tirto.id - Tiket pesawat masih saja mahal. Kebijakan Kementerian Perhubungan yang menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat pun tampaknya tak banyak memberikan perubahan signifikan pada biaya angkut si burung besi ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat, tarif angkutan udara berkontribusi cukup tinggi terhadap inflasi bulanan, pada Mei 2019, yakni sebesar 0,02 persen. Padahal, pemerintah sudah menurunkan tarif batas atas angkutan udara pada pertengahan Mei lalu.
Kontribusi tarif angkutan udara terhadap inflasi juga cukup tinggi bila dilihat secara tahunan.
“Andil inflasi secara tahunan sebesar 0,30 persen, terhadap total inflasi tahunan sebesar 3,32 persen,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin, 10 Juni 2019.
Tingginya tarif tiket pesawat yang tak kunjung terselesaikan ini memberi dampak yang semakin luas, terutama bagi perekonomian daerah. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua Perhimpunan Hotel Republik Indonesia (PHRI), Rainier H Daulany dalam sebuah diskusi di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (19/6/2019).
“Jadi dampak ini bukan hanya di perhotelan dan restoran saja, tapi sudah automatically berdampak pada antara lain pusat oleh-oleh. UMKM, pusat oleh-oleh mati, apalagi oleh-olehnya makanan, kan, ada waktunya, mereka enggak mau bikin kedaluwarsa,” kata Rainier.
Kondisi tersebut, kata dia, menjadi bukti beragam kebijakan yang dilakukan pemerintah belum memberi dampak signifikan terhadap penurunan tarif tiket pesawat.
“Paling enggak sejak April kita hanya berkutat bicara enggak ada solusi. Yang disampaikan Jokowi [undang maskapai asing] adalah puncak kekesalan karena beliau menetapkan pariwisata sebagai leading sector. Apa yang terjadi, karut-marut membawa dampak sangat berat bagi industri wisata,” kata dia.
Lantas, siapa yang mesti bertanggung jawab?
Rainer mengatakan, menjawab pertanyaan tersebut tak mudah, karena masing-masing instansi terkesan saling lempar bola tanggung jawab hingga menjadi lingkaran setan yang tak berujung.
“Yang paling ngeri-ngeri sedap dirut maskapai dipanggil menko, menhub sampai angkat tangan, lalu menteri BUMN 'saya tidak punya wewenang'. Akhirnya, lama-lama kita capek juga, sementara bisnis kami sudah berat. Yang saya geregetan kenapa sih harus bolak balik interview bahas ini, tapi enggak ada jalan keluar? Yang kami perlukan saat ini adalah segera ada jalan keluar,” kata Rainer.
Kekecewaan pengusaha hotel cukup beralasan dan mungkin mewakili suara sebagian besar masyarakat Indonesia yang terimbas mahalnya tiket pesawat. Apalagi, sejumlah pejabat terkait terkesan saling lempar bola ihwal penanganan tiket pesawat yang mahal.
Misalnya PT Pertamina (Persero) yang menolak institusinya disebut sebagai penyebab harga tiket mahal karena menjual harga avtur ‘kemahalan’. Direktur Pertamina, Nicke Widyawati menyampaikan, harga jual avtur Pertamina sudah disesuaikan dengan formulasi yang dibuat oleh kementerian ESDM.
“Ada Kepmen 17 tahun 2019. Itu adalah untuk penyesuaian harga BBM dan untuk harga avtur. Sebelumnya, kan, harga BBM, sekarang ada harga avtur. Jadi kami mengikuti formula yang diatur,” kata dia.
Begitu juga PT Garuda Indonesia yang merupakan BUMN penerbangan. Mahalnya tiket pesawat menurut manajemen Garuda bukan karena perusahaan tak efisien, melainkan memang kondisi industri sedang sulit.
Beda halnya dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Alih-alih membuat terobosan regulasi, ia justru malah menyerahkan tanggung jawab penurunan tiket pesawat ke Menko Perekonomian Darmin Nasution.
Hal itu ia sampaikan dalam rapat koordinasi persiapan Ramadan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (25/4/2019). “Pak Menko sudah sepakat untuk mengambil bagian dalam hal ini," ujarnya.
Begitu juga Menteri BUMN Rini Soenarno. Meski mengaku siap mendorong BUMN penerbangan mengikuti aturan penurun tarif batas atas, namun pihaknya meminta masalah tiket mahal tak hanya dibebankan ke Garuda selaku BUMN.
Ia pun sempat melontarkan pernyataan agar penurunan TBA dihutung dengan sekema agar pelaku industri termasuk Garuda di dalamnya tidak sampai malah mengalami kesulitan keuangan.
“Kami, kan, memang menekankan kemarin waktu pembicaraan, tolong dari regulator betul-betul menghitung cost structure-nya dari para pelaku usaha penerbangan," kata Rini awal Mei lalu.
Pemerintah Kurang Peka
Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai, masih tingginya harga tiket pesawat karena pemerintah tak peka dengan kondisi industri penerbangan nasional. Ia menyoroti TBA yang tak pernah naik selama beberapa tahun terakhir.
“TBA dan TBB dari 2014 enggak berubah, baru direvisi akhir-akhir ini. Padahal sewa pesawat, avtur, pegawai, fasilitas bandara, navigasi dan sebagainya. Biaya-biaya ini naik, tapi TBA tidak dinaikkan, akhirnya profit airlines makin tipis,” ungkap Alvin.
Padahal, kata dia, jika pemerintah cukup cermat melihat celah perkembangan dunia industri penerbangan, maka harusnya tarif batas atas tiket pesawat naik secara bertahap setiap tahun.
Dengan kenaikan TBA, maskapai jadi punya ruang untuk beradaptasi dengan perubahan struktur biaya produksi yang dipengaruhi harga bahan bakar hingga kenaikan gaji karyawan tang pada akhirnya memungkinkan badan usaha penerbangan menawarkan harga tiket yang lebih murah.
Hal itu, kata Alvin, dimungkinkan karena secara alami maskapai akan menaikkan tarif hingga mendekati TBA ketika peak season atau arus puncak ketika musim mudik lebaran.
Keuntungan besar yang diperoleh selama peak season dapat digunakan untuk memberikan subsidi tarif saat low season sehingga tersedia tiket dengan biaya yang sangat terjangkau mendekati tarif batas bawah. “Harga itu fleksibel, kadang dekat TBB, kadang dekat TBA. Kalau season ramai, dia TBA buat cross subsidi,” jelas Alvin.
Sebaliknya, lantaran tak ada kenaikan TBA secara berkala, maka maskapai tak punya ruang untuk mencari keuntungan lebih saat peak season. Artinya, tak ada keuntungan lebih yang dapat digunakan untuk mensubsidi tarif tiket pesawat saat low season.
“Kalau mereka (maskapai) enggak dapat laba, gimana bisa cross subsidi?” tegasnya.
Menurut Alvin, kondisi tersebut menggambarkan betapa kebijakan pemerintah menjadi sumber tidak efisiennya industri penerbangan nasional. Alvin mengatakan, hal ini bahkan membuat tak ada pemain baru di industri ini yang masuk dan bisa bertahan.
“Coba lihat, sejak 2009 apa ada yang masuk? Padahal kita tidak larang. Seperti Air Asia 51 persen Indonesia, 49 asing. Maksimalnya gitu. Tak ada yang masuk, ada masuk, dua tahun cabut,” kata dia.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah agar lebih peka terhadap perubahan kondisi ekonomi yang berpengaruh pada struktur biaya produksi dan operasi penerbangan.
Pemerintah Bakal Beri Diskon Pajak
Terkait harga tiket ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan kebijakan pemberian insentif fiskal alias diskon pajak atas biaya operasional maskapai penerbangan agar bisa menurunkan harga tiket pesawat.
“Untuk menurunkan harga tiket pesawat kami akan berikan kebijakan fiskal,” kata dia saat memimpin Rapat Koordinasi Tentang Evaluasi Kebijakan Penurunan Tarif Angkutan Udara, di Gedung Ali Whardana, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat Kamis (20/6/2019).
Darmin merinci, kebijakan fiskal yang akan dilakukan pemerintah antara lain memberikan diskon dari jasa persewaan, perawatan, dan perbaikan pesawat udara.
Kemudian memberikan diskon dari jasa persewaan pesawat udara dari luar daerah pabean, dan memberikan diskon dari jasa impor dan penyerahan atas pesawat udara dan suku cadangnya.
Selain itu, pemerintah juga memformulasikan dua strategi lainnya untuk menurunkan tarif tiket pesawat. Yaitu, pemerintah bersama seluruh pihak terkait tengah memfinalisasi kebijakan untuk memberlakukan penurunan harga tiket penerbangan Low Cost Carrier (LCC) domestik untuk jadwal penerbangan tertentu.
Kemudian untuk menjaga keberlangsungan industri angkutan udara, seluruh pihak yang terkait seperti maskapai udara, pengelola bandara, dan penyedia bahan bakar penerbangan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz