Menuju konten utama

Drama Mudik: Harga Tiket Mahal, Penyumbang Inflasi Daerah

Menyerahkan pada mekanisme pasar takkan pernah menekan harga tiket mudik dan balik menjadi murah.

Drama Mudik: Harga Tiket Mahal, Penyumbang Inflasi Daerah
Ilustrasi: Mudik Lebaran 2018. tirto.id/Lugas

tirto.id - Fahmi Ridha Zain harus mengurungkan niat mudik lebaran tahun ini ke Meulaboh, sebuah kabupaten di Pantai Barat Aceh. Alasannya, ia harus menyiapkan bujet yang besar jika ingin pulang ke kampung halaman, apalagi dengan status baru menikah. Anggaran mudiknya dua kali lipat dari harga tiket biasanya Rp8 juta untuk pulang-pergi bersama istri dari Jakarta-Banda Aceh.

Meski gagal pulang, Fahmi tetap memilih mudik ke rumah keluarga istrinya di Pekanbaru. Jarak lebih dekat dari Jakarta, apalagi harga tiket pesawat relatif lebih murah ketimbang ke Banda Aceh, membuat pasangan ini tetap merayakan Lebaran di kampung halaman.

Fahmi termasuk satu dari puluhan juta pemudik yang mengalir dari kota-kota besar ke rumah mereka, dan ia termasuk ke dalam 87 persen orang yang memilih tiket mudik via aplikasi pemesanan online, sebagaimana hasil survei pada awal 2018 oleh DailySocial.id dan JakPat Mobile Survey Platform bertajuk "Direct Booking vs Online Travel Agency".

Fahmi menyarankan sebuah tips kepada saya cara membeli tiket mudik pesawat terbang dengan harga murah. Pertama, katanya, kita harus memiliki jadwal pulang yang jelas. Jika pun sulit menetapkan tanggal, paling tidak memiliki gambaran jadwal pulang.

"Bulan Februari, kami sudah mencari tiket murah. Jika tidak, sudah bisa dipastikan harga tiket H-10 bisa naik dua kali lipat," katanya.

Kedua, pakailah gaya "berjudi". Misalnya, cari tiket untuk H-1 Lebaran pada pukul 12 malam. Biasanya, pada jam pergantian hari itu sejumlah maskapai membuka harga tiket baru. Jika beruntung, kita bisa mendapatkan harga normal; tetapi sebaliknya, harga tiket bisa naik berkali-kali lipat.

Ketiga, mencari jalur alternatif lain: "Kalau tiket pesawat ke Banda Aceh mahal, gunakan penerbangan rute Jakarta-Medan, terus dilanjutkan naik bus. Cara akalin memang sedikit menghabiskan energi dan waktu di jalan. Tapi paling tidak mendapat tiket yang cenderung lebih murah."

Baca Periksa Data Tirto:

Persoalan yang dialami Fahmi adalah perkara umum setiap Lebaran untuk semua jalur transportasi. Arya Perdhana, kolega kantor asal Purwokerto, rutin menerapkan tips yang baku saban tahun setiap membeli tiket mudik via kereta api.

Biasanya, tiket mudik kereta api baru dijual 90 hari sebelum Lebaran. Selama 10 tahun ia membeli tiket via aplikasi daring, PT Kereta Api Indonesia itu menjual tiket pada pukul 12 malam. Arya menyarankan sejumlah langkah.

Pertama, pastikan koneksi wi-fi lancar; kedua, tanggal kepergian harus sudah pasti; ketiga, sistem pembayaran debit, kartu kredit atau ATM yang terdekat; keempat, login aplikasi tiket online untuk mempercepat pengisian biodata; dan kelima, membuka berbagai laman tiket online sekaligus: Traveloka, Tiket.com, Pegipegi.com, KAI.id, dan blibli.com.

"Biasanya kalau sudah ada persiapan, sekali login langsung dapat. Kadang ada juga yang udah dapat, dia cari lagi yang lebih murah. Tiket yang mahal itu otomatis ter-cancel sendiri," katanya.

Namun, ada juga mereka yang gagal membeli tiket secara online karena, pertama, lambat memproses pembayaran tiket; kedua, koneksi wi-fi bermasalah; dan ketiga, tanggal berangkat yang ragu-ragu.

"Saya pernah gagal karena belum pasti tanggal pulang. Tetapi pada pembelian tiket tambahan, saya menggunakan metode awal sehingga langsung mendapatkan tiket kereta," kata Arya.

Infografik HL Indepth Mudik

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membenarkan soal keluhan harga tiket yang super mahal, bisa dua sampai tiga kali lipat dari harga normal.

"Tanpa bermaksud membela airlines, selama ini tiket murah sekali sehingga maskapai menetapkan tarif batas atas. Walau demikian, kami tetap mengevaluasi (harga tiket). Artinya, airlines jangan mentok sampai batas atas," kata Budi menerangkan hukum pasar dalam episode Minister Live Tirto & Facebook Indonesia pada 1 Juni 2018.

Memang, peningkatan tarif tiket mudik berdampak pada pendapatan maskapai. Salah satunya Garuda Indonesia. Berdasarkan laporan keuangannya tahun 2016, pada kuartal atau triwulan pertama Garuda membekukan pendapatan 855 juta dolar AS dan meningkat pada kuartal ketiga (saat mudik Lebaran) menjadi 2,8 miliar dolar AS. Laporan yang sama tahun 2017, maskapai ini mencatat pendapatan 909 juta dolar AS pada kuartal pertama dan meningkat menjadi 1,8 miliar dolar AS pada kuartal kedua saat momen mudik Lebaran.

Lihat Tirto Visual Report:

Penyumbang Inflasi

Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyurati maskapai Garuda Indonesia terkait tiket tarif Lebaran rute Jakarta-Padang dengan alasan menjadi salah satu pemicu inflasi.

"Selama ini harga tiket Garuda rute Jakarta-Padang saat Lebaran cukup tinggi dibandingkan durasi penerbangan yang sama di daerah lain sehingga menjadi salah satu pemicu inflasi," kata Irwan seperti dikutip Antara.

Memang, akunya, harga yang ditetapkan Garuda Indonesia tidak melanggar aturan karena sudah sesuai ketetapan batas atas yang dibuat Kementerian Perhubungan. Namun Irwan berharap kenaikan itu tak terlalu mahal. Alasannya, karena orang Minang mengenal tradisi "pulang basamo" hingga H+40 Idulfitri, sehingga berapa pun harga tiket pesawat tetap dibeli.

Merujuk laporan Badan Pusat Statistik Sumatera Barat tahun 2017, kenaikan harga tiket pesawat menjadi salah satu komponen penyumbang inflasi terbesar saat Idulfitri, yakni sebesar 0,10 persen terhadap angka inflasi 0,34 persen.

Bukan hanya di Sumatera Barat. Kepulauan Riau pun menerima imbas dari tingginya harga tiket pesawat. Berdasarkan data Bank Indonesia Perwakilan Kepri, mahalnya tarif penerbangan saat Lebaran menyebabkan inflasi sebesar 0,17 persen. Sedangkan di Kepulauan Bangka Belitung, inflasinya mencapai 34,85 persen, provinsi di Sumatera yang mengalami inflasi paling tinggi pada Juni 2017.

Baca juga artikel terkait MUDIK LEBARAN 2018 atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam