tirto.id - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi melarang maskapai terbang pada 24 April 2020, baik dalam atau luar negeri, dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19. Pelarangan ini berlaku kecuali untuk pimpinan lembaga tinggi negara atau wakil kenegaraan organisasi internasional, juga organisasi penerbangan khusus pemulangan WNI-WNA.
Akibatnya mudah ditebak: maskapai, yang memang mengandalkan penerbangan komersial, mengalami penurunan pendapatan signifikan.
Tapi situasi ini hanya berlangsung sebentar. Awal Mei lalu Kemenhub memutuskan melonggarkan transportasi udara, juga moda angkutan lain. "Dengan catatan harus pakai protokol kesehatan," kata Menteri Perhubungan Budi Karya pada 6 Mei.
Sejumlah maskapai tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Lion Air misalnya telah menyatakan akan terbang lagi pada 3 Mei, meski kemudian ditunda hingga 10 Mei. Garuda Indonesia kembali terbang pada 7 Mei untuk rute domestik, sementara Citilink sehari kemudian
Tapi kebijakan ini tak serta merta membuat maskapai kembali untung. Sebabnya, mereka semua harus mematuhi segala peraturan yang tertera dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18 Tahun 2020, salah satunya hanya boleh menerbangkan armada dengan kapasitas terisi maksimal 50 persen.
Kebijakan ini membuat pemasukan dari penjualan tiket bisa jadi tak menutupi biaya operasional.
Pemerintah tahu masalah ini. Mereka pun mengeluarkan kebijakan tambahan yang sayangnya tak juga cukup jitu menyelesaikan persoalan
Kemenhub memutuskan mengerek tarif batas atas tiket pesawat kelas ekonomi hingga dua kali lipat lewat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 88 Tahun 2020 yang diteken oleh Menteri Perhubungan Ad Interim Luhut Panjaitan pada 22 April lalu. Kenaikan ini berlaku selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Maskapai diperbolehkan menerapkan tarif di batas tertinggi
Misalnya, tarif batas atas rute Jakarta-Makassar dari yang sebelumnya Rp1,8 juta menjadi Rp3,6 juta. Pun dengan rute Jakarta-Yogyakarta menjadi Rp1,7 juta dari semula Rp860 ribu.
Dampak mahalnya tiket pesawat di tengah pandemi ini tak main-main. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat tiket pesawat adalah salah satu komponen yang menyumbang inflasi di bulan Mei 2020, yaitu sebesar 0,08 persen. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan persentase itu tergolong tinggi.
Penguatan Protokol Kesehatan
Pekan lalu, peraturan kursi 50 persen dihapus. Permenhub Nomor 41 Tahun 2020 memperbolehkan pesawat mengangkut 70 bahkan 100 persen dari kapasitas, tergantung jenis armada. Keputusan ini, menurut Menhub Budi Karya, Selasa (9/6/2020), telah didiskusikan bersama "INACA, para airlines, Gugus Tugas, dan Kemkes."
Peraturan ini dibuat dalam rangka menyongsong the new normal atau kelaziman baru. Presiden Jokowi mengatakan di era ini orang-orang harus hidup berdampingan dengan COVID-19 dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Meski kapasitas ditambah, akan tetapi nampaknya harga tiket pesawat tak bakal kembali seperti sebelum era pandemi, dan karenanya tetap signifikan menyumbang inflasi. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra misalnya mengatakan harga tiket memang akan lebih mahal pada masa the new normal agar "industri punya napas, paling tidak tetap memperoleh keuntungan".
Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan keputusan menaikkan kapasitas sudah tepat. Meski demikian, ia menegaskan bahwa yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana "menerapkan protokol kesehatan" secara maksimal.
"Misalnya tiap setelah mendarat pesawat dibersihkan pakai disinfektan. Kemudian juga filter berapa lama sekali diganti. Penumpang harus pakai masker, pelayanan selama penerbangan makan minum pakai disposable," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (10/6/2020).
Ia juga berharap pelonggaran ini juga diikuti dengan harmonisasi dari sisi aturan pendukung. Jangan sampai aturan pendukung malah menghambat bisnis, yang pada akhirnya malah mengurangi minat masyarakat untuk menggunakan jasa pesawat udara.
"Aturan mau terbang itu panjang sekali. Cek berkala beberapa kali oleh semua instansi. Mau terbang satu jam saja misalnya dari Jakarta-Padang persiapannya enam jam. Kalau hambatannya seperti ini, tiketnya mau dibuat murah pun orang malas. Sistemnya itu lho, jangan sampai orang hilang minat untuk terbang," katanya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Reja Hidayat