tirto.id - Idulfitri menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh sebagain besar perantau. Mereka berharap libur lebaran bisa melepas rindu dengan keluarga di kampung halaman. Namun, harga tiket pesawat yang mahal beberapa waktu terakhir ini menjadi kendala yang dikeluhkan calon pemudik.
Rofiek Tri Hartanto, karyawan swasta asal Kebumen, Jawa Tengah adalah salah satu yang mengeluhkan harga tiket pesawat yang mahal. Sebab, ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk mudik dari Gorontalo, tempat ia dan keluarga berdomisili.
“Sudah minimal Rp2,18 juta. Mahal kan? Naiknya sekitar Rp400 ribu per orang [dari tahun lalu]” kata Rofiek saat dihubungi reporter Tirto melalui sambungan telepon, Kamis sore (9/5/2019).
Harga tiket pesawat yang mahal ini membayangi pikiran Rofiek yang berencana memboyong istri dan anaknya saat mudik lebaran nanti. Kekhawatiran Rofiek cukup beralasan karena dengan harga tiket Rp2,18 juta per orang, ia harus merogoh Rp6,54 juta sekali perjalanan atau sekitar Rp13 juta untuk perjalanan pulang pergi menggunakan pesawat Lion Air.
Sayang, Rofiek tak punya banyak pilihan untuk bertolak dari Gorontalo menuju Kebumen. Sebab, angkutan laut jelas bukan solusi mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan. Satu-satunya pilihan yang tersisa tinggal pesawat.
“Enggak bakal [naik angkutan laut], kelamaan. Capek di jalan dan habis waktu nanti. Soalnya jatah cuti juga, kan, terbatas,” kata Rofiek berkeluh kesah.
Namun, kata Rofiek, karena harga tiket mahal, akhirnya ia belum memutuskan untuk membeli.
“Kalau minggu ini semakin mahal tarifnya, saya enggak akan mudik. Tunggu harganya agak mendingan [turun]. Mungkin mudiknya nanti Juli saat iduladha” kata Rofiek kepada reporter Tirto, Jumat (10/5/2019).
Nasib serupa dialami Desi Anggriani. Perempuan yang sehari-hari mengais rezeki di ibu kota Jakarta ini berencana pulang ke kampung halamannya, di Padang, Sumatera Barat saat musim mudik nanti.
“Biasa ke Padang itu dengan LCC cuma Rp500-600 ribu, sekarang jadi Rp1,2 juta. Apalagi musim mudik lebaran lebih parah lagi, dulu cuma Rp1,3 juta, sekarang ke Padang hampir Rp2 juta,” kata Desi saat berbincang dengan reporter Tirto.
Belum selesai keluhannya soal harga tiket yang mahal, ocehan Desi kini menyasar kebijakan sejumlah maskapai yang menerapkan tarif bagasi secara terpisah dengan tiket pesawat. Menurut dia, kebijakan maskapai itu memberatkan penumpang, termasuk dirinya.
Ihwal bagasi pesawat ini yang akhirnya membuat Desi menjatuhkan pilihan pada Citilink ketimbang Lion Air untuk mengantarnya dirinya ke kampung halaman saat mudik lebaran nanti.
“Maskapainya Citilink karena enggak perlu bayar bagasi lagi. Kalau Lion kemarin lebih murah, tapi belum bagasinya. Kalau dihitung-hitung mah sama saja. Mending yang enggak usah antre buat bayar bagasi, makanya pilih Citilink,” tutur dia.
Saat ini, Desi juga tengah memantau pergerakan harga tiket. Ia mangaku, akan tetap membeli tiket pesawat sambil melihat kemungkinan adanya promo alias pemotongan tarif saat mendekati lebaran.
“Pasti beli, cuma sambil lihat apa ada promo. Semahal apa pun harus pulang ke Padang. Biasanya kalau di akhir itu ada promo, tapi kalau enggak adapun minggu ini pasti beli tiket,” kata Desi.
Senada dengan Rofiek, Desi mengaku tak punya banyak pilihan moda transportasi menuju kampung halaman. Menurut dia, pesawat jadi pilihan transportasi satu-satunya yang bisa dipakai guna mengejar terbatasnya waktu libur saat lebaran.
Karena itu, Desi berharap pemerintah melalui Kementerian Perhubungan serius membuat kebijakan untuk menurunkan tarif tiket pesawat.
“Bukannnya enggak ngerti sama kondisi maskapai yang sedang berdarah. Tetep saja kenaikan tiket lebih dari 100 persen itu enggak realistis buat masyarakat. Inginnya sih ada penurunan, kalau mau cukup yang bayar bagasi saja, tapi harga tiket bisa turun hingga 60 persen,” kata Desi berharap.
Tarif Batas Atas akan Diturunkan
Rofiek dan Desi hanya segelintir masyarakat yang mengeluh dengan kondisi tiket pesawat yang dirasa 'mencekik' tersebut. Di ranah media sosial, kekesalan masyarakat perihal mahalnya tiket pesawat ramai dicurahkan hingga muncul tagar #PecatBudiKarya yang sempat menjadi trending di Twitter pada 7 Mei 2019.
Munculnya tagar tersebut bukan tanpa sebab. Warganet menilai Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi gagal menurunkan harga tiket pesawat yang dianggap terlalu mahal dalam beberapa waktu terakhir.
Janji menurunkan harga tiket juga tidak kunjung terealisasi, meskipun Kemenhub sudah menerbitkan dua regulasi baru terkait tarif pesawat pada Maret 2019, yakni Peraturan Menteri Perhubungan No. 20/2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan No. 72/2019.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sendiri telah memastikan akan menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat. Meski bulan puasa dan lebaran identik dengan peak season yang berujung pada kenaikan harga, tapi perubahan TBA diyakini menjadi formula yang dapat mengatasi situasi mahalnya tiket pesawat.
Keputusan itu diambil dalam rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin (6/5/2019). Rapat yang dipimpin Menko Perekonomian Darmin Nasution ini juga dihadiri Menteri BUMN Rini Soemarno dan perwakilan Garuda Indonesia.
“Saya diberi waktu satu minggu menetapkan batas atas baru untuk penerbangan ekonomi,” kata Budi Karya kepada wartawan di Kemenko Perekonomian usai rakor.
Penurunan Tarif Tak Bisa Sepihak
Di sisi lain, penurunan tarif batas atas untuk menurunkan harga tiket pesawat sepertinya juga bukan pilihan bijak. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, pemerintah tidak semestinya menentukan TBA baru bila penyebab mahalnya tiket pesawat belum diketahui secara jelas.
Sebab, kata Piter, hingga saat ini dirinya belum mendengar penjelasan pemerintah mengenai hal tersebut. Piter pun ragu bila penurunan TBA benar-benar dapat menjawab masalah mahalnya tiket pesawat.
Apalagi, kata dia, selama ini pemerintah masih abai pada beban banyaknya bandara yang harus dilayani maskapai sebagai penyebab struktur biaya yang membuat tiket pesawat menjadi mahal.
“Kalau menurut saya harus dijelaskan dulu dan disampaikan kepada publik apa yang jadi masalah naiknya begitu kencang. Kalau main patokan batas atas bawah saja itu enggak memberi solusi,” kata Piter saat dihubungi reporter Tirto, Senin (6/5/2019).
Menurut Piter, saat maskapai dipaksa menurunkan tarifnya, ia khawatir bila situasi tersebut justru dapat memperburuk keadaan industri maskapai penerbangan.
Ia berharap, Kemenhub bisa lebih cermat dalam menetapkan besaran tarif batas ini bila kebijakan penutunan tarif batas atas itu benar-benar akan diambil.
“Ya kalau pemerintah hanya berwacana, mengimbau, dan memaksa menurunkan tarif pesawat tanpa solusi, ya sama saja membunuh itu sendiri,” kata Piter.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz