tirto.id - Persoalan transparansi dan tata kelola data penderita Covid-19 kembali mencuat. Ketua Satuan Gugus Tugas Covid-19 Letjen Doni Monardo mengungkapkan bahwa data yang diintegrasikan saat ini belum 100 persen.
Usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi melalui teleconference tentang penanganan Covid-19, Senin (4/5/2020), Doni menyebut, pemerintah sudah mengintegrasikan seluruh data. Namun, Doni mengaku 10 persen data masih belum terintegrasi.
"Sekali lagi, data-data yang sudah masuk ke gugus tugas sudah terintegrasi. 90 persen data sudah masuk terintegrasi," kata Doni, Senin (4/5/2020).
Doni pun mengakui tidak semua data yang kini tercatat di sistem sudah lengkap memuat data pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pengawasan (ODP) maupun kasus pasien meninggal.
"Kasus-kasus sebelumnya, kasus meninggal, status ODP dan PDP ini memang belum semuanya secara resmi dilaporkan, tetapi mungkin saja nanti akan ada evaluasi dari tim Kementerian Kesehatan dengan tim Gugus Tugas," kata Doni.
Simpang Siur Data COVID-19 Masih Terjadi
Pernyataan ini kembali mengingatkan data COVID-19 di Indonesia yang tidak sinkron antara pusat dan daerah di waktu lalu. Berawal dari pengakuan Kepala Pusat Data Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo yang mengakui bahwa ada data yang tidak bisa diakses penuh.
"Betul masih banyak yang tertutup," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB Agus Wibowo dalam diskusi virtual yang diunggah akun Youtube Energy Academy Indonesia, Minggu (6/4/2020).
"Saya juga baru tahu kalau Kementerian Kesehatan itu tiap hari melaporkan data ke WHO itu nomor, jenis kelamin, umurnya, sama statusnya seperti apa. Baru tahu juga kalau ada data seperti itu," imbuhnya.
Lalu BNPB membentuk aplikasi Lawan Covid-19 untuk menyempurnakan data tersebut. Selain itu, BNPB juga mengakui data daerah dan pusat tidak sesuai sehingga BNPB mengumpulkan kedua data.
Permasalahan data tersebut juga menjadi perhatian Presiden Jokowi. Sepekan berselang, dalam rapat terbatas Senin (13/4/2020), Jokowi meminta agar seluruh informasi tentang Covid-19 satu pintu di gugus tugas. Ia ingin data terintegrasi sehingga ada satu data terpadu.
"Berkaitan data-data informasi saya minta data-data informasi ini betul-betul terintegrasi semua kementerian masuk ke gugus tugas," kata Jokowi, beberapa waktu lalu.
Jokowi meminta seluruh data PDP, ODP, pasien sembuh hingga meninggal maupun orang yang dites PCR untuk dibuka. Ia menekankan, "Semua orang bisa mengakses data ini dengan baik."
Kementerian Kesehatan pun mulai membuka data ODP dan PDP. Pada Selasa (14/4/2020), Juru Bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengumumkan jumlah PDP dan ODP atau tepat hampir 1,5 bulan setelah kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 lalu.
Saat itu Yuri mengumumkan ODP mencapai 139.137 orang sementara PDP mencapai 10.482 orang. Setidaknya sudah ada 4.839 orang terkonfimrasi Covid-19, 426 orang dinyatakan sembuh dan 459 orang meninggal.
Dua puluh hari berselang, jumlah pasien positif kini mencapai 11.587 kasus dengan total kasus sembuh 1.954 dan kasus meninggal 864 orang. Jumlah ODP mencapai 238.178 orang dan PDP mencapai 24.020 orang.
Pemerintah bahkan sudah membuat sistem terintegrasi baru dengan nama sistem Bersatu Lawan Covid-19, Rabu (29/4/2020) lalu.
Namun, berdasarkan data Our World in Data, jumlah tes Indonesia per 3 Mei 2020 hanya 0,30 tes per 1.000 orang. Jumlah tersebut lebih kecil dari Filipina (0,94 tes/1.000 orang per 1 Mei 2020), Malaysia (6,05 tes/1000 orang 3 Mei 2020) hingga Malaysia (17,08 tes/1.000 orang per 27 April 2020).
Sementara itu, bila mengacu data dari Worldometer, angka tes di Indonesia baru 427 per 1 juta orang dengan total tes mencapai 116.861 tes. Jumlah ini lebih rendah dari Timor Leste yakni 504 tes per 1 juta orang dengan total tes 664 orang dan Filipina sebesar 1.151 tes per satu juta orang dengan total tes 126.164 orang.
Jokowi menargetkan Indonesia bisa menggelar pemeriksaan PCR 10 ribu per hari. Namun, Doni mengaku pemerintah baru bisa 6 ribu hingga 7 ribu per hari. Ia mengatakan, para pekerja laboratorium hanya bisa bekerja selama 8 jam.
Oleh karena itu, mereka meminta bantuan dari Ikatan Dokter Indonesia daerah untuk membantu setidak-tidaknya membuat waktu pemeriksaan menjadi 16 jam.
"Jadi kalau sudah bisa 16 jam dari yang sekarang 8 jam berarti sudah di atas 12 ribu karena reagen tersedia kemudian komponen-komponen untuk mendukung tes swab juga semuanya sudah tersedia," tutur Doni.
Jawaban Pemerintah Soal Data Tak Sinkron
Juru Bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto enggan menjawab permasalahan data yang belum 100 persen. Ia mengatakan, gugus tugas masih menyinkronkan data dengan Kementerian Kesehatan.
"Masih rekonsiliasi data bersama Pusdatin," kata Yuri saat dikonfirmasi Tirto, Senin (4/5/2020).
Yuri tidak bisa memastikan penyebab masalah data Covid-19 tidak 100 persen terintegrasi. Ia hanya mengatakan kalau pemerintah sudah memuat data ODP dan PDP.
Ia hanya mengulang jawaban soal data yang diumumkan tidak 100 persen lengkap karena faktor pengambilan data yang tak sama. "Data sama mengalir dari daerah ke pusat. Masalahnya adalah cut off yang belum sama tiap daerah. Pusat sudah menentukan 12.00 WIB, daerah ada yang belum pas 12.00 WIB."
Anggota Koalisi Warga Lapor Covid-19 Irma Hidayana menduga, data yang tidak 100 persen diakibatkan pemerintah tidak memiliki data secara akurat selama pandemi Covid-19.
"Kami lebih tekankan adalah pencatatannya mestinya standarnya sudah baku dan tinggal dilakukan saja, yang jadi masalah kenapa tidak ada, tidak seragam," kata Irma kepada Tirto, Senin (4/5/2020).
Irma berpendapat, pemerintah seharusnya mencatat seluruh orang sakit dan meninggal di semua fasilitas kesehatan. Jika metode tersebut dijalankan, pemerintah tinggal menyesuaikan data, apalagi ada perubahan definisi data Covid-19 yang disampaikan WHO.
Menurut Irma, waktu 6 hari sudah cukup untuk mengintegrasikan data yang sempat dipersoalkan publik setelah perintah Presiden Jokowi untuk membuka data semua pihak.
"Mestinya nggak terlalu susah untuk membuka data dan merunut kematian sebulan atau sebulan setengah ke belakang," kata Irma.
Irma menduga ada dua penyebab data tidak bisa 100 persen. Pertama, petugas kesehatan tidak disiapkan dengan baik dalam mencatat data atau daerah tidak menuliskan keterangan data hingga pusat.
Irma mengingatkan, data yang ditutupi atau tidak akurat bisa menimbulkan kebijakan yang salah dalam penanganan Covid-19. Kebijakan pun juga tidak optimal di masyarakat.
"Masyarakat jadi tidak paham magnitude dampak pandemi bagi mereka, akhirnya bisa kurang hati-hati dalam menjalankan physical distancing misalnya," kata Irma.
Oleh karena itu, Irma mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai mengintegrasikan data daerah. Ia melihat beberapa daerah sudah terbuka dalam menyampaikan data dan angka persebaran seperti Jawa Timur maupun Jakarta. Ia berharap pemerintah bisa terbuka lebih jauh.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri