tirto.id - Pemerintah menilai universitas atau perguruan tinggi di Indonesia masih kekurangan dosen bertaraf internasional. Perkiraan jumlah dosen di seluruh Indonesia saat ini adalah 277 ribu orang. Dari angka itu mereka yang mencapai gelar profesor sebanyak 5.400 orang. Namun, tidak semua profesor bertaraf internasional.
“Itu pun yang kelas dunia tidak semua,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pendidikan Tinggi Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti kepada Tirto, Sabtu (21/4).
Saat ini, di Indonesia ada 22 ribu program studi. Idealnya Indonesia memiliki dosen setingkat profesor dalam jumlah yang sama. Ali mengatakan situasi inilah yang mendorong Kemenristekdikti mengimpor dosen-dosen asing ke tanah air.
Rencananya Kemenristekdikti akan mendatangkan sekira 1.000 dosen dari luar negeri. Namun, Ali mengatakan pihaknya baru bisa mendatangkan sekira 200 dosen asing di tahun 2018 ini. Para dosen itu akan difokuskan pada program studi yang terkait dengan sains dan teknologi, termasuk di dalamnya ilmu perikanan dan pertanian.
Ali menerangkan dosen asing yang akan didatangkan ke tanah air haruslah bertaraf internasional, sehingga program ini juga bisa diikuti profesor di Indonesia yang juga bertaraf internasional. “Artinya, tidak saja profesor asing, profesor Indonesia kelas dunia bisa daftar atau diusulkan,” katanya lagi.
Tak ada angka pasti berapa idealnya jumlah dosen bertaraf internasional di sebuah universitas atau perguruan tinggi. Yang jelas, setiap kampus berhak mengusulkan permintaan tenaga pengajar bertaraf internasional. Nantinya, Kemenristekdikti yang akan mengkaji pantas atau tidak pengajar yang diajukan tersebut.
“Itu diusulkan apa yang mereka butuhkan, kami cek, kami negosiasi,” katanya. “Umumnya dari usulan saja [tidak ada masukan dari Kemenristekdikti].”
Ali mengklaim rencana menghadirkan dosen asing justru membuat dosen lokal senang. Sebab mereka bisa berkolaborasi melakukan penelitian, membangun jaringan, bisa saling bertukar informasi seputar sains, teknologi, dan membuat inovasi baru.
Soal penghasilan dosen bertaraf internasional yang dimungkinkan mencapai Rp52 juta per bulan, Ali merasa itu adalah hal yang wajar. Dari sekitar 30 dosen yang merupakan warga negara asing, biasanya penghasilan mereka mencapai Rp20 juta per bulan. “Lagipula Rp52 juta itu ada plafon maksimum. Itu kan tergantung usulan perguruan tinggi serta negosiasi. Dengan kualitas profesor kelas dunia, itu tidak timpang,” ujarnya.
Ali mengungkapkan saat ini sudah ada sekira 70 proposal dari berbagai perguruan tinggi yang masuk Kemenristekdikti. Beberapa di antara proposal itu dikirimkan UI, UGM, dan ITB.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada ini menerangkan sejumlah syarat dosen asing bertaraf internasional. “Sudah ada standarnya. Antara lain H-index (Hirsch index) paling tidak 20, pernah menulis proposal, dan dapat pembiayaan dana internasional, dia juga harus berasal dari perguruan tinggi kelas dunia, diutamakan ada hubungan akademik dengan penerima [hadiah] Nobel, dan lain-lain.”
H-indeks mengacu pada seberapa banyak artikel yang dikutip oleh orang lain dengan jumlah yang sama. Misalnya orang tersebut memiliki H-indeks sebesar 8, maka setidaknya ada 8 artikel/jurnal tulisannya yang dikutip oleh 8 orang lainnya.
Soal perguruan tinggi kelas dunia, Ali tak merinci lebih lanjut. Namun, dari situs The World University Rankings, bisa dilihat perguruan-perguruan tinggi yang termasuk kategori terbaik di dunia. Contohnya adalah Cambridge, Oxford, dan Harvard, yang berada di rentang 10 besar.
“Untuk sekarang fokusnya [dosen] di bidang sains dan teknologi, tapi tidak menutup kemungkinan nanti merambah pada [ilmu] sosial juga,” katanya lagi.
Perlu Pengkajian
Koordinator Pendidikan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Indonesia, Sylviana Murni mewanti-wanti pemerintah untuk berhati-hati dengan rencana mendatangkan dosen asing. Ia menyarankan dosen asing yang didatangkan ke Indonesia harus sesuai dengan kebutuhan keilmuan di tanah air bukan yang bisa diajarkan dosen lokal. Dalam bidang nuklir misalnya, Sylviana mengaku Indonesia masih kekurangan tenaga profesional yang mumpuni.
“Negara ini menyerahkan lapangan kerja yang untuk anak bangsa dulu. Kalau anak bangsa sudah tidak sanggup baru diberikan pada pihak lain,” ujarnya.
Perkataan Sylvi sebenarnya memang sudah diatur dalam Perpres 20/2018. Pasal 4 dalam aturan tersebut berbunyi: Setiap Pemberi Kerja TKA wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Mantan calon wakil gubernur DKI Jakarta ini meminta pemerintah menyetarakan gaji para dosen lokal bertaraf internasional dengan dosen asing. Menurutnya profesor dan guru besar Indonesia tak kalah dengan dosen asing.
“Emang kalau bule pasti lebih pintar dari kita? Pak BJ Habibie [Presiden ke-3 RI] bukan bule, sangat Indonesia. Karyanya juga lebih bagus dari yang lain,” katanya. “Kalau ada ketidakseimbangan atau ada diskriminasi masalah gaji, makin lagi nanti, berontak dosen-dosen Indonesia.”
Selain itu, Sylvi mengatakan perlu ada penyetaraan gaji antara dosen luar dan dalam negeri. “Perlu dong [penyetaraan gaji]. Kalau dari sana [TKA] gaji Rp 52 juta, kenapa Indonesia merasa rugi menggaji warga negara sendiri dengan jumlah yang sama? Uang dari Indonesia, kualitasnya juga tidak kalah.”
Sylvi mengatakan, Kemenristekdikti harus giat menyekolahkan dosen lokal ke luar negeri, baik melalui program LPDP atau program pendidikan lainnya. Persoalan ada peserta LPDP yang enggan mencurahkan tenaganya untuk mengajar bagi perguruan tinggi di Indonesia, Sylvi mengatakan hal itu bisa di atasi dengan pakta integritas antara peserta LPDP dan negara secara tegas. “Mesti ada ikatan dinasnya untuk mengajar,” kata Sylvi.
“Jangan hanya mau disekolahkan, berkompetisi, tapi tidak mau berkontribusi untuk bangsa sendiri.”
Salah satu dosen dari Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya, mengaku tidak keberatan dengan kehadiran pengajar internasional, termasuk soal penghasilan yang sangat timpang. Sebagai contoh, Halimah sebulan mendapat penghasilan sekitar Rp8 juta.
Dibanding honor dosen asing yang hampir 6 kali gajinya, Halimah merasa hal itu wajar. “Apabila memang mereka mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai oleh pengajar Indonesia, kenapa tidak? Lagipula mereka juga harus mendapat kompensasi karena bekerja jauh dari tempat tinggalnya. Wajar mereka mendapat honor lebih tinggi, mereka bukan relawan,” katanya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Jay Akbar & Maulida Sri Handayani