Menuju konten utama

Hina Presiden Dibui 4,5 Tahun, ICJR: Ancaman Demokrasi dalam RKUHP

Pasal Penghinaan Presiden dinilai menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan berpendapat, kebebasan informasi, dan kepastian hukum.

Hina Presiden Dibui 4,5 Tahun, ICJR: Ancaman Demokrasi dalam RKUHP
Presiden Joko Widodo menyampaikan sikap tentang rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/9/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id -

Pemerintah dan DPR kembali mendorong pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pasca ditolak secara besar-besaran oleh banyak elemen masyarakat pada 2019 lalu karena bermasalah. Salah satu adalah pasal larangan menghina presiden/wakil presiden, sebuah pasal warisan kolonial yang dihidupkan kembali pasca dikubur MK.

"MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu lewat keterangan tertulis pada Senin (21/6/2021).

Larangan menghina presiden dan wakil presiden tercantum di pasal 218-220 RKUHP.

Pasal 218 mengatur larangan menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden di muka umum. Tidak jelas definisi kehormatan dalam pasal ini. Jika melanggar, maka diancam dengan hukuman penjara paling lama 3,5 tahun. Ayat 2 pasal ini memberi pengecualian jika tindakan itu dilakukan sebagai pembelaan diri atau untuk kepentingan umum.

Sementara pasal 219 mengatur, jika tindakan menyerang kehormatan presiden dan/atau wakil presiden dilakukan ke muka umum melalui tulisan, gambar, rekaman suara, atau sarana teknologi informasi ke muka umum, maka diganjar dengan ancaman penjara paling lama 4,5 tahun.

Sementara pasal 220 menyebut, penindakan atas pelanggaran tersebut hanya bisa dilakukan berdasar aduan oleh presiden dan wakil presiden sendiri, termasuk secara tertulis.

"Jika kita merujuk pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara," kata Eras.

Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)di dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disusun tahun 2015 mengatakan presiden dan wakil presiden memiliki kedudukan yang berbeda dengan orang biasa jika ditinjau dari aspek sosiologis, hukum, dan ketatanegaraan. Karenanya diperlukan pasal khusus untuk melindungi martabat presiden.

Selain itu, Kemenkumham merasa janggal jika terdapat ketentuan pemidanaan atas penghinaan terhadap orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang
kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat, tetapi tidak ada pemidanaan atas penghinaan terhadap presiden.

Berikut bunyi pasal tersebut.

Pasal 218 :
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat
dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan
tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220 :

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Dikubur MK

Larangan menyerang kehormatan larangan Presiden/Wakil Presiden ini sebelumnya sudah terdapat di dalam KUHP yang berlaku saat ini, tepatnya di pasal 134 KUHP. Namun, pada 2006 pasal ini dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sehingga pasal ini kemudian dicabut.

Dari aspek historis, MK mengutip penjalasan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mardjono Reksodiputro kala hadir sebagai saksi ahli. Sebagaimana diketahui, KUHP merupakan adopsi dari Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda), termasuk pasal 134 KUHP merupakan adopsi dari pasal 111 WvS yang mengatur larangan menyerang kehormatan raja dan ratu Belanda yang diatur dengan delik biasa.

Marjono menjelaskan, WvS Belanda sebetulnya memiliki pasal 261 tentang penghinaan secara umum dengan delik aduan, tetapi martabat raja tidak membenarkan raja menjadi pengadu.

Namun di sisi lain, martabat raja/ratu sangat dekat dengan kepentingan negara karenanya harus diberi perlindungan khusus. Sebagai solusi, dibuatlah pasal khusus yakni pasal 111 WvS Belanda dengan delik biasa.

Indonesia merdeka tidak memiliki masalah itu sehingga pasal penghinaan terhadap presiden tidak diperlukan.

"Tidak ditemukan rujukan, apakah alasan serupa dapat diterima di Indonesia, yang mengganti kata ‘Raja’ dengan ‘Presiden dan Wakil Presiden," kata Marjono dikutip sebagai pertimbangan oleh hakim MK.

Selain itu, berbeda dengan anggapan Kemenkumham bahwa Presiden memiliki derajat yang berbeda dengan rakyat jelata, Mahkamah justru menyatakan sebaliknya. Pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat sementara presiden dan wakil presiden hanyalah pilihan rakyat, karenanya kedudukannya harus setara. Presiden dan wakil presiden tidak boleh mendapat perlakuan khusus atau privilege hukum yang berbeda dengan rakyat.

Pasal larangan penghinaan terhadap presiden/wakil presiden juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan multitafsir. Hal itu bisa menghambat proses penyampaian pikiran dan kritik oleh masyarakat melalui unjuk rasa. Selain itu, pasal itu juga berpotensi merintangi upaya pemeriksaan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan presiden atau wakil presiden.

Karenanya MK pun berpesan pada pembuat undang-undang untuk tidak memasukkan pasal yang serupa dengan ini dalam revisi terhadap KUHP di masa depan.

"Dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana," tertulis dalam putusan MK.

Baca juga artikel terkait REVISI RKUHP atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri