tirto.id - Basuki Tjahaja Purnama terus berubah sikap. Ia jauh lebih pendiam setelah ditetapkan tersangka dan bakal menjalani sidang perdana pada 13 Desember. Meski demikian, raut cerianya sesekali muncul saat bertemu warga, saat di Rumah Lembang maupun saat blusukan.
Ahok tiba di Rumah Lembang sekitar pukul 08.30. Mengenakan baju kotak-kotak dan jam tangan putih di lengan kirinya, suami Veronica Tan ini naik ke panggung, dan segera duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Tak sampai 10 menit, simpatisan pertama yang ingin berdialog naik ke mimbar. Toto Sugito, pendiri komunitas Bike to Work, menemui Ahok. Toto bercerita bila dia pernah ke rumah Ahok pada Ramadan dan September 2016. Pria yang bekerja sebagai direktur pelaksana di PT Anggara Architeam, sebuah perusaan arsitektur, itu bercerita kalau dia pernah salat di kamar pembantu Ahok. Toto kaget saat melihat perkakas di kamar itu. Ada penyejuk udara, ada pula televisi layar datar. Menurutnya, itu unik karena hanya sedikit orang yang memperhatikan pembantu mereka.
“Saya Islam tapi kamar pembantu saya tidak semewah itu,” tutur Toto Sugito, Rabu (7/12/2016).
Toto menilai, tindakan Ahok yang memanusiakan pembantu di rumahnya sudah membuktikan Ahok baik, dan itu disebutnya “sikap asli” jagoannya. Berkaca dari pengamatannya, Toto meyakini Ahok tidak mungkin menistakan agama. Bahkan dia bersedia jadi saksi dari kasus yang menjerat Ahok untuk membuktikan gubernur Jakarta non-aktif itu bukan penista agama.
Menanggapi itu, Ahok bercerita kalau dia tidak menista agama. Dan tak ada niatnya menodai Al-Maidah 51. Surat itu dia ucapakan dalam konteks kampanye Pilkada Bangka-Belitung tahun 2007.
“Saya tuh tidak pernah menafsirkan Al-Maidah. Saya juga tidak menyinggung terjemahan Al-Maidah. Yang saya singgung adalah selebaran yang menggunakan Al-Maidah, yang bilang enggak boleh pilih gubernur dan segala macam,” kata Ahok.
Isi kampanye hitam lewat selebaran itu memuat bahwa gempa di Bangka-Belitung terjadi sebagai “peringatan” masyarakat karena memilih Ahok. Ia mengatakan, selebaran itu memuat ayat Al-Maidah sebagai alat untuk meyakinkan warga tidak memilih Ahok.
Menurut Ahok, gempa itu adalah murni kejadian alam. Ia mengajak masyarakat agar melihat kejadian alam tidak dikaitkan dengan agama. Mantan Bupati Belitung Timur (2005-2006) ini justru menilai warga yang meninggal dalam gempa diberi kebaikan untuk tidak berbuat jahat lagi di masa depan.
“Mungkin mereka jauh lebih baik diizinkan Tuhan kembali lebih cepat, kita yang lebih jahat dikasih umur lebih panjang. Jadi jangan dibalik-balik,” kata Ahok.
Ahok menjawab soal pembantunya yang disinggung simpatisannya. Ia merasa sudah seharusnya memperlakukan pembantunya sebagai manusia.
“Kita pikir pembantu, bukan budak,” kata Ahok.
Ia beralasan, pembantu perlu istirahat dan bekerja nyaman agar mereka tetap bekerja optimal. Ia khawatir pembantunya sakit atau tidak nyaman beristirahat karena kepanasan. Karena itu, Ahok memasang penyejuk ruangan dan televisi di kamar pembantu.
Asal Omong dan Teguran dari Mega
Di Rumah Lembang, Ahok tetap setia menyapa orang-orang yang mendukungnya. Ia melakukan dialog dengan gaya yang kini lebih kalem dan tidak meledak-ledak seperti dulu. Namun, perubahan sikap baru terasa setelah adanya demo besar menuntut proses hukum atas Ahok.
Saat ditetapkan sebagai tersangka, Ahok memang menyatakan ikhlas. Ia juga meminta para pendukungnya “menerima dengan ikhlas.”
“Saya yakin polisi bekerja profesional dalam menetapkan. Saya ingatkan ini bukan akhir,” ujarnya pada 16 November 2016.
Namun,saat itu, Ahok memang masih berceloteh semau gue. Dia berkata ingin mengajukan pra-peradilan, tanpa ada koordinasi dengan tim sukses.
“Supaya bisa langsung live,” katanya di Rumah Lembang.
Eosk harinya, 17 November 2016, Ahok masih berkelakar tentang status penetapan tersangka. Ia mengisahkan obrolan dengan anak-anaknya.
“Anak saya ngomong, ‘Pak, di kampus, banyak tanya ke saya, kenapa Papamu jadi tersangka, bagaimana perasaan kamu? Saya bilang kepada merea, ‘Kalian harus bangga kalau ada temanmu yang bully, kamu harus bilang bangga Papa tersangka bukan karena Papa koruptor.’”
Sorenya, saat blusukan di Pondok Kopi, Jakarta Timur, Ahok berkata ceplas-ceplos saat mengetahui ada sekelompok orang yang menolak kampanyenya.
“Kalau berani nyerang ke sini. Kita lihat saja,” katanya.
Ia juga masih doyan menyinggung sejumlah isu. Sebut saja kisah Ahok yang omong tentang ‘lebaran kuda’. Istilah ini jadi bahasa politik gara-gara mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ayah dari Agus kandidat gubenur Jakarta urutan pertama, ini berkata menjelang aksi massa anti-Ahok, awal November 2016: “Kalau tuntutannya tidak didengar, sampai lebaran kuda tetap ada demonstrasi unjuk rasa.”
Seketika sebutan ‘lebaran kuda’ disinggung Ahok saat berdialog di Rumah Lembang. “Aku tidak pernah ngomong ‘lebaran kuda’, ya. Yang ngomong ‘Pak Prihatin’. Ini saya dapat dari yang suka ngomong, ‘Saya prihatin,’” kata Ahok disambut tawa simpatisan.
Padahal Ahok sudah diminta oleh ketua umum PDIP Megawati Sukarnoputri untuk tidak berbicara banyak kepada publik. Seusai berkunjung bersama sejumlah calon kepala daerah ke makam Sukarno di Blitar, Oktober 2016, Megawati sempat menyinggung ucapan-ucapan Ahok.
“Banyak orang memberikan sentimen emosional, untuk mengatakan Pak Ahok itu mulutnya agak kelewatan. Lalu saya bilang, ‘Sampai ke level presiden, saya bilang ke Pak Jokowi, kalau Pak Ahok mulutnya tidak begitu, dia bukan orang Bangka,” ujarnya seperti dikutip dari Antara.
Megawati meminta Ahok untuk tidak asal berbicara, terutama kepada wartawan. Ia menilai, wartawan bisa saja menciptakan pemberitaan negatif akibat pernyataan ceplas-ceplos Ahok.
“Saya bilang ke Pak Ahok, kalau ada doorstop tidak usah ngomong, karena itu titipan dari wartawan-wartawan yang ada.”
Perubahan Ahok Jelang Sidang
Menjelang persidangan perdana, Ahok terlihat lebih mudah menahan diri. Ia tidak asal terbawa emosi dalam menjelaskan sesuatu kepada setiap orang, terutama kepada warga.
Saat konferensi pers usai bertemu dengan warga. Ahok mulai mengurangi gaya cuap-cuap yang blakblakan. Ia memilih untuk irit kata saat disinggung masalah rencana anggaran belanja tahunan Jakarta 2017 yang diubah oleh pelaksana tugas (Plt) gubernur Jakarta Sumarsono selama dia cuti. Meski berkata “ada temuan mark-up” dalam belanja anggaran itu, ia sudi mengerem diri.
“Saya enggak mau berdebat dengan Plt, karena kekuasaan Plt sekarang sama kayak gubernur,” kata Ahok.
Senada pula saat ia membahas kehadiran kembali bus Transjakarta merek Zhong Tong asal Tiongkok. Kendati non-aktif, Ahok masih bisa menjelaskan dengan rinci kedatangan kembali bus itu, yang disebutnya dari pembelian Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta di masa lalu yang belum rampung.
Yang kentara adalah Ahok lebih memilih enggan membahas panjang-lebar mengenai sidang pidana yang akan dijalaninya. Ahok mengatakan bahwa masalah sidang dugaan penisataan agama sudah ia diserahkan kepada adik perempuannya. Ia sungkan bicara soal kemungkinan terlepas dari jeratan hukum maupun masalah intervensi. Meski begitu, sekali waktu Ahok ingin sidang yang mengadilinya seperti sidang kasus “kopi sianida” Jessica Kumala Wongso.
“Biar adil,” katanya.
Di Rumah Lembang, usai berdialog, Ahok berfoto dengan para pendukung. Ustad, pendeta, hingga atlet hadir dalam jumpa foto itu. Tak sedikit di antara mereka menilai ada perubahan dari Ahok selama bertemu di Rumah Lembang.
Ustad Rizal (32), misalnya, menilai Ahok ketika bicara sudah “lebih sopan, halus, dan lebih menjaga diri.” Ia optimis karakter Ahok yang muncul saat ini bisa meningkatkan tingkat keterpilihan si kandidat dan bisa memenangkan Pilkada Jakarta pada Februari 2017.
“Saya sangat yakin sekali. Soalnya sebelum ada kasus sidang, semua orang setuju kerja beliau tidak bisa dipungkiri hasilnya,” kata Rizal.
Hal senada diungkapkan pendeta Elia (36), yang melihat jagoannya mulai bertutur dengan baik saat berbicara kepada publik.
Segera setelah konferensi pers, Ahok langsung memasuki ruang pertemuan para tim sukses. Kemudian, pukul 12.05, ia pergi. Ia akan mendatangi dokter gigi seperti biasanya. Tetapi ia juga mulai menjalani rutinitas tambahan: melihat dirinya di kursi terdakwa, menjalani proses pidana, menemui kemungkinan dihukum atau bebas, disaksikan banyak orang dan wartawan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fahri Salam