tirto.id - Hampir enam bulan terakhir ini, harga tiket pesawat yang mahal menjadi isu yang konsisten menghisap perhatian publik. Pemberitaan seputar harga tiket pesawat sangat intens. Di media sosial, isu terkait harga tiket pesawat sudah beberapa kali menjadi trending topic.
Polemik harga tiket pesawat saat ini tampaknya memang telah menjadi isu nasional. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi bahkan menggelar rapat khusus untuk mencari cara agar harga tiket pesawat bisa turun. Pemerintah menjanjikan bahwa harga tiket pesawat maskapai bertarif rendah (low cost carrier/LCC) akan turun mulai pekan terakhir Juni 2019.
Namun, sebelum secara resmi kebijakan pemerintah tersebut diterapkan, maskapai penerbangan dalam negeri rupanya sudah lebih dulu beraksi. Baru-baru ini, sejumlah maskapai LCC mengeluarkan promo harga tiket untuk penerbangan tertentu.
Maskapai AirAsia Indonesia, misalnya, menebar lima juta kursi promo. Pemesanan tiket promo maskapai yang memiliki slogan "Now Everyone Can Fly" ini berlaku mulai dari 16 Juni hingga 19 Juni 2019.
Lion Air juga tidak ingin ketinggalan. Maskapai berlogo Singa Merah ini juga mengeluarkan harga tiket promo mulai 20 Juni 2019. Jumlah kursi promo yang disediakan terbatas. Sayang, jumlah kursi itu tidak disebutkan oleh manajemen Lion Air.
Harga tiket yang terdiskon lumayan besar. Menurut harga Traveloka, misalnya, harga tiket Jakarta-Surabaya per 21 Juni sekitar Rp967.000, namun dengan promo harganya menjadi Rp500.000,.
Kemudian, untuk penerbangan Jakarta-Lombok, Lion Air mematok harga tiket sebesar Rp1,14 juta pada 21 Juni. Dengan promo, harga tiket untuk penerbangan itu terpangkas menjadi Rp695.000,.
"Tarif spesial menjadi salah satu wujud apresiasi Lion Air kepada travelers selama ini. Tarif ini juga bertepatan dengan 19 tahun Lion Air," tutur Corporate Communications Strategic of Lion Air, Danang Mandala Prihantoro dalam siaran pers.
Kehadiran harga promo jelas menjadi angin segar bagi penumpang pesawat, apalagi kebutuhan jasa angkutan udara saat ini cukup besar. Hanya saja, euforia harga tiket promo tentunya tidak berlangsung lama. Belum lagi, jumlah kursi yang disediakan saat promo juga terbatas. Protes dari masyarakat akan harga tiket yang mahal diprediksi akan muncul kembali.
Hal ini ditekankan oleh Direktur Arista Indonesia Aviation Center Arista Atmadjati yang menilai bahwa kehadiran harga promo bukanlah solusi dalam menurunkan harga tiket pesawat yang mahal di Indonesia. Promo itu hanya sekadar gimmick dalam strategi marketing maskapai.
"Sudah segala terbatas. Promo itu juga muncul saat low season, di mana permintaan akan jasa angkutan udara itu tidak besar. Alhasil, efeknya juga tidak signifikan bagi masyarakat," kata Arista kepada Tirto.
Apa yang dikatakan Arista boleh jadi benar. Untuk diketahui, promo yang dikeluarkan sejumlah maskapai baru-baru ini bukanlah yang pertama kali sejak harga pesawat melambung naik. Garuda Indonesia Grup yang terdiri dari Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, dan Citilink, misalnya, mengeluarkan harga tiket promo yakni diskon sampai dengan 70 persen pada Januari 2019.
Lion Air Grup juga menurunkan harga tiket pada Maret 2019, meski bukan promo. Menurut mereka, harga tiket di seluruh rute penerbangan turun di kisaran 25 persen. Namun demikian, masyarakat menilai harga tiket pesawat masih mahal.
Penurunan harga tiket, termasuk pemberian diskon ternyata tidak berhasil mengerek permintaan. Selama Januari-April 2019, penumpang pesawat domestik anjlok 24 persen menjadi 24,9 juta penumpang dari periode yang sama tahun lalu.
Berdasarkan data dari Kemenhub, Lion Air menjadi maskapai dengan penurunan penumpang terbesar di antara maskapai grup di Indonesia, yakni turun 37 persen. Disusul, NAM Air yang turun 30 persen, Sriwijaya Air turun 29 persen dan Garuda Indonesia turun 24 persen.
Pajak jadi Solusi?
Pemerintah sesungguhnya tidak berdiam diri terhadap isu harga tiket pesawat yang mahal. Pemerintah bahkan merevisi aturan tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) angkutan udara dengan menurunkan TBA di kisaran 12-16 persen.
Meski begitu, aturan yang mulai berlaku pada Mei 2019 tersebut ternyata tidak signifikan meredam polemik harga tiket pesawat. Masyarakat masih menilai harga tiket pesawat saat ini masih terbilang mahal.
Polemik berkepanjangan ini membuat pemerintah akhirnya mengambil langkah berani, yakni dengan memberikan diskon pajak bagi maskapai. Padahal, pemerintah saat ini juga tengah kesulitan mengejar target penerimaan pajak.
Keputusan memberikan diskon pajak itu disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Darmin Nasution. Diskon pajak itu diberikan antara lain terhadap pajak jasa persewaan, perawatan dan perbaikan pesawat udara.
Lebih lanjut, pemerintah juga memberikan diskon pajak terhadap jasa persewaan pesawat udara dari luar daerah pabean, dan memberikan diskon dari jasa impor dan penyerahan atas pesawat udara, dan suku cadangnya.
"Untuk menurunkan harga tiket pesawat kami akan berikan kebijakan fiskal," kata Darmin saat memimpin Rakor Evaluasi Kebijakan Penurunan Tarif Angkutan Udara di Jakarta Pusat sebagaimana dilaporkan Tirto.
Lantas, apakah diskon pajak ini bakal efektif ?
Menurut Arista, diskon pajak dinilai memiliki peluang yang lebih besar dalam menurunkan harga tiket angkutan udara ketimbang kebijakan pemerintah sebelumnya dan kebijakan promo tiket dari maskapai.
Menurut penulis buku berjudul Sinopsis Dunia Bisnis Penerbangan Indonesia 2013-2017 ini, pajak yang dibayar maskapai tidak kecil. Beban pajak atas jasa sewa dan impor bisa mencapai 22,5 persen dari total biaya operasional maskapai.
"Kalau diskon pajaknya sampai setengah, saya pikir harga tiket LCC itu mungkin bisa turun sampai dengan 20 persen. Tapi, yah, ini baru perkiraan karena kebijakan diskonnya juga belum jelas," tutur Arista.
Isu pajak di industri penerbangan memang sudah lama menjadi perhatian pelaku usaha. Dirut Lion Air Grup Edward Sirait pada April 2018 pernah mengeluh bahwa regulasi industri penerbangan dalam negeri masih banyak yang menghambat industri penerbangan.
Ia mencontohkan, proses perizinan impor suku cadang pesawat, misalnya, masih perlu waktu sampai 5-7 hari. Sementara di negara ASEAN lainnya, ia mengklaim, hanya butuh waktu setengah jam saja.
"Selain itu, pajak bea masuk [suku cadang pesawat] di negara tetangga juga sudah nol persen. Kalau begitu, kita akan kalah saing. Pembangunan industri [penerbangan] dalam negeri kita terlambat," tutur Edward seperti dilaporkan Tirto.
Sebenarnya, pembebasan bea masuk untuk perbaikan pesawat sudah dilakukan pemerintah di dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 35/PMK.010/2016 terhadap sejumlah barang impor. Namun, maskapai menilai hal tersebut masih kurang.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara