tirto.id - Pemerintah dan DPR kembali berupaya menggolkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Salah satu ketentuannya mengatur soal larangan menghina penguasa umum dan lembaga negara, termasuk DPR. Jika melanggar maka diancam hukuman penjara 1,5 tahun hingga 3 tahun penjara.
Ketentuan itu terdapat di Bab IX Tindak Pidana Terhadap Kekuasan Umum dan Lembaga Negara pasal 353 dan pasal 354.
Pasal 353:
(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Pasal 354:
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdagangkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan pasal ini berpotensi menjadi pasal karet sehingga akan sangat mengekang hak dan kebebasan warga, bahkan pasal ini berpotensi menjadi pasal subversif.
"Pasal ini, tidak saja kabur dan multitafsir, namun juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern," kata Eras.
Selain itu, mengutip Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 hukum pidana tidak boleh digunakan untuk melindungi sesuatu yang bersifat subjektif, abstrak, dan merupakan suatu konsep seperti lembaga negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi, dan doktrin politik.
Pasal larangan menghina penguasa umum atau badan umum sebelumnya diatur dalam pasal 207 KUHP. Pasal ini telah menjerat sejumlah nama, antara lain Dosen Robertus Robet, Sugi Nur Raharja, Ahmad Dani.
Di Kota Palopo, seorang mahasiswa dijadikan tersangka dengan pasal ini karena menyanyikan lagu yang menyindir kepolisian saat berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja. Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji pun pernah melapor ke polisi dengan menggunakan pasal ini, ia merasa dihina oleh demonstran saat aksi unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri