Menuju konten utama

Industri Penerbangan: Keuangan Memerah Meski Harga Tiket Mahal

Direktur Riset CORE, Piter Abdullah mengatakan pemerintah sebaiknya tak membuat kebijakan-kebijakan baru yang malah membuat pelaku industri penerbangan nasional makin terpuruk.

Industri Penerbangan: Keuangan Memerah Meski Harga Tiket Mahal
Ilustrasi tiket pesawat. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Industri penerbangan nasional sedang menjadi sorotan. Setelah harga tiket yang menuai polemik karena dinilai terlalu mahal beberapa waktu lalu, kini sejumlah maskapai disebut sedang mengalami kesulitan keuangan.

Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Polana B Pramesti pun mengonfirmasi kabar tersebut. Ia mengungkap hampir semua maskapai penerbangan yang beroperasi di dalam negeri masih merugi sepanjang tahun 2018.

Pernyataan Polana ini sebagai respons soal surat penundaan pembayaran jasa bandara yang diajukan Lion Air kepada PT Angkasa Pura I periode Januari-Maret 2019. Permohonan itu dilatarbelakangi tekanan keuangan di industri penerbangan, salah satunya karena pendapatan yang tak tercapai akibat harga jual tiket yang rendah dan tidak sebanding dengan kenaikan biaya operasional.

“Dari laporan keuangan terakhir, [pada] 2018 banyak yang rugi. Enggak ada yang untung malahan, enggak ada yang untung. Air Asia juga, [ruginya] hampir Rp1 triliun kalau enggak salah. Sampai ekuitinya negatif,” kata Polana di kantor Kemenhub, Jakarta, Senin (10/6/2019).

Karena itu, kata Polana, Kemenhub sedang melakukan kajian soal strategi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk membantu maskapai agar bisa bertahan saat kondisi keuangan mereka terus memburuk.

Antisipasi Maskapai

Besaran tarif tiket pesawat yang sempat mengundang kontroversi lantaran dianggap terlalu tinggi pun ternyata tak bisa mengkompensasi kerugian yang terjadi. Buktinya, imbas buruknya kinerja keuangan itu sampai memaksa sejumlah maskapai melakukan efisiensi.

Salah satu efisiensi yang dilakukan adalah dengan menutup sejumlah rute yang dianggap kurang menguntungkan. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), misalnya, sudah menutup rute-rute sepi untuk mengantisipasi kerugian akibat biaya operasional yang tidak tertutupi aktivitas jasa penerbangan.

Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Ashkara mengatakan, saat ini biaya penerbangan sudah mahal, sehingga perlu dilakukan efisiensi untuk mengoptimalkan aktivitas penerbangan pada rute-rute yang menguntungkan.

“Terus terang kami diprotes juga sama Belitung. Itu lost [kerugiannya] 1,3 juta dolar AS [Rp18,2 miliar] per 6 bulan. Jadi kami tidak bisa lagi mensubsidi dari jalur-jalur gemuk seperti Surabaya, Denpasar, Yogyakarta,” kata dia dalam paparannya saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, di Senayan, Jakarta, Selasa (21/5/2019).

Langkah Garuda menutup rute-rute yang mengalami rugi itu diikuti juga maskapai nasional lain, seperti Sriwijaya. “Rute rugi akan tutup, cari rute yang benar-benar menguntungkan,” kata Direktur Utama Sriwijaya Air, Joseph Adriaan Saul di Jakarta Pusat, pada 28 Mei 2019.

Berbeda dengan Lion Air. Meski perusahaan Rusdi Kirana ini sempat mengajukan surat penangguhan pembayaran jasa bandara ke API I, tapi Corporate Communications Strategic of Lion Air, Danang Mandala Prihantoro mengklaim keuangan perusahaan baik-baik saja.

“Saat ini, kondisi operasional dan keuangan Lion Air dalam keadaan normal dan berjalan lancar,” kata Danang dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (13/6/2019).

Lantas, apa yang menyebabkan maskapai merugi padahal tarif tiket pesawat sudah mahal?

Pengamat penerbangan yang juga komisioner Ombusdman RI, Alvin Lie mengungkapkan fakta di balik tingginya beban keuangan maskapai ini. Menurut dia, sejak 2014, tarif batas atas tiket pesawat tak pernah sekalipun naik.

Padahal, kata Alvin Lie, beban operasional maskapai terus mengalami kenaikan seiring dengan inflasi dan peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

“Bahkan Air Asia yang paling efisien di Indonesia saja itu ruginya hampir Rp1 triliun. Itu yang paling efisien di Indonesia. Jadi kalau harga tiket itu dinilai mahal jangan lupa tarif batas atas ini tidak berubah dari tahun 2014,” kata Alvin Lie saat dihubungi reporter Tirto.

Mantan anggota Komisi V DPR RI yang membidangi perhubungan ini berkata, nyaris semua komponen biaya operasional industri penerbangan didominasi mata uang dolar AS. Sehingga, kenaikan nilai tukar mata uang Paman Sam ini sangat memengaruhi kinerja keuangan maskapai.

Menurut dia, bahkan ada sejumlah komponen biaya operasional yang tak bisa dihindarkan menggunakan dolar, seperti bahan bakar avtur. Menurut Alvin, meski transaksinya dalam mata uang rupiah, namun penetapan harga avtur menggunakan acuan harga internasional yang erat kaitannya dengan fluktuasi nilai dolar AS.

“Avtur memang seluruh dunia juga pakai harga internasional. Kan itu plus ongkos angkutnya. Memang avtur ada aturan soal harganya. Kalau pun diproduksi di dalam negeri, tetap Pertamina juga harganya harga internasional, kan, mengacunya pada MOBS Singapura,” lanjut Alvin.

Sehingga, Alvin menyimpulkan, tidak tepat bila tingginya harga tiket pesawat saat ini dikaitkan dengan kondisi keuangan maskapai yang sedang berdarah-darah.

“Sejak 2014 nilai tukar rupiah sudah berubah berapa? Gaji pegawainya sudah naik berapa puluh persen? Biaya bandara sudah naik berapa banyak? Tapi batas atasnya enggak boleh naik. Tentunya margin laba dari air line ini, kan, makin hari ini makin tipis,” kata Alvin.

Melihat kondisi industri penerbangan saat ini, kata Alvin, justru peran pemerintah sangat diperlukan dalam menciptakan regulasi yang bisa mendukung penyelenggaraan industri penerbangan yang lebih sehat.

Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah mengatakan, pemerintah sebaiknya tak membuat kebijakan-kebijakan baru yang malah membuat pelaku industri penerbangan nasional makin terpuruk.

Kebijakan yang dimaksud Piter, seperti rencana membuka kesempatan maskapai asing masuk ke dalam negeri. Ia menilai masuknya maskapai asing ke Indonesia dapat menghantam perusahaan penerbangan dalam negeri.

Sebab, kata dia, bila tidak hati-hati, murahnya harga tiketnya (pricing) yang ditawarkan maskapai asing dapat membuat maskapai dalam negeri makin terseok-seok mengejar penumpang lantaran harus bergantung pada nilai tukar rupiah kepada dolar.

“Suku bunga, biaya modal, kurs beda sekali yang maskapai kita gunakan dengan luar. Itu besar pengaruhnya dan bisa berdampak pada pricing nanti,” ucap Piter.

Di samping itu, Piter juga menjelaskan maskapai dalam negeri umumnya menanggung beban tambahan seperti harus melayani rute-rute yang tidak populer atau menguntungkan. Kewajiban ini dilakukan dengan subsidi silang rute gemuk ke rute sepi yang tidak populer.

Masalahnya, kata Piter, maskapai asing yang masuk ke Indonesia pastinya tidak akan menyentuh rute sepi atas alasan bisnis. Alhasil beban maskapai dalam negeri membuat kondisi semakin tidak kompetitif saat menghadapi perusahaan penerbangan asing.

“Misalkan Singapore Airlines masuk ke Indonesia. Dia enggak akan masuk rute enggak populer. Itu lebih banyak biaya dari keuntungannya,” kata Piter.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI PENERBANGAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz