Menuju konten utama
10 Mei 1998

Soemitro, Jenderal yang Berani Melawan Soeharto  

Jenderal tua.
Kecamuk intrik pada
drama istana.

Soemitro, Jenderal yang Berani Melawan Soeharto  
Ilustrasi Soemitro (1927-1998). tirto/Sabit.

tirto.id - Suatu hari, waktu masih jadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, meski dengan hati-hati, berani-beraninya bilang ke Presiden Soeharto agar sang presiden mulai mencari orang lain untuk menggantikannya. Ucapan Benny Moerdani itu dicatat Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 84). Yang terjadi kemudian: Soeharto marah.

Benny kemudian curhat kepada salah satu jenderal senior yang juga pernah jadi kepercayaan Soeharto. Namanya Soemitro. Sebelum Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), dia adalah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Kepada Benny, Soemitro bilang: “Kau salah, Ben. Yang harus menyampaikan saran itu bukan kau, tapi kami, teman segenerasinya.”

Bukan Pembantu Dekat Soeharto

Soemitro dikenal sebagai jenderal yang tidak suka kepada Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Mayor Jenderal Ali Moertopo—orang kepercayaan Soeharto sejak jadi Panglima di Jawa Tengah. Soemitro sendiri tak pernah secara terang-terangan meminta Soeharto mundur jadi Presiden. Nyatanya, krisis moneter dan reformasi 1998 yang membuat Soeharto kemudian mundur.

Bersama Maraden Panggabean yang pernah menjadi Menteri Pertahanan, Soemitro dinilai “dapat bekerjasama dengan baik bersama Presiden, tetapi tidak pernah dipandang sebagai Pembantu Dekatnya,” tulis David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975- 1983 (2010:31).

Ketika berkunjung ke kampus-kampus sekitar 1973, Soemitro tahu banyak yang kecewa kepada rezim Soeharto. Ia termasuk jenderal yang prihatin dengan kewenangan militer yang terlalu besar. Jenkins menyebut, Soemitro pernah mendesak Soeharto membubarkan Kopkamtib ketika dia jadi panglimanya. Soemitro punya harapan agar ABRI tidak banyak terjun ke ranah sipil (hlm. 162).

Soemitro pernah dianggap sebagai pesaing Soeharto. Salah satunya lewat Dokumen Ramadi, yang menokohkan Soemitro. Terkait dokumen itu, seperti dikutip Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74 (1998) yang disusun Heru Cahyono, Soeharto hanya berkomentar “Ah, mereka itu hanya memakai nama Mitro untuk mengumpulkan kekuatan” (hlm. 114).