya juga buka suara. Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Ojo Ruslani menyatakan bahwa strobo dan sirine selama ini diatur dalam Pasal 135 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Sehingga, dua alat itu memang secara resmi melekat pada mobil pengawalan, pemadam kebakaran, pimpinan lembaga negara, tamu negara, tamu pejabat negara asing, ambulans, mobil jenazah, konvoi kepentingan tertentu, dan kendaraan penolong kecelakaan.
Ojo menegaskan, kendaraan pribadi memang tidak diperbolehkan menggunakan rotator maupun sirine. Oleh karena itu, penindakan berlaku bagi pengguna strobo maupun sirine yang tidak sesuai peruntukannya.
Dia mengklaim selama ini kepolisian melakukan kerja-kerja penegakan melalui teknologi Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE), yang mendeteksi penggunaan sirine dan rotator tak sesuai.
"Kalau mau lapor boleh saja, sanksinya di Pasal 287 Ayat 4, sanksi pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda Rp250 ribu. Ketika menemukan kendaraan pribadi di jalan gunakan rotator dan sirine berlebihan, diingatkan boleh saja, tentunya lihat situasi juga, jangan sampai malah membuat kemacetan," ucap Ojo.
Kerap Disalahgunakan
Perilaku para pejabat dan aparat yang kerap menggunakan strobo dan sirine saat melintas di jalanan dinilai tidak tepat. Sebab, selama ini, urgensi penggunaan mobil yang mengeluarkan kilau dan bunyi mengganggu itu kerap kali disalahgunakan.
Pengamat bidang Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menekankan protes masyarakat merupakan akumulasi kejengahan dari laku aparat dan pejabat publik. Di saat masyarakat susah-payah mencari celah terhindar titik macet di jalan tol, misalnya, mobil bersirine dan berstrobo seenaknya membelah kemacetan.
“Masyarakat tentu merasa mereka lah yang memberikan fasilitas itu melalui pajak. Arogansi muncul karena perilaku hedonis dan koruptif pejabat dan aparat. Karena penggunaan fasilitas mobil dinas atau kewenangan menggunakan strobo dan sirine yang tidak semestinya, itu termasuk perilaku koruptif,” kata Bambang kepada Tirto, Selasa (23/9/2025).
Bambang mewanti-wanti penggunaan strobo dan sirine pada mobil dinas bukan pada tempat dan waktunya juga merupakan penyalahgunaan kewenangan. Semisal mobil dinas atau patroli kepolisian yang seharusnya digunakan untuk kerja-kerja mengayomi dan melindungi masyarakat, tapi justru dipakai untuk kepentingan personal.
Dia mengingatkan masih banyak personel kepolisian justru menggunakan kendaraan dinasnya untuk keperluan non-keamanan umum. Misalnya, motor patroli yang acap kali dilihat di jalanan mengawal konvoi mobil mewah maupun motor gede.
“Kalau dilihat di jalanan, yang tat tot tat tot, kan bukan hanya polisi, tapi ada (aparat) TNI, dan sipil seperti DPR sampai pengusaha yang dikawal. Padahal tugas mereka (kepolisian) bukan untuk mengawal personal,” ujar dia.

Adapun aturan terkait pengawalan sipil oleh kepolisian, merujuk pada Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 4 tahun 2017 Tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara RI di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara RI. Dalam Pasal 8 ayat (1), polisi bisa mendapat penugasan sebagai ajudan atau personel pengamanan dan pengawalan Pejabat Negara yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf e dan huruf f.
Dalam beleid itu, selain presiden dan wakil presiden, mereka yang berhak mendapat pengawalan adalah pejabat negara berstatus kepala institusi di level kementerian/lembaga hingga kepala daerah. Klausul soal sipil mendapat pengawalan, tidak diatur alias dilarang mendapat pengawalan.
Lebih mendasar, Bambang menekankan Undang-undang Nomor 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada pelaksanaannya kerap dilanggar oleh aparat dan pejabat. Pelaksanaan beleid itu tidak akan efektif mendera pelanggar jika pengatur justru menjadi pelaku.
Merujuk Pasal 134, memang ada pengecualian untuk beberapa kendaraan agar bisa melintasi jalan tanpa hambatan. Tetapi dapat berlaku ketika sedang menjalani tugas. Kendaraan yang dimaksud mulai dari kendaraan pemadam kebakaran yang menuju lokasi api; ambulans yang mengangkut orang sakit; kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu Lintas; kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia; kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara; iring-iringan pengantar jenazah; dan konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas kepolisian.

Penggunaan sirine dan strobo juga diatur dalam beleid sama, persisnya tercantum pada pasal 59. Beberapa di antaranya, seperti lampu isyarat warna biru dan sirene, digunakan untuk kendaraan petugas kepolisian, lampu sirine merah digunakan kendaraan tahanan, pengawalan TNI, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan mobil jenazah. Berikutnya, lampu isyarat warna kuning tanpa sirine digunakan untuk kendaraan patroli jalan tol.
Bambang mengatakan UU LLAJ sudah cukup mengatur siapa saja yang berhak melintasi jalan lebih dulu dan kendaraan mana saja yang bisa dibekali sirine dan strobo. Akan tetapi, razia yang dilakukan kepolisian dinilai tidak konsisten. Padahal kepolisian memiliki sejumlah instrumen untuk memaksimalkan kerja penilangan.
“Semestinya operasi (razia) secara insidentil terus dilakukan. Kepolisian mesti memahami kebiasaan di Indonesia terkait permisif akan pelanggaran. Sekarang ini sangat memungkinkan teknologi digital untuk merespons pelanggaran. Tinggal dipantau saja mobil yang melanggar siapa, lalu nanti tinggal ditindak saja,” kata dia.

Konsistensi razia kendaraan berstrobo dan bersirine yang tak sesuai peruntukannya bakal terjaga alurnya jika mekanisme pengawasan berjalan. Bambang tidak meyakini kalau Kompolnas dan internal kepolisian seperti Propam bisa mengawasi kinerja aparat.
“Konsistensi itu tidak melihat waktu, tempat, dan tidak melihat siapa. Selama tidak ada akuntabilitas pelaksanaan tugas kepolisian, ini (soal korlantas bekukan penggunaan strobo dan sirine) akan jadi seremonial, nanti akan ada protes lagi dari masyarakat,” kata Bambang.
Wakil Direktur Imparsial Husein Ahmad mengatakan penegakan sanksi etik mendesak dikenakan bagi pejabat dan aparat yang melanggar ketentuan penggunaan mobil berstrobo dan bersirine. Bukan cuma mereka yang diperbolehkan membelah kemacetan atas dalih pengguna jalan yang memperoleh hak utama, tapi sanksi dikenakan juga di luar pejabat yang tidak termasuk kriteria sesuai UU LLAJ.
“Sebenarnya mudah dilakukan (penegakan), misal kepolisian ada Propam yang mengawasi secara etik dan ada Kompolnas. Di Kejaksaan ada Komisi Kejaksaan, di TNI ada Provost. Ini kan soal keberanian dan keseriusan pimpinan saja,” ujar Husein kepada Tirto, Senin.
Husein mengatakan permasalahan ini bersumber dari kemauan penegakan hukum sehingga opsi untuk melakukan revisi UU LLAJ bisa saja ditempuh. Aturan yang ada dinilai masih cukup longgar sehingga ada celah. Dia mengetahui betul bagaimana kendaraan dinas yang dilengkapi sirine dan strobo hanya dipakai untuk kepentingan tidak kena macet selama berangkat dan pulang kerja.
“Bisa saja revisi bahwa tidak semua kendaraan plat dinas diberi keistimewaan strobo dan sirine,” kata dia.
Seperti TNI, dia mencontohkan kendaraan berstrobo dan bersirene cukup digunakan bagi kendaraan tempur. Juga para menteri, tidak perlu sepenuhnya penggunaan hak khusus diberikan.
“Jangan semua kegiatan dan kepentingan pejabat dan aparat dianggap kondisi khusus,” tuturnya.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































