tirto.id - Protes masyarakat soal kenaikan harga tiket pesawat dijawab pemerintah salah satunya dengan membandingkan tarif tiket domestik di Indonesia dengan tarif di luar negeri. Hal ini dilakukan pemerintah melalui akun resmi milik Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di Twitter: @Kemenhub151yang diikuti sekira 252.1K akun
"Dibandingkan negara lain, tarif jarak di negara kita lebih murah, lho #KawulaMod. Untuk simulasi biaya tarif penerbangan yang lainnya, cek infografisnya ya," tulis akun @kemenhub151, Jakarta, Sabtu (1/6/2019).
Dalam infografik Kemenhub disebutkan simulasi biaya tarif penumpang luar negeri Tokyo-Hokkaido dengan jarak 840 kilometer dipatok harga Rp4.601.450, sementara domestik Jakarta-Tanjung Pinang dengan jarak 842 km di patok harga Rp1.508.700.
Selanjutnya, Montreal-Quebec dengan jarak 941 km dipatok harga Rp3.176.2833 dan Biak -Merauke dengan jarak 945 dipatok harga Rp1.641.800. Ada pula dengan Vancouver-Monteral dengan jarak 3.320 km Rp8.399.031 dan Jakarta-Timika dengan jarak 3.334 km dipatok harga Rp4.442.400.
Tarif jarak merupakan satu dari empat komponen yang menjadi perhitungan tarif sebuah penerbangan selain pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tambahan
Pembanding yang Tidak Sebanding
Travel Blogger, Wira Nurmasyah dalam Instagram (IG) Story miliknya mencoba mencari perbandingan harga tiket menggunakan aplikasi skyscanner.co.id untuk keberangkatan 10 Oktober 2019. Berbeda dengan informasi yang disebar Kemenhub temuan Wira malah menunjukkan harga tiket Tokyo-Hokaido jauh lebih murah dibandingkan tiket Jakarta-Tanjung Pinang.
"Malah jauh lebih murah Tokyo-Hokkaido. Hampir setengah harga Jakarta-Tanjung Pinang," tulis Wira dalam akun IG story yang diizinkan untuk dikutip Tirto.
Wira menjelaskan Tokyo-Hokkaido dipatok dengan harga Rp663.038 menggunakan maskapai Peach, anak perusahaan All Nippon Airways. Sedangkan Jakarta-Tanjung Pinang bertarif Rp1.246.144 menggunakan maskapai Lion Air.
Wira pun mempertanyakan harga tiket Rp4,6 juta rute Tokyo-Hokkaido yang ditulis Kemenhub. Pria yang memiliki pengikut 17,3K di akun IG pun mencari harga tiket yang dimaksud Kemenhub. Ternyata, kata Wira, Kemenhub menggunakan kelas ekonomi untuk penerbangan dalam negeri dan kelas bisnis untuk penerbangan luar negeri sebagai cara mengambil perbandingan.
"Oh harga Business class yha? Kok membandingkan sama harga ekonomi. Situ waras apa gimana min @kemenhub151," tulis Wira. Banyaknya kritik terhadap postingan tersebut membuat Kemenhub menghapus cuitan tarif tiket pesawat pada Minggu malam (2/6/2019).
Beda Pendapatan Perkapita
Alih-alih mendapat pujian cuitan Kemenhub memang lebih banyak tuai cibiran dan kritikan. Muchlis misalnya, pemilik akun @mu_hadi343 ini menilai perbandingan yang dilakukan Kemenhub tidak setara atau tidak apple to apple. Ini karena menurutnya pendapatan perkapita masyarakat di Indonesia dengan negara-negara yang dicontohkan oleh Kemenhub berbeda.
"Tadi baca ini, heran dong. Kenapa bandingin sama luar negeri yang pendapatan per kapita aja beda-beda," tulis akun @mu_hadi343, Minggu (2/6.2019).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia sebesar USD 3.927 atau sekitar Rp 56 juta per kapita per tahun. Angka ini naik dibandingkan tahun 2017 sebesar Rp51,9 juta per tahun. Bandingkan dengan Jepang, pada 2018 PDB per kapitanya mencapai USD 39.311 per tahun. Angka ini naik dibandingkan tahun 2017 sebesar USD 38.368 per tahun. https://www.ceicdata.com/id/indicator/japan/gdp-per-capita
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, Kementerian Perhubungan harus mengetahui latar belakang masing-masing negara yang menerapkan tarif murah dan tarif mahal.
"Menteri Perhubungan tidak bisa membandingkan secara matematika saja tanpa tahu latarbelakang (negaranya)," kata Tulus saat dihubungi tirto, Senin (3/6/2019)
Bila ingin membandingkan, Kemenhub harus tahu bahwa regulasi setiap negara itu beda-beda sehingga menentukan tarif maskapai tersebut. Misalnya insentif untuk maskapai atau tidak ada tarif batas atas/tarif batas bawah.
Penjelasan Kemenhub
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub Hengki Angkasawan mengatakan pihaknya tidak tahu persis, apakah harga tiket itu kelas bisnis atau ekonomi. Tapi, pihaknya mengakui bahwa data itu berasal dari teman-teman Direktorat Perhubungan Udara yang sudah diolah sama mereka.
"Data itu diolah dari Departemen Perhubungan Udara dan itu berdasarkan hasil komunikasi dengan teman-teman di Jepang. Itulah hasilnya," kata Hengki melalui sambungan telepon, Senin (3/6/2019).
Menurut Hengki pihaknya sebenarnya mau memberikan gambaran skema tarif tiket dengan formulasi berbagai komponen, salah satunya jarak penerbangan. Perbandingan itu bukan apple to apple tapi formulanya jarak kilometer maskapai Jepang dengan maskapai Indonesia.
Ia pun membantah bahwa pihaknya memberikan narasi tiket dalam negeri lebih murah dibandingkan luar negeri. Oleh karena itu, melihat kondisi di medsos semakin berpolemik, pihaknya mengakui menurunkan konten tersebut di medsos @Kemenhub151.
"Daripada ribu-ribut bekerpanjangan. Inisiatif kami untuk keluarin konten itu, kami minta maaf jika terjadi polemik yang besar di msayarakat," kata Hengki.
Kenapa Tiket Mahal?
Pengamat penerbangan dari Aviation Consultant CommunicAvia Gerry Soejatman mengatakan tarif batas atas (TBA) menjadi salah satu kebijakan pemerintah yang menghilangkan subsidi silang harga tiket murah untuk konsumen. Sebab, dengan adanya TBA/tarif batas bawah (TBB) maskapai tidak leluasa menentukan tarif.
"Minta TBA dinaikin, ditolak dengan alasan takut inflasi, tapi ujung-ujungnya maskapai terpaksa menjual dengan harga mahal mendekati TBA karena sudah gak bisa mensubsidi silang lagi," kata Gerry kepada tirto, Minggu malam, Jakarta (2/5/2019)
Ia menambahkan, pernah ada yang mengeluh soal tiket Jakarta-Batam dulunya Rp500 ribu sekarang menjadi Rp1,5 juta. Lalu membandingkan dengan Jakarta Singapura yang masih harga Rp500 ribu. Perbandingan ini memperlihatkan ketidakpahaman mengenai tiket pricing bebas seperti di luar negeri.
Di Singapura, ketika permintaan tinggi harganya bisa Rp3-5 juta untuk maskapai LCC dan Rp5-8 juta untuk full service carrier. Menurut Gerry, banyak yang mengeluh mahalnya harga tiket, tapi tidak tahu jika lagi ramai permintaan, harga tiket di luar negeri mahal sekali.
Contoh, Jakarta-Surabaya dengan London-Edinburgh. Jika Jakarta-Surabaya pada momen sepi Rp500 ribu dan lagi ramai naik Rp1,5 juta. Sedangkan di London-Edinburgh, kalau lagi sepi bisa Rp100 ribu, tapi kalau ramai bisa Rp4-5 juta. Padahal ini tiket pesawat dengan maskapai LCC. Ia menanyakan mau enggak harga tiket "bisa murah kayak di luar negeri", tapi mau enggak bayar semahal harga di luar negeri kalau lagi ramai permintaannya?
"Di luar negeri, tiket murah, disubsidi oleh tiket mahal. Dulu di Indonesia sama juga, meskipun ada tarif batas atas untuk tiket domestik di Indonesia," kata Gerry.
Yang menjadi persoalan, lanjutnya, TBA maskapai pesawat tidak bergerak sejak 2016 dan malah bulan kemarin diturunkan. Kondisi ini membatasi kemampuan airline untuk bisa mensubsidi tiket murah karena tiket mahalnya sudah gak seuntung dulu.
"Minta TBA dinaikin, ditolak dengan alasan takut inflasi, tapi ujung-ujungnya maskapai terpaksa menjual dengan harga mahal mendekati TBA karena sudah gak bisa mensubsidi silang lagi," kata Gerry
Sementara itu, Tulus mengatakan TBA sudah ada sejak UU Penerbangan dirilis tahun 2009. Tujuannya untuk melindungi konsumen dari tarif yang terlalu tinggi. Terakhir kali, Kemenhub menaikkan TBA pada 2016 sementara faktor eksternal terus berubah seperti inflasi, dollar dan avtur. Pada saat Inaca (Indonesia National Air Carriers Association) minta dinaikan pada 2017, Kemenhub tak menggubris. Kondisi itu membuat maskapai menggunakan TBA pada awal 2019.
Ia menambahkan tiket pesawat dipatok harga tinggi, sementara daya beli konsumen tidak masuk dalam struktur biaya maskapai. Meskipun demikian, konsumen harus dilindungi dari tarif tinggi yang dipicu oleh persiangan tidak sehat. Misalnya kartel, di Indonesia potensi muncul itu besar karena ada dua pemain yang besar antara grup Garuda dan Lion
Memang, secara aturan maskapai tersebut belum melanggar ketentuan TBA karena mengikuti regulasi yang ada. Bahkan sebelum ada perubahan TBA baru oleh Kemenhub, maskapai masih dalam koridor yang normal.
"Persoalanya ketika musim sepi, Februari dan Maret lazimnya maskapai tidak menerapkan tarif tinggi. Tapi waktu itu setelah lebaran dan tahun baru tarifnya kok gak turun-turun. Ini yang menjadi pertanyaan dan patu dicurigai adanya praktek kartel itu," kata Tulus.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Jay Akbar