Menuju konten utama
Kasus Korupsi BLBI

Sidang Praperadilan BLBI MAKI Ingin Sjamsul Nursalim Jadi Tersangka

Melalui sidang praperadilan ini, MAKI menuntut KPK segera menetapkan pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi BLBI.

Sidang Praperadilan BLBI MAKI Ingin Sjamsul Nursalim Jadi Tersangka
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman (kanan) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (16/3). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Hari ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang perdana praperadilan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Praperadilan ini diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).

Lewat praperadilan ini, MAKI menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menetapkan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus korupsi BLBI.

"Gugatan ini dalam rangka memaksa KPK untuk segera menuntaskan korupsi BLBI karena sampai saat ini baru disidangkan atas terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, padahal dalam dakwaan Syafruddin Temenggung didakwa bersama-sama Sjamsul Nursalim," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman lewat keterangan tertulis, Senin (24/9/2018).

Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung telah lebih dulu duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Jaksa KPK mendakwa Syafruddin telah menyalahgunakan wewenang saat menerbitkan SKL bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti, pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istri Sjamsul, Itjih S Nursalim.

"Terdakwa selaku Ketua BPPN melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada petani tambak (petambak) yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar [misrepresentasi]," kata Jaksa KPK Khairudin di persidangan.

Pada saat itu, BDNI, yang merupakan salah satu bank di bawah kewenangan BPPN, memberikan uang pinjaman kepada pedagang budidaya tambak dalam bentuk kerja sama antara petambak dengan dua PT yakni PT DCD dan PT WM. Kedua PT tersebut diyakini milik Sjamsul Nursalim.

Dalam pencarian dana tersebut, Sjamsul dikenakan janji bayar piutang secara tunai dengan menyerahkan aset sebesar piutang Rp4,8 triliun kepada BDNI. Namun, uang tersebut ternyata tidak dibayarkan secara lancar oleh Sjamsul kepada pemerintah. Berdasarkan hasil audit, Sjamsul tidak pernah membayar utang tersebut.

Penyelesaian sengketa BDNI pun akhirnya dipegang oleh Syafruddin sebagai Ketua BPPN di tahun 2003. Kala itu, Syafruddin merestrukturisasi hutang BDNI sebesar Rp3,9 triliun.

Dalam rapat terbatas pemerintah, Syafruddin mengusulkan kepada pemerintah agar BDNI hanya membayar Rp1,1 triliun sementara Rp2,8 triliun dihapus atau write off. Dalam rapat tersebut, Syafruddin ternyata tidak melaporkan aset berupa hutang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim terdapat misrepresentasi pada saat penyerahannya ke BPPN. Namun, pihak pemerintah tidak menyepakati pandangan Syafruddin. Akan tetapi, Syafruddin justru membuat ringkasan rapat yang menyatakan ada penghapusan utang Rp2,8 triliun.

Mengacu dari ringkasan yang dibuat Syafruddin, Dorojatun Kuntjoro pun memutuskan untuk menghapus hutang Rp2,8 triliun. Hal itu tertuang dalam Keputusan No. KEP. 02/K.KKSK/02/2004 yang menyetujui nilai hutang masing-masing petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya sebesar Rp100 juta. Dengan penetapan nilai hutang maksimal tersebut, maka dilakukan penghapusan atas sebagian hutang pokok secara proporsional sesuai beban hutang masing-masing petambak plasma dan penghapusan seluruh tunggakan bunga serta denda.

Selain itu, dengan terbitnya keputusan penanganan penyelesaian kewajiban debitur petambak plasma PT DCD, maka keputusan-keputusan KKSK sebelumnya yaitu KEP.20/M.EKUIN/04/2000 tanggal 27 April 2000 yang memerintahkan porsi unsustainable debt seluruhnya ditagihkan kepada pemegang saham PT DCD dan PT WM yaitu Sjamsul Nursalim dan KEP.02/K.KKSK/03/2001 tanggal 29 Maret 2001 yang memerintahkan porsi unsustainable debt dialihkan ke perusahaan inti yaitu PT DCD dinyatakan tidak berlaku.

Padahal, Dorojatun telah mengetahui bahwa Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dan diharuskan untuk mengembalikan atau mengganti kerugian kepada BPPN berdasarkan laporan Tim Bantuan Hukum (TBH) KKSK tanggal 29 Mei 2002.

Setelah Syafruddin berhenti pada tahun 2004, pemerintah pun menerima laporan kinerja BPPN. Syafruddin melaporkan bahwa pihak Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan pembayaran nilai aset petambak senilai Rp1,1 miliar sesuai keputusan KKSK No.KEP.02/K.KKSK/02/2004 tanggal 13 Februari 2004 yang ditetapkan oleh Dorojatun. Namun, saat laporan dikonfirmasi pemerintah, Syafruddin tidak bisa menjelaskan secara rinci tentang restrukturisasi dan pelunasan utang tersebut.

Jaksa mendakwa, perbuatan Syafruddin telah menguntungkan Sjamsul Nursalim sebesar Rp4,58 triliun.

Boyamin menilai dengan hanya menjerat Syafruddin atas hal tersebut, KPK terbukti telah tebang pilih dan memang hendak melindungi Sjamsul Nursalim dalam kasus ini. Padahal, menurutnya, Sjamsul lah orang yang paling diuntungkan.

"Semoga hari ini KPK dapat memberikan jawaban yang logis kenapa sampai saat ini belum menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka perkara dugaan korupsi SKL [Surat Keterangan Lunas] BLBI BDNI," kata Boyamin.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri