Menuju konten utama

SP3T di Jombang: Saat TNI Menguasai Alat Produksi Padi

TNI Angkatan Darat membuat apa yang disebut Sentra Pelayanan Pertanian Padi Terpadu. Salah satunya di Jombang, Jawa Timur. Bagaimana bentuk pelayanan para serdadu ini kepada petani setempat dengan cara serba mengandalkan mesin?

SP3T di Jombang: Saat TNI Menguasai Alat Produksi Padi
Anggota TNI sedang mengemas beras dalam kemasan 5 kilogram di Jombang, Jawa Timur, Selasa (11/7).Foto/Tony Firman.

tirto.id - Kompleks bangunan peninggalan Belanda, yang dulu ditempati Yonif Para Raider 503/Mayangkara, kembali semarak sejak dipakai untuk tempat Sentra Pelayanan Pertanian Padi Terpadu (SP3T) Komando Resort Militer 082/Citra Panca Yudha Jaya. Letaknya di Desa Denanyar, Kecamatan Jombang, sekitar 5 km dari alun-alun Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Semak-semak dan ilalang dibabat rapi terutama di deretan gedung sisi barat. Ada sekitar 5 gedung utama yang dipoles ulang dengan dominan warna hijau khas TNI. Sebelum dipakai sebagai lokasi TNI mengurusi pangan—bagian dari program apa yang disebut 'TNI Manunggal Membangun Desa', selama belasan tahun kompleks itu dibiarkan tak terurus dan hanya dihuni oleh beberapa keluarga purnawirawan.

Batalyon Infanteri Para Raider 503/Mayangkara sendiri telah lama pindah sejauh 43 km di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto.

Sejak medio 2016, Kementerian Pertanian memang meminta bantuan TNI untuk bekerja bersama petani demi mewujudkan proyek pemerintahan Jokowi untuk kedaulatan pangan. Aset milik TNI Angkatan Darat ini dinilai cocok sebagai proyek percontohan swasembada beras dengan sistem mekanisasi pertanian.

Di Kabupaten Jombang, 87 persen atau 100.276 hektare dari total luas wilayahnya didominasi lahan pertanian. Dari luas itu, berdasarkan data BPS tahun 2015, 42 persennya adalah lahan sawah.

SP3T sendiri, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi, merupakan inisiatif TNI untuk “membantu program pertanian.”

Baca:

Renovasi dan segala persiapan dimulai sejak tahun lalu. Pada September 2016, progres pembangunannya sempat ditinjau oleh Asisten Teritorial Kasad Mayjen TNI Komarudin Simanjutak (lulusan Akmil 1985) didampingi Danrem 082/CPYJ Kolonel Kav. Gathut Setyo Utomo (lulusan Akmil 1990) serta pejabat sipil daerah setempat.

Pada 27 Januari 2017, kompleks itu resmi beroperasi.

Ia dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Mulyono (sebelumnya menjabat Panglima Kostrad; lulusan Akmil 1983). Turut hadir pula Mayjen Komarudin Simanjuntak, Bupati Jombang Nyono Suharli, Anggota DPD RI Muhammad Mawardi (Bupati Kapuas 2008-2013), komandan distrik militer se-Jawa Timur, dan segenap jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah setempat.

Sebagaimana dilansir dari situs resmi Kementerian Pertanian, Amran berharap TNI “dapat menggerakkan SP3T” di wilayah masing-masing. Di kesempatan yang sama, Jenderal Mulyono menyatakan “naif” bila Indonesia sebagai “negara agraris yang luas dan subur” masih mengimpor beras. “Untuk itu,” katanya, “kita harus cerdas dalam mengelola sumber daya lahan dan manusia.”

Mekanisasi Produksi Pertanian di SP3T

Mayor Arm Muslikh, manajer SP3T Korem 082/CPY Unit Jombang, sesudah diizinkan oleh Korem pusat di Mojokerto, menjelaskan seluk-beluk produksi padi di SP3T.

“Semua ini orang Korem yang memantau di sini. Yang tinggal di sini ada, yang piket jaga malam ada, sampai hari libur pokoknya enggak pernah ditinggal,” ujar Mayor Muslikh. “Area yang sudah dibuka ini seluas 18,2 ha. Kita keroyokan untuk membuka ini, baik dengan alat berat maupun pertanian.”

Ada total 15 anggota TNI yang sehari-hari mengelola dan menjalankan rantai produksi di SP3T tersebut. Selebihnya, warga sipil yang “diberdayakan untuk membantu” dengan tujuan kelak para warga “bisa kecipratan ilmu dan mandiri.”

Salah satu warga itu bernama Yanto. Ia bekerja sebagai buruh SP3T sejak Januari lalu. “Saya dari pagi (bekerja). Kalau penjemuran numpuk, ada oven dryer,” katanya. “Personel tentara ada di dalam, kadang-kadang juga bantu-bantu.” Yanto enggan berkata lebih lanjut.

Saat saya ke lokasi SP3T, medio Juli lalu, selain Yanto, ada beberapa orang yang tengah menuangkan gabah kering ke dalam karung-karung. Sesekali mereka beristirahat di bawah sengatan terik matahari.

Mayor Muslikh kembali menjelaskan ada empat kegiatan dari hulu ke hilir. Ia meliputi mekanisasi semai, membuka lahan, pengeringan melalui lantai jemur maupun oven, sampai penggilingan.

Sembari menunjukkan ruangan yang diklaimnya memakai alat modern penyemaian bibit padi pertama di Indonesia, ia mengatakan alat pertanian semacam ini “dapat memecahkan persoalan petani sejak tahap awal.”

“Ini penyemaian, ya. Grain Seeder nama alatnya. Kita pakai ini saja, satu jam sudah dapat 700 tray (baki). Perbandingannya satu hektare itu 210 tray, berarti satu jam dapat menyiapkan lahan 2 ha. Dari sini jelas cost bisa dipangkas daripada penyemaian cara konvensional,” ujarnya, bangga.

Berbeda dari alat lain yang masih semi-mekanik, katanya, TNI mengerjakan semua proses penyemaian lewat Grain Seeder: dari penyebaran bijih padi, penyiraman, hingga penutupan kembali campuran tanah dan kompos.

Proses penyemaian dengan media baki bisa memangkas waktu, selain dapat menghemat lahan dan tak harus dilakukan di lokasi sawah langsung. Mayor Muslikh mengklaim penyemaian dengan alat ini hanya butuh 14 hari hingga siap dipindahkan ke lahan sawah untuk ditanam sampai akhirnya siap dipanen. Sementara, bila pakai cara konvensional, umumnya butuh 24 hari hingga siap tanam untuk lahan semai seluas 1 hektare.

Di SP3T, katanya, TNI mengizinkan petani membawa bijih padi sendiri maupun membeli langsung dari mereka.

SP3T juga punya alat bernama Combine Harvester yang bisa rata memanen gabah. Selain itu, di ruangan lain, Mayor Muslikh memamerkan mesin oven sebagai alat pengering gabah.

“Selain lantai jemur, ini andalannya. Penggilingan besar sudah punya memang, tetapi yang menggunakan bahan bakar sekam itu jarang sekali,” ujarnya. Lewat alat macam ini, sekam bekas penggilingan gabah ditampung lagi, sementara abu pembakaran sekam dipakai sebagai campuran tanah media penyemaian kembali.

Alat pengering ini memiliki kapasitas 12 ton, bekerja selama 8 hingga 12 jam, tergantung kadar air dan permintaan petani. Ia dipakai terutama saat mereka kewalahan menjemur di lahan terbuka. Praktis, bila musim hujan, Dryer jadi andalan utama SP3T.

Mesin penggilingan gabah tak berbeda dari mesin umumnya. Namun, karena memakai tenaga listrik, fisik mesin penggilingan jadi lebih ringkas dan efisien.

Mayor Muslikh berkata, serangkaian mekanisasi produksi pertanian padi di SP3T dari hulu ke hilir ini bisa disewakan dan bisa menguntungkan petani sebagai solusi dari cara konvensional selama ini.

“Orang-orang itu berapa kali gagal,” katanya merujuk petani setempat. “Baru menyemai, sudah kena hama. Juga enggak bisa mengendalikan air di musim hujan. Kalau pakai alat-alat kita, kan, bisa mengendalikan air.”

“Nah, kalau di sawah, pas kebanjiran, selesai sudah,” tambah Mayor Muslikh, mantap.

Ia mengatakan bahwa kehadiran “SP3T mau menjawab kesulitan para petani.”

infografik HL Indepth Tugas Pokok TNI

Jual-beli Gabah dan Jasa Sewa Alat Produksi

SP3T juga membeli gabah dari petani dan menjual beras buat umum. Mereka mengklaim selalu membeli tidak pernah di bawah harga pembelian pemerintah.

“Ini sekarang Rp4.200/kg sampai Rp4.100/kg gabah. Kalau tengkulak pasti enggak beranilah beli Rp4.000/kg gabah. Kita memangkas itu. Bukannya kita mencabut penghasilan tengkulak, tetapi komitmen kita untuk petani,” klaim Mayor Muslikh.

SP3T juga mematok jasa penyemaian: Rp2.450.000/ha jika bibit dan tenaga seluruhnya dari mereka. Untuk jasa penjemuran gabah: Rp100/kg. Untuk jasa penggilingan: Rp250/kg gabah.

Mereka juga menjual beras, tak cuma disetor ke Bulog. Di salah satu kaca gedung SP3T, tertempel kertas memuat tulisan harga jual beras.

“Ibu-ibu mau pulang mampir beli sekilo ya dilayani, tidak mungkin toh ditolak,” ujar Mayor Muslikh.

Sejak ada SP3T, TNI setempat “terus melakukan komunikasi” dengan kepala desa di daerah lain termasuk kerja sama dengan kelompok tani di Kabupaten Jombang. Beberapa ada yang datang untuk menjemur dan menjual gabah maupun menggiling gabah.

Para petani yang datang tak cuma dari Jombang, tetapi dari Bojonegoro, Lamongan, Kediri, Mojokerto, dan Tuban. Petugas di SP3T harus mengatur jadwal guna bisa menampung permintaan tersebut meski diakui Mayor Muslikh tak bisa melayani semuanya.

Meski ada transaksi dan berpotensi sebagai unit usaha TNI Angkatan Darat, Mayor Muslikh menampik tujuan SP3T untuk mengejar laba. “Bukan profit oriented,” bantahnya. “Tidak seperti itu. Kan, TNI enggak boleh usaha. Kita berangkat dari ketahanan pangan.”

Saat laporan ini ditulis, para petani di Desa Denanyar sendiri belum ada yang memanfaatkan jasa mekanisasi pertanian padi yang dimiliki SP3T. Ini diucapkan oleh kepala desa Ayub Effendi karena teknologi alat produksi padi tersebut bagi petani setempat “masih relatif baru.”

Model 'Kerja Sama' TNI dan Petani

Saat saya datang ke lokasi Sentra Pelayanan Pertanian Padi Terpadu itu, baru ada tiga petani yang mau diajak “kerja sama” oleh SP3T. Salah satunya adalah Bambang Hermanto, Kepala Desa Plosokerep yang juga pembina petani setempat. Desa ini berjarak sekitar 10 kilometer dari SP3T.

Saya menemui Bambang Hermanto ketika ia tengah di sawah, di seberang jalan depan rumahnya, pada satu siang medio Juli lalu. Bambang mau menjajal program penyemaian bibit secara mekanis via SP3T.

Ceritanya, Bambang turut diundang dalam acara peresmian SP3T pada Januari lalu. Ia dan Mayor Muslikh sama-sama satu desa. Ini hubungan kawan. Sang mayor mengajak teman satu desanya ini agar lahan padinya dijadikan proyek percontohan mekanisasi produksi pangan.

“Kita awali dengan penanaman plus pengadaan bibit dari sana. Tenaga kerja, alat tanam, juga dari sana,” ujar Bambang, yang memiliki sawah seluas 1 hektare dan memulai musim tanam pada April lalu menjelang musim kemarau.

Bambang menilai bahwa mekanisasi penyemaian bibit dari SP3T menguntungkan baginya. Penyebaran bibit dan pertumbuhannya merata, minim ruang kosong.

“Kalau (penyemaian) konvensional itu pakai cara sebar,” ujarnya, membandingkan. “Setelah ditanam, padi tumbuhnya stagnan. Kalau ini, kan, enggak, langsung hidup.” Anakan padi pun diakui lebih banyak dan lebat sehingga berpengaruh pada hasil panen dan menghemat benih.

Waktu penyemaian hingga siap tanam juga diakui lebih cepat. Selama puluhan tahun memakai “cara konvensional”—Bambang sudah turun ke sawah sejak sekolah dasar—ia biasanya butuh waktu rata-rata 21 hari; sementara lewat mesin Grain Seeder SP3T, ia bisa memangkas waktu hanya 14 hari untuk kemudian siap ditanam di lahan sawah.

Keuntungan tambahan lain ia bisa “menghemat” buruh tani. Biaya pengeluaran termasuk “uang rokok dan makan” dapat ditekan.

“Kalau dihitung-hitung, tenaga buruh tani lebih mahal. Sebetulnya enggak masalah nampung tenaga kerja, tetapi kalau di hitung-hitung, yang punya sawah tidak kebagian, mepet. Habis untuk tenaga kerja,” ujar Bambang.

Ada 60 petani di Desa Plosokerep dan tiga dari mereka termasuk Bambang memakai jasa SP3T untuk menyemai benih. Total luas lahan ketiga petani itu 2 hektare. Mayoritas petani lain masih enggan mencoba penyemaian mekanis karena “tergolong baru” di mata mereka.

Mulai dari bibit sampai ongkos kirim ke ladang, SP3T menarik Rp300 ribu untuk banon seratus (banon seratus = 100 ru, 1 ha = 700 ru). Jika bibit dibawa sendiri, biayanya Rp200 ribu untuk banon seratus. Jika dengan cara konvensional, petani biasanya mengeluarkan biaya Rp425 ribu - Rp450 ribu/ banon seratus, termasuk ongkos buruh tani dan sebagainya. Menurut Bambang, dengan hitung-hitungan begitu, kerja sama dengan SP3T “jauh lebih menguntungkan.”

Bambang berkata bahwa kerja sama ini tidak dipaksa untuk mencapai target tertentu. Petani, katanya, “dibebaskan untuk memilih menggunakan jasa dari hulu ke hilir maupun hanya sebagian” lewat SP3T. Ia sendiri masih belum memutuskan apakah hasil panen kali ini akan dijual ke SP3T atau tengkulak seperti biasanya.

Serangan Hama hingga Minim Tenaga Petani Muda

Ayub Effendi, Kepala Desa Denanyar, mengeluhkan para petani tidak punya lahan untuk pengeringan gabah serta modal petani yang “sangat mepet”. Saat ini hampir lahan petani di Jombang terserang hama wereng. Karena modal tani mepet, kata Ayub, petani memilih langsung tebas padi di sawah dengan risiko rugi besar untuk mengatasi situasi tersebut.

Pada bulan ini, hama wereng menyerang lahan sawah di 15 dari 21 kecamatan di Jombang. Itu bikin petani cepat-cepat memanen padi bila tidak ingin melihat serangan hama menyebar lebih luas lagi.

Itu juga dikeluhkan oleh Kepala Desa Plosokerep Bambang Hermanto, “Sekarang kami bersama-sama berfokus ke penanggulangan wereng. Sedang meledak hama wereng. Kemarin sudah dapat bantuan obat dari pemerintah. Mudah-mudahan ini (tidak gagal panen).”

Selain itu, sebagaimana jadi tren di seluruh perdesaan di Indonesia, tenaga kerja buruh tani dari waktu ke waktu semakin langka di Jombang. Hanya orang-orang lama yang masih bersedia mengambil pekerjaan sebagai petani. Para pemuda hampir enggan, memilih kerja bangunan yang dianggap punya derajat lebih baik dibanding harus berkubang lumpur di sawah.

Tenaga buruh tani untuk musim tanam saja, Bambang dan para petani lain sering minta dari luar desa. Gabungan kelompok tani bukan tak punya alat-alat semi-modern, tetapi lantaran kesulitan buruh tani, praktis mereka juga sulit mengoperasikan dan membagi tenaga.

Di seberang petak sawah, menjelang sore, saya bertemu dengan Abdul Mukti, salah seorang petani dari Desa Plosokerep. Saban hari ia menyempatkan turun ke sawah, apalagi akhir-akhir ini menjelang musim panen dalam dua sampai tiga minggu ke depan di tengah serangan hama wereng.

Abdul berkata “akan melihat terlebih dulu” hasil panen dan keuntungan dari sawah Kepala Desa Bambang Hermanto yang memakai jasa penyemaian mekanis SP3T.

“Saya sendiri belum dengar soal program itu. Juga sudah nyemai dan terlanjur duluan menanam,” katanya. “Saya dan petani-petani lain itu pokoknya enggak usah sosialisasi tapi ada bukti nyata, Insyallah akan ikut.”

Baik Abdul dan Bambang berkata bahwa memiliki ladang sawah dan bertani bukan mencari keuntungan semata, melainkan “pelipur penat” saat mereka berkubang lumpur sembari memantau perkembangan tanaman padi.

“Kita sejak kecil bertani. Usia kita hampir sama, latar belakang orangtua juga. Dan sedikit punya lahan sendiri. Saya lihat teman-teman lain yang sudah punya profesi sudah enggan turun ke sawah, mungkin terkesan ndeso, ya,” ujar Abdul.

Baca juga artikel terkait SWASEMBADA PANGAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam