tirto.id - Mutilasi terhadap warga dan serangan kepada polisi terjadi di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, jelang akhir tahun 2018. Aksi teror ini diduga dilakukan kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang pernah menyatakan setia kepada ISIS. MIT kali ini dipimpin Ali Kalora setelah kehilangan sejumlah pemimpinnya. Berikut sejarah hidup Ali Kalora.
Orang ini bernama asli Ali Ahmad. Embel-embel “Kalora” diambil dari nama tanah kelahiran Ali, yakni di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Nama Ali Kalora seringkali dipakai di media untuk memudahkan penyebutannya.
Ali Kalora adalah salah satu pengikut pentolan MIT yakni Abu Wardah Asy Ayarqi alias Santoso. Tanggal 18 Juli 2016, Santoso tewas dalam baku-tembak dengan Satuan Tugas (Satgas) Operasi Tinombala bentukan Polda Sulawesi Tengah di pedalaman Poso. Setelah itu, kepemimpinan MIT diteruskan oleh Basri. Namun, pada 14 September 2016, Basri ditangkap.
Jejak rekam Ali Kalora bersama MIT sudah cukup lama. Dikutip dari buku Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror dan di Dunia dan Indonesia (2017) karya Prayitno Ramelan, Ali Kalora sudah mengikuti Santoso menebar teror sejak 2011. Bahkan, ia menjadi salah satu orang kepercayaan Santoso.
Selain itu, Ali Kalora dan kawan-kawan juga beberapa kali melakukan aksi teror terhadap aparat kepolisian, termasuk peristiwa penembakan pos polisi di Palu, Sulawesi Tengah, pada pertengahan 2011.
Ramelan dalam bukunya juga mengungkapkan, MIT sempat terpecah menjadi dua faksi. Faksi pertama dipimpin Santoso, sedangkan faksi kedua di bawah komando oleh Ali Kalora yang pada awalnya memimpin 16 orang. Faksi pimpinan Ali Kalora ini kerap terlibat kontak senjata dengan Satgas Operasi Tinombala.
Penerus Santoso di MIT
Peran Ali Kalora di MIT semakin besar setelah kematian Sabar Subagyo alias Daeng Koro pada 3 April 2015. Daeng Koro sebelumnya adalah anggota TNI-AD yang dipecat pada 1992 karena terlibat kasus asusila.
Daeng Koro sudah melakukan aksi terorisme sejak awal 2000-an, termasuk di Poso. Ia lalu bergabung dengan Santoso pada 2012 sebagai penasihat sekaligus komandan lapangan MIT. Poltak Partogi Nainggolan dalam buku Ancaman ISIS di Indonesia (2018) menyebut, Daeng Koro adalah perancang berbagai kegiatan MIT.
Kematian Daeng Koro pada 2015 membuka jalan bagi Ali Kalora. Ia sangat mengenal medan gerilya di Sulawesi Tengah serta dekat dengan Santoso sehingga dengan cepat menjadi salah satu pimpinan MIT.
Setelah Santoso tewas dan Basri ditangkap pada 2016, MIT sempat tak terdengar aksinya lagi. Terlebih pada 11 November 2016, istri Ali Kalora yang bernama Tini Susanti Kaduku atau Umi Fadel, ditangkap di Poso Kota. Sebelumnya, Umi Fadel selalu menemani aksi gerilya suaminya.
Pada Minggu (30/12/2018), seorang pria yang bekerja sebagai penambang emas di Parigi Mountong ditemukan tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Sehari berselang, terjadi serangan terhadap anggota Polres Parigi Mountong dan menyebabkan dua polisi terkena tembakan.
Pihak aparat keamanan segera beraksi dengan kembali mengerahkan Satgas Tinombala untuk mengejar kelompok MIT pimpinan Ali Kalora setelah insiden baku-tembak di Parigi Mountong itu.
“Telah ditugaskan dua Satuan Setingkat Peleton (SST) Brimob, satu SST dari Polres Poso dan satu SST dari Polres Palu untuk membantu Polres Parigi Moutong melakukan pengejaran,” tegas Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol. Dedi Prasetyo, dalam keterangan tertulis, Selasa (1/1/2019).
Editor: Iswara N Raditya