tirto.id - Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) bernama Ali Kalora tewas dalam baku tembak dengan Satgas Madago Raya. Selain Ali Kalora, Ikrima alias Jaka Ramadhan alias Rama juga meninggal dalam insiden itu.
"Akibat kontak tembak tersebut telah tertembak dua DPO teroris Poso atas nama Ali Ahmad alias Ali Kalora dan Ikrima alias Jaka Ramadhan alias Rama. Kondisi meninggal dunia di TKP," kata Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Pol Rudy Sufahriadi.
Insiden baku tembak itu terjadi pada 18 September 2021, pukul 18.00 WITA di Desa Astina, Kecamatan Torue, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Setelah Ali Kalora tewas, satgas menyita barang bukti berupa satu pucuk senjata api laras panjang jenis M16 diduga milik Ali Kalora, dua ransel, satu bom tarik, satu bom bakar dan lain-lain.
Siapakah Ali Kalora?
Ali Kalora adalah pimpinan MIT, kelompok teroris yang terafiliasi dengan ISIS sekaligus paling diburu sebab sering menyasar warga sipil dan aparat. Di tahun lalu, sejumlah jenazah tanpa kepala ditemukan di wilayah dekat tempat persembunyian Ali Kalora. Diduga, MIT ada di balik kasus pemenggalan itu.
Ali Kalora adalah bernama asli Ali Ahmad, nama "Kalora" yang disematkan kepadanya merujuk pada nama tanah kelahirannya di Desa Kalora, Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk memudahkan penyebutannya, nama Ali Kalora seringkali dipakai di media.
Prayitno Ramelan dalam buku Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror dan di Dunia dan Indonesia (2017) menuliskan, Ali Kalora bersama MIT sudah memiliki rekam jejak yang cukup lama. Sebelumnya, organisasi MIT dipimpin oleh Santoso alias Abu Wardah Asy Ayarqi. Tapi ia tewas dalam baku tembak dengan Satgas Operasi Tinombala.
Setelah tewasnya Santoso, MIT dipegang oleh Basri, tetapi ia ditangkap pada 14 September 2016. Sejak itulah pucuk pimpinan diambil alih oleh Ali Kalora. Jauh sebelum itu, Ali Kalora sudah lama mengikuti Santoso dalam menebar teror, tepatnya sejak 2011. Ali Kalora pun menjadi orang kepercayaan Santoso.
Sepuluh tahun lalu, tepatnya di pertengahan tahun 2011, nama Ali Kalora pernah mencuat karena beberapa kali melakukan aksi teror terhadap polisi, termasuk penembakan pos polisi di Palu, Sulawesi Tengah.
MIT sebelumnya sempat terpecah menjadi dua faksi, yakni: faksi Santoso dan faksi Ali Kalora yang awalnya cuma memimpin 16 orang. Sedangkan yang sering kontak senjata dengan Satgas Operasi Tinombala adalah faksi pimpinan Ali Kalora.
Setelah Sabar Subagyo alias Daeng Koro tewas pada 3 April 2015, Ali Kalora mendapat peran di MIT. Daeng Koro adalah mantan anggota TNI-AD yang dipecat pada 1992 karena kasus asusila. Sejak awal 2000-an, Daeng punya jejak aksi terorisme, termasuk di Poso.
Kematian Daeng pada 2015 segera membuka jalan kepada Ali Kalora untuk menjadi tokoh berpengaruh di MIT bahkan menjadi pemimpin. Selain dekat dengan Santoso, ia juga mengenal medan gerilya di Sulawesi Tengah.
Usai tewasnya Santoso, penggantinya bernama Basri pun ditangkap pada 2016, MIT sempat tak terdengar aksinya lagi. Terlebih pada 11 November 2016, istri Ali Kalora yang bernama Tini Susanti Kaduku atau Umi Fadel, ditangkap di Poso Kota. Sebelumnya, Umi Fadel selalu menemani aksi gerilya suaminya.
Namun, pada 2018 lalu, nama Ali Kalora mencuat karena Satgas Tinombala kembali diperintahkan untuk mengejar kelompok MIT yang dipimpinnya. Perintah ini terjadi setelah seorang pria yang bekerja sebagai penambang emas di Parigi Mountong ditemukan tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya dan serangan terhadap anggota Polres Parigi Mountong dan menyebabkan dua polisi terkena tembakan.
Editor: Iswara N Raditya