tirto.id - Momentum gerakan #MeToo kembali bergulir. Kali ini yang jadi pesakitan adalah Swedish Academy, institusi penyelenggara Nobel Sastra, akibat terkuaknya sederet kasus pelecehan seksual di lembaga berusia 232 tahun itu. Penghargaan paling bergengsi bagi dunia sastra itu pun terpaksa ditunda sampai 2019.
Dilansir The New York Times, keputusan untuk menunda pemberian hadiah Nobel Sastra diambil karena pihak Nobel Foundation dan pemangku kebijakan lainnya—termasuk Kerajaan Swedia—ingin berfokus pada upaya-upaya pengembalian kepercayaan publik dengan mengusut ini kasus hingga tuntas.
“Yayasan Nobel berasumsi bahwa Swedish Academy akan menuntaskan masalah ini guna memulihkan kredibilitas institusi,” ujar pemimpin yayasan, Carl-Henrik Heldin.
Selain ditunda, skandal seksual yang menimpa Swedish Academy juga membuat beberapa petingginya mundur, salah satunya Sara Danius, sekretaris tetap institusi tersebut.
Keanggotaan dalam Swedish Academy pada dasarnya bersifat tetap dan seumur hidup. Secara teknis, anggota tidak dapat mengundurkan diri dari posisinya. Anggota yang mundur hanya akan dianggap "tidak aktif."
Sejauh ini, keanggotaan di Swedish Academy tinggal tersisa 10 orang dari yang semula 18. Jumlah tersebut memaksa institusi ini tidak bisa menjalankan fungsinya dengan maksimal, sebab diperlukan suara 13 anggota untuk mengambil keputusan.
Geger tubuh Swedish Academy bermula dari sosok bernama Jean-Claude Arnault, budayawan 71 tahun asal Perancis. Arnault orang dekat Swedish Academy dan punya pengaruh di lingkaran elite-elitenya. Istri Arnault, Katarina Frostenson, adalah penyair sekaligus anggota Swedish Academy. Keduanya mengelola Forum, pusat kebudayaan di Stockholm yang rutin memperoleh pendanaan dari Swedish Academy.
Arnault, sebagaimana diberitakan BBC, dituduh telah melakukan pelecehan seksual terhadap 18 perempuan selama menjalani karier di dunia seni. Deretan korban Arnault sudah buka mulut. Novelis Gabriella Hakansson, misalnya, mengatakan bahwa Arnalut melecehkannya pada 2007. Seniman Anna-Karin Bylund mengalami hal serupa pada 1996. Kemudian pada 2006, pewaris tahta Swedia, Putri Victoria, dikabarkan turut jadi sasaran kecabulan Arnault.
Kasus-kasus tersebut dianggap angin lalu oleh Swedish Academy. Namun, kali ini, Arnault tak bisa mengelak. Juni lalu, Jaksa Penuntut Swedia, Christina Voigt, mengatakan bukti-bukti perkara Arnault “cukup kuat” untuk membawanya ke meja hijau. Ia didakwa atas kasus pemerkosaan. Voight juga mempersilakan investigasi secara menyeluruh atas kasus ini.
Kendati begitu, pihak Arnault masih bersikukuh tak bersalah. Pengacaranya, Bjorn Hurtig, menyebut dirinya “tidak sepakat dengan pandangan jaksa” karena “tidak ada bukti, saksi, serta kejadiannya sudah berlangsung lama di masa lalu.”
Bobrok yang Terpendam Sejak Lama
Jauh sebelum kasus ini terkuak ke publik, Arnault memang punya reputasi sebagai laki-laki penggoda. Tapi, saat itu, pada akhir dekade 1990-an, perilakunya tidak dianggap serius oleh kalangan satu lingkarannya.
“Saya telah mendengar soal desas-desus itu. Tapi, tidak tentang pemerkosaan. Hanya saja dia sangat tertarik menyentuh perempuan muda,” ucap Maria Schottenius, mantan editor budaya Expressen.
Kabar miring soal Arnault makin santer pada 1997. Expressen, dalam satu tajuk pemberitaan berjudul “Teror Seks dalam Lingkaran Elite kebudayaan,” menyebut Arnault telah melakukan pelecehan kepada perempuan di Forum. Namun, lagi-lagi, tuduhan itu tidak ditindaklanjuti. Arnault pun melenggang bebas.
Dua dekade setelahnya, reporter Dagens Nyheter Matilda Gustavsson membuka semua perangai busuk Arnault ke khalayak ramai. Dengan memanfaatkan momentum #MeToo, Matilda menyusun laporan investigasi dengan 18 narasumber yang jadi korban Arnault.
"Ketika Anda dapat mengatakan kepada seseorang bahwa dia orang ke-14 yang muncul dalam laporan, para korban lainnya pun lebih bersedia buka mulut," aku Matilda.
Berdasarkan pengakuan para korban, seperti dituturkan Andrew Brown dalam “The Ugly Scandal that Cancelled the Nobel Prize” yang terbit di The Guardian, pelecehan seksual terjadi karena Arnault pandai mengeksploitasi kerentanan emosional korban—yang sebagian besar saat itu masih muda.
Ia memanfaatkan posisinya, termasuk di jaringan Swedish Academy, guna menekan perempuan agar mau berhubungan seks dengannya. Beberapa tindakan Arnault bahkan dilakukan di properti milik Swedish Academy di Stockholm dan Paris.
Laporan Matilda pun bikin geger publik Swedia. Dari yang semula dianggap gosip pribadi, kasus Arnault berubah jadi skandal publik. Kasus ini pun sampai juga ke telinga petinggi Swedish Academy. Tak lama usai laporan Matilda rilis, pihak Swedish Academy, diwakili Sara Danius, memutuskan untuk menangguhkan semua kerjasama dengan pusat kebudayaan milik Arnault, Forum.
Tak hanya itu, Danius turut meminta bantuan pengacara untuk memeriksa apakah aliran uang yang diberikan ke Swedish Academy ke Forum selama ini sudah sah secara hukum. Langkah-langkah itu diambil Danius sebagai respons atas perilaku Arnault yang disebutnya “tak pantas” serta merugikan banyak pihak.
Namun, upaya Danius tak semudah membalikkan telapak tangan. Ia menghadapi perlawanan dari internal Swedish Academy yang mempertanyakan keputusannya.
Tak Terima Citra Tercoreng
Adalah Horace Engdahl serta faksi konservatifnya yang menolak aksi-aksi Danius. Engdahl adalah mantan sekretaris Swedish Academy sekaligus kawan karib pasangan Arnault-Frostenson. Bagi Engdahl, keputusan Danius justru kian memperburuk citra institusi. Ia juga beranggapan, protes para korban tidak perlu ditanggapi berlebihan sebab sudah “menghancurkan” nama baik Swedish Academy.
Di lain sisi, Engdahl mempertanyakan motif serangan ke Swedish Academy yang dinilainya “tidak adil.” Ia membandingkan dengan kasus Royal Academy of Music yang juga pernah ditimpa skandal pelecehan seksual, namun menurut Engdahl “tidak ada yang membuat keributan tentang hal itu.”
Konflik kian runcing tatkala pada April silam, Danius memutuskan untuk mengeluarkan Frostenson dari keanggotaan akademi karena dituduh membocorkan tujuh calon penerima Nobel kepada Arnault menjelang pengumuman. Engdahl pun meradang dan menuduh bahwa Danius seolah ingin “membebankan dosa-dosa Arnault kepada istrinya.” Tak hanya itu, Engdahl bahkan menyebut Danius sebagai “sekretaris Swedish Academy terburuk buruk sejak 1786”.
Serangan Engdahl semakin membuat situasi internal akademi makin runyam. Imbasnya, enam anggota—termasuk Danius—memilih mundur dari posisi di akademi. Dengan menyisakan sepuluh anggota saja, Engdahl—yang otomatis merasa punya kendali di akademi—tetap berkeinginan mengadakan gelaran Nobel Sastra tahun ini, tak peduli tekanan publik yang ditujukan kepada akademi begitu besar. Baginya, reputasi akademi adalah nomor satu dan melaksanakan tugasnya di kepanitiaan Nobel Sastra adalah wujud menjaga reputasi itu.
Namun, Yayasan Nobel memutuskan gelaran Nobel Sastra ditunda sampai tahun depan untuk memberi kesempatan bagi pihak-pihak terkait menyelesaikan masalah yang ada. Masalah yang dimaksud tak hanya pelecehan seksual yang melibatkan jaringan relasi Swedish Academy, tapi juga soal dugaan penyelewengan dana oleh Forum serta pelanggaran etik yang dilakukan Fronstenson saat dirinya membocorkan daftar calon peraih Nobel Sastra kepada suaminya, yang tak lain dan tak bukan adalah Arnault.
Kasus pelecehan seksual ini menunjukkan bahwa perempuan tak diperlakukan setara di lingkaran komite Nobel Sastra. Hal itu juga nampak dari daftar penerima Nobel Sastra.
Sejak Selma Ottilia Lovisa Lagerlöf menjadi perempuan pertama peraih Nobel Sastra (1909), hanya ada 12 perempuan yang memperoleh penghargaan yang sama di tahun-tahun selanjutnya, yakni Grazia Deledda (1926), Sigrid Undset (1928), Pearl S. Buck (1938), Gabriela Mistral (1945), Nelly Sachs (1966), Nadine Gordimer (1991), Toni Morrison (1993), Wislawa Szymborska (1996), Elfriede Jelinek (2004), Doris Lessing (2007), Herta Müller (2009), dan Alice Munro (2013).
Mengingatkan Parlemen Inggris
Pelecehan seksual yang terjadi di lingkaran Swedish Academy mengingatkan pada geger kasus serupa yang menimpa para politikus dan pejabat pemerintahan,baik dari Partai Buruh maupun Konservatif, di Parlemen Inggris. Kasus di Westminster bermula dari pemberitaan The Independent yang melaporkan adanya dugaan pelecehan seksual yang dilakukan para pejabat teras kepada asistennya. Motifnya sama: memanfaatkan relasi kekuasaan.
“Pada tahun 1960an sampai 1980an, mereka mungkin tak mengeluh dan justru menertawakan,” ungkapnya. “Akan tetapi sekarang masyarakat Inggris menilai segala wujud skandal dan pelecehan seksual sebagai hal yang tidak bisa diterima.”
Haddon menambahkan, meski masyarakat mulai memberikan perhatian lebih terhadap kasus pelecehan seksual yang melibatkan pejabat, namun perhatian tersebut masih terbentur dinamika politik di Westminster penuh patronase.
“Anak-anak muda yang punya harapan tinggi datang ke parlemen. Mereka bekerja untuk para anggota parlemen. Tak bisa ditampik atasan para pemuda itu dapat memiliki pengaruh besar atas karier mereka di masa mendatang,” jelas Haddon. “Bentuk patronase politik masih tertanam kuat di lingkungan sekitar dan itu jelas berandil besar dalam kasus [pelecehan seksual] ini.”
Rainbow Murray, profesor politik asal Universitas Queen Mary London, menjelaskan kasus pelecehan seksual yang terjadi di Westminster tidak bisa dilepaskan karena faktor “pria mempunyai kekuasaan lebih besar dari perempuan.” Laki-laki di Westminster membidik para perempuan (mulai dari staf anggota, anggota junior, serta pegawai magang) sebagai sasaran utama pelecehan seksual.
Di samping itu, Murray menekankan bahwa kekuatan politik di kantor serta budaya patriarki yang masih kental memberikan kesempatan lebih bagi para pejabat untuk bertindak semena-mena kepada perempuan. Menurut Murray, parlemen adalah ruang mereka; seks, perempuan, dan kesenangan bisa didapat dari sana. Terlebih, keberadaan perempuan dalam politik kerap diremehkan dan tidak diberi sedikit pun rasa hormat.
“Mungkin yang terpenting, pria melakukan ini [pelecehan seksual] karena mereka merasa bisa. Untuk para pejabat laki-laki hal tersebut dianggap “dapat diterima” dan pada akhirnya korban—dalam hal ini perempuan—dipaksa diam dan seolah memaafkan perilaku semacam itu,” tulis Murray lewat artikel berjudul “Westminster Harassment: This Is Not Just About Sex, It’s About Power.”
Menurut Murray, kasus-kasus ini lama terbongkar karena kepentingan serta loyalitas partai. Pada hakikatnya, pemilih tidak menyukai anggota parlemen yang melakukan pelecehan seksual. Apabila mereka terbukti melakukannya akan menjadi berita buruk bagi semua pihak. Walhasil, kritikan menderas dan membuat rasa hormat pemilih lenyap.
“Perempuan yang menjadi korban diminta untuk tetap diam. Jangan bikin ribut. Jangan mempermalukan partai. Cukup diam saja dan hindari satu lift bersama mereka,” sindir Murray.
Editor: Windu Jusuf