tirto.id - KH Hasyim Asy’ari merupakan seorang ulama terkemuka yang memegang peranan penting dalam sejarah perjuangan dan pengembangan Islam di Tanah Air. Salah satu tokoh pendiri NU ini lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Tambakrejo, Jombang.
Orang tua KH Hasyim Asy'ari adalah Kiai Asy’ari (ayah) dan Nyai Halimah (ibu). KH Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari sebelas bersaudara. Sang ayah merupakan pendiri Pesantren Keras di Jombang, yang sekaligus menjadi tempat Hasyim bertumbuh.
Pendidikan KH Hasyim Asy’ari sejak kecil sudah berkecimpung di berbagai pesantren di Jawa dan Madura. Setelah dewasa, dia melanjutkan pendidikannya di Makkah, terutama di bidang agama Islam. Selama tujuh tahun Hasyim belajar dari para guru di sana, termasuk Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menjadi Mufti Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.
Salah satu kontribusi penting KH Hasyim Asy’ari adalah memimpin perjuangan kaum santri melawan penjajah. Hal itu dilakukan ketika Brigade 49 Divisi India Tentara Inggris tiba di Indonesia sebagai dampak dari Agresi Militer II Belanda.
Salah satu wujud peran kepemimpinan dan perjuangannya bersama para santri kala itu adalah Resolusi Jihad NU, yang dirumuskan pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad yang dipelopori KH Hasyim Asyari ini kemudian menjadi dasar penetapan Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober. Penetapan ini menegaskan peran para santri dalam kemerdekaan bangsa Indonesia.
Silsilah KH Hasyim Asy’ari, Apakah Termasuk Keturunan Nabi?
Silsilah KH Hasyim Asy’ari dapat ditelusuri sejak kelahirannya pada Selasa Kliwon, 24 Zulkaidah 1287 H, atau 14 Februari 1871 M. Dari orang tua KH Hasyim Asy'ari bernama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari.
KH Hasyim Asy’ari berasal dari keluarga pendiri pesantren di Jawa Timur. Ayahnya adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang, sementara kakeknya (ayah dari sang ibu) merupakan pengasuh Pesantren Gedang.
Pesantren Gedang merupakan pesantren yang terkenal pada akhir abad ke-19. Selain menjadi tempat belajar ilmu agama, di pesantren itu pula ayah Hasyim Asy’ari bertemu dengan ibunya.
Dari silsilah KH Hasyim Asy’ari berdasarkan garis sang ibu diketahui bahwa salah satu pendiri NU tersebut merupakan keturunan darah biru atau bangsawan. Muhammad Rifai dalam buku KH Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947 (2009) dengan mengutip penuturan KH Abdul Wahab Hasbullah menjelaskan, nasab KH Hasyim Asy’ari bersambung hingga para pejabat Kerajaan Majapahit dan Demak.
Jika ditelisik, nasab KH Hasyim Asy’ari bisa ditarik hingga Raja Brawijaya VI, atau yang juga dikenal dengan nama Lembu Peteng. Lembu Peteng memiliki beberapa putra, termasuk
Jaka Tingkir atau dikenal dengan nama Mas Karebet.
Jaka Tingkir merupakan sosok pendekar yang terkenal dengan ilmu kanuragan serta keislamannya. Salah satu jasanya dalam menyebarkan agama Islam di daerah Pasuruan, Jawa Timur.
Menikahi putri raja ketiga Kesultanan Demak (Sultan Trenggono), Jaka Tingkir memiliki putra bernama Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah sosok yang tak menyukai urusan duniawi, termasuk enggan mewarisi jabatan di kerajaan, dan memilih untuk menjadi guru tarekat di Kudus.
Pangeran Benawa kemudian memiliki putra bernama Pangeran Sambo (nama aslinya Muhammad). Silsilah bersambung ke Pangeran Sambo, yang memiliki putra bernama Ahmad. Lalu, Ahmad memiliki putra bernama Abdul Jabbar, yang kemudian juga memunyai keturunan bernama Kiai Sichah.
Kiai Sichah memiliki putri bernama Nyai Lajjinah (Layyinah) yang kemudian menikah dengan Kiai Usman. Kiai Usman ini adalah ayah dari Halimah, orang tua KH Hasyim Asy'ari.
Sementara itu, nasab KH Hasyim Asy’ari dari jalur sang ayah menunjukkan bahwa dirinya masih keturunan dari Nabi Muhammad saw. Silsilah KH Hasyim Asy'ari sampai Nabi Muhammad ini dapat dilihat dari garis seorang ulama Wali Songo yakni Sunan Giri.
Nasab KH Hasyim Asy’ari dari Sunan Giri sampai ke Nabi Muhammad adalah dari jalur Husain bin Ali RA, Ali Zainal Abidin, dan seterusnya. Catatan nasab Sunan Giri tersebut diterangkan oleh Saadah Baalawi dari Hadramaut, Yaman. Penjelasan terkait garis keturunan KH Hasyim Asy'ari yang bertemu dengan Nabi Muhammad ini dipercaya sebagai sumber yang sahih di beberapa pesantren di Jawa Timur.
Dengan demikian, dari garis ayahnya, nasab KH Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Addurrohman (Pangeran Samhud Bagda) bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrohman (Sultan Pajang) bin Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq.
Hal tersebut pun dibenarkan oleh Supriyadi dalam bukunya, Ulama Pendiri, Penggerak, dan Intelektual NU dari Jombang (2015). Supriyadi menuliskan bahwa jalur nasab KH Hasyim Asy’ari dari ayahnya bersambung dari Maulana Ishaq hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir, cicit dari Husain bin Ali (putra Nabi Muhammad saw.).
Prestasi KH Hasyim Asy’ari
Lahir dari keluarga pendiri pesantren, KH Hasyim Asy’ari tumbuh dengan ilmu agama yang mumpuni. Tak hanya belajar di pesantren-pesantren Jawa dan Madura, pendidikan KH Hasyim Asy’ari juga ditempuh hingga ke tanah suci. Semua itu dilakukan demi mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan pesantren.
Prestasi KH Hasyim Asy’ari tak bisa dilepaskan dari berdirinya lembaga pendidikan Pesantren Tebuireng. Di tengah penjajahan Belanda pada abad ke-19, kejahatan terjadi di mana-mana, begitupun dengan kemiskinan yang dialami masyarakat. Hal demikian juga terjadi di tempat tinggal KH Hasyim Asy’ari, yakni di Dukuh Cukir, Desa Tebuireng.
Heru Sukardi dalam bukunya Kiai Haji Hasyim Asy’ari: Riwayat Hidup dan Pengabdiannya (1985) menuliskan, Kiai Hasyim merasa terpanggil untuk memperbaiki penduduk Desa Tebuireng yang sedang dilanda krisis. Dalam situasi tersebut, KH Hasyim Asy’ari bertekad mendirikan pesantren, yang kemudian dicegah oleh teman-temannya. Mereka berpendapat, tempat tersebut tak layak untuk didirikan sebuah pesantren.
Dengan tekad berjihad, KH Hasyim Asy’ari memulai cita-citanya dengan membeli sebidang tanah di Desa Tebuireng. Di atas sebidang tanah itu akhirnya Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah pesantren yang kemudian dikenal dengan Pesantren Tebuireng. Tercatat Pesantren Tebuireng berdiri pada 26 Rabiulawal 1317 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1899 Masehi.
Perjalanan Pesantren Tebuireng tidaklah mudah, terlebih dengan banyaknya penolakan dari lingkungan sekitar. Sejak didirikan hingga dua setengah tahun kemudian, para santri di Pondok Pesantren Tebuireng terpaksa selalu siaga. Setelah salat Isya’, di waktu-waktu menjelang tidur, para santri tidak ada yang berani merapatkan badannya ke dinding. Mereka takut terkena tusukan senjata tajam oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Akan tetapi, perjuangannya di Tebuireng membuahkan hasil sepadan. Seiring berjalannya waktu, Pesantren Tebuireng memberikan pengaruh luas terhadap pesantren-pesantren lain di Jawa. Kiprah KH Hasyim Asy’ari pun menjadi semakin meluas. Selain mendirikan pesantren, prestasi KH Hasyim Asy’ari lainnya adalah menginisiasi pembentukan organisasi islam Nahdlatul Ulama (NU) bersama KH Wahab Hasbullah.
Pada 31 Januari 1926, KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah bersama kiai-kiai lainnya memutuskan untuk mendirikan NU dengan tujuan memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda. Chairul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama menuliskan, latar belakang pendirian NU adalah adanya kesadaran mengenai belum adanya organisasi untuk mempersatukan para ulama di tengah pergerakan melawan penjajah. Saat itu, KH Hasyim Asy’ari, yang dipandang sebagai tokoh berilmu, menduduki posisi sebagai Rais Akbar NU, bahkan hingga akhir hayatnya.
Mengenai NU, Kiai Hasyim Asy’ari memiliki keyakinan bahwa tanpa persatuan dan kebangkitan ulama, akan ada potensi bagi pihak lain untuk mengadu domba, terlebih dalam masa penjajahan. Organisasi ini pun kemudian tidak hanya berkaitan dengan kepesantrenan dan ritual keagamaan saja. Di dalam NU juga membahas masalah sosial, ekonomi, serta kehidupan masyarakat menyeluruh.
Berdirinya NU yang diinisiasi KH Hasyim Asy’ari dan kiai lainnya pun memberi kontribusi nyata dalam kemerdekaan Indonesia. Saat terjadi Agresi Militer II Belanda, kemerdekaan Indonesia yang baru saja diumumkan kembali terancam.
Dalam situasi tersebut, Presiden Soekarno bahkan mengirim utusannya untuk bertemu KH Hasyim Asy’ari yang kemudian tercetuslah Resolusi Jihad. Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari ini memiliki pengaruh besar dalam menumbuhkan keberanian masyarakat baik laki-laki dan perempuan, khususnya kalangan santri, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Atas perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, KH Hasyim Asy'ari dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 17 November 1964. Anugerah tersebut diberikan setelah KH Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947.
Editor: Fadli Nasrudin