Menuju konten utama

Setelah Semua Kritik, Adakah Peluang Melengserkan Firli Bahuri?

Masyarakat sipil yang dulu jadi komponen penting pembentukan KPK kini diabaikan. Pihak yang pernah jadi momok malah kini berkuasa.

Setelah Semua Kritik, Adakah Peluang Melengserkan Firli Bahuri?
Ketua KPK Firli Bahuri bersiap menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz

tirto.id - Para perancang konsep lembaga antirasuah sejak awal menganggap polisi adalah momok yang dapat merusak independensi, dan karenanya sebisa mungkin menghindari mereka terlibat. Kini momok tersebut justru bercokol di puncak pimpinan dengan dipilihnya Firli Bahuri pada 2019.

Penjelasan kalimat pertama paragraf di muka dapat dirunut bahkan sejak Orde Baru.

Jatuhnya Soeharto membuka ruang diskusi soal pemerintahan yang bersih. Mahasiswa yang baru lulus kuliah dan beberapa profesional berdialog mencari cara menghapuskan korupsi yang telah lama menggerogoti pemerintahan maupun sektor swasta. Di antaranya Sudirman Said, kelak menjadi menteri energi periode pertama Joko Widodo, pengacara Chandra Hamzah, dan Lubis Ganie Surowidjojo yang juga pengacara.

Diskusi-diskusi kecil itu kemudian menyeret nama Erry Riyana Hardjapamekas, pengusaha yang menjabat Direktur Utama PT Timah. Dalam buku yang ditulis Arin Swandari, Cisya Satwika, dan Lilyani Harsulistyati berjudul KPK: Berdiri Untuk Negeri (2019) Sudirman, dkk. menganggap “Erry adalah pemimpin yang kelihatan berbeda dari kebanyakan petinggi perusahaan negara saat itu.”

Singkat cerita, kelompok diskusi ini berkembang. Pesertanya makin ramai dan pembahasannya kian serius. Erry Riyana bergabung, juga jurnalis Sabam Siagian, mantan Ketua HMI Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Sri Mulyani Indrawati yang kelak menjabat menteri keuangan di dua presiden berbeda.

Pada 10 Agustus 1998, kelompok ini kemudian dilembagakan dengan nama Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), organisasi independen yang punya visi “mendorong sistem integritas nasional dengan mendorong praktik-praktik yang bersih dan sehat di bidang bisnis, pemerintahan, dan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.”

Diskusi intensif tersebut lantas menelurkan konsep tentang Badan Independen Anti Korupsi (BIAK). MTI mendesak partai-partai politik di DPR untuk menyetujui pembentukan lembaga tersebut tersebut, yang kelak diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam perkembangannya, lembaga swadaya masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) ikut dalam barisan dengan turut serta menyebarluaskan gagasan ini.

Ketika Tim Persiapan Pembentukan KPK dibentuk, Romli Atmasasmita diangkat menjadi ketua tim. Di bawahnya bergabung individu yang aktif dalam MTI seperti Chandra, Erry, dan Hamid Chalid. Selain itu ada juga Teten Masduki yang menjabat Ketua ICW, kelak sebentar mencicipi jabatan Kepala Staf Kepresidenan.

Romli yang diwawancara Arin, dkk. pada 2017 lalu mengingat betapa peliknya pembahasan RUU KPK, terutama dalam hal tugas dan kewenangan. Ia merasa aparat penegak hukum lama seperti Polri dan Kejaksaan potensial melemahkan lembaga ini, dan karenanya dia mengatakan KPK harus independen.

Romli tegas menyatakan demikian karena sejak 1960-an upaya pemberantasan korupsi mengalami kegagalan “karena independensinya yang tidak ada, dan tanggung jawabnya kepada presiden, bukan kepada rakyat.”

Orde Baru yang sangat korup itu punya Tim Penegakan Korupsi, dibentuk pada 1967 oleh Soeharto. Tiga tahun kemudian Soeharto menjamin pemerintahannya telah berjalan bersih dari korupsi sekecil apa pun. Ketika itu dia bahkan bilang kalau masih ada korupsi, “biarlah rakyat menggantung saya,” seperti dicatat Historia mengutip mingguan Mahasiswa Indonesia, 16 Agustus 1970.

Tapi TPK ini sebenarnya coreng-moreng dan tak mampu menyelesaikan delapan kasus besar yang menjadi tugasnya. Mereka melempem ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan penguasa.

Romli tak mau berakhir sama, karenanya dia mengatakan KPK “akan [me]milih sendiri penyidik dan penuntut.”

Namun usulan ini ditolak aparat karena “penuntut itu di mana-mana jaksa.”

Akhirnya muncul skema jalan tengah: siapa pun yang diperbantukan dari Polri dan Kejaksaan harus diberhentikan sementara selama bertugas di KPK.

Sampai sini dapat dilihat bahwa gagasan awal lembaga antikorupsi berasal dari masyarakat sipil. Selain itu desakan dari kelompok sipil juga sangat berpengaruh sehingga KPK benar-benar terbentuk. “Dukungan masyarakat yang lebih luas, sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi,” catat Arin, dkk.

Waktu berlaku dan situasi berubah. Jika pada awal Reformasi kelompok sipil di dalam KPK kuat dan LSM seperti ICW sampai TII mendukung mati-matian, kiwari sebagian besar pegiat antikorupsi sudah tidak percaya dengan KPK dan ingin menggulingkan Firli Bahuri. Ia dianggap terlibat langsung dalam pelemahan KPK, yang manuver terakhirnya adalah memecat para penyidik yang 'vokal'.

Bergantung pada Dewas dan Polri

Dalam UU tentang KPK Nomor 19 Tahun 2019, ada tujuh sebab pimpinan KPK bisa diberhentikan: meninggal dunia, masa jabatan berakhir, melakukan perbuatan tercela, menjadi terdakwa tindak kejahatan, berhalangan tetap atau lebih dari 3 bulan tidak melaksanakan tugas, mengundurkan diri, atau disanksi. Pemberhentian ini hanya bisa diputuskan melalui Keputusan Presiden.

Pada diskusi bertajuk 'Menelisik Makna Perbuatan Tercela dan Alasan Hukum Pemberhentian Ketua KPK', Jumat (25/6/2021) lalu, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan salah satu yang bisa membuat Firli diberhentikan adalah 'perbuatan tercela'. Dua lagi adalah penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melanggar hukum pidana atau perdata.

Tiga tahun lalu Firli kedapatan melanggar kode etik berat ketika menemui Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB), ketika itu sedang terkait dengan kasus yang sedang diselidiki KPK. Firli memang tidak dikenakan sanksi; ketika hasil penyelidikan keluar ia sudah kembali ke Polri.

Firli kemudian melakukan pelanggaran etik lain saat menjabat Ketua KPK pada 2020. Dia melakukan perjalanan memakai helikopter untuk ziarah ke makam orang tuanya. Firli divonis melanggar kode etik KPK karena bergaya hidup mewah.

Sekarang Firli kembali diperkarakan oleh kelompok masyarakat sipil karena berusaha menyingkirkan penyidik-penyidik kompeten melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Sebanyak 75 karyawan yang tidak lolos sudah melapor ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Sampai tulisan diterbitkan, hasil penelusuran Dewas KPK belum keluar.

Lalu cukupkah pelanggaran etik untuk membuat Firli diturunkan?

Zainal mengatakan implementasinya tidak semudah itu. Selama ini perbuatan tercela kebanyakan “dilekatkan pada perbuatan asusila”. Hal lain misalnya terkait narkotika. Sedangkan dalam UU 19/2019, perbuatan tercela punya definisi karet seperti “perbuatan yang dapat merendahkan martabat KPK.” Pelanggaran etik berat saja tidak bisa serta-merta membuat Firli disimpulkan melakukan perbuatan tercela.

Sedangkan dalam kasus lain seperti pilkada, tidak bisa melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bahkan dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Akibatnya, definisi perbuatan tercela tetap buram karena residivis sekalipun bisa mendapatkan SKCK.

Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Hufron menyebut tidak dapat menemukan definisi pasti dari “perbuatan tercela.” Perbuatan pidana termasuk, tapi juga “perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma moral, dan norma adat lainnya.” Frasa ini menjadi multitafsir. Oleh karena itu dalam penelitian Perbuatan Tercela Sebagai Alasan Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden (2016), Hufron menyarankan ketentuan “perbuatan tercela” yang dapat menjadi penyebab pemakzulan “patut dipertimbangkan untuk dihapuskan.”

Zainul pun ragu Dewan Pengawas KPK bisa menggunakan alasan “perbuatan tercela” ini untuk menjerat Firli yang punya catatan pelanggaran beruntun. “Saya melihat ada ketergantungan besar kepada keberanian Dewan Pengawas karena memang perbuatan tercela ini tidak letterlijk disebutkan dalam undang-undang,” kata Zainul.

Menjatuhkan pimpinan KPK sebenarnya bukan hal mustahil. Berkaca dari masa lalu, kuncinya ada pada satu institusi: Polri.

Cerita ini dimulai pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika Ketua KPK saat itu, Antasari Azhar, menjadi tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Meski publik curiga ada kriminalisasi pada pemimpin KPK, Polri tetap menetapkan Antasari menjadi tersangka dan dia divonis penjara pada 2010.

Masih di 2009, Polri menetapkan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan wewenang penerbitan dan pencabutan cegah-tangkal koruptor Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra bepergian ke luar negeri. Mereka juga diduga menerima suap dari adik Anggoro, Anggodo Widjojo. Dua orang itu akhirnya diberhentikan sementara juga oleh SBY.

Tim Independen Verifikasi dan Proses Hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah atau disebut juga Tim Delapan yang diketuai Adnan Buyung Nasution tidak menemukan bukti cukup terkait suap yang dilakukan. Sampai sekarang, Polri tidak bisa menemukan orang bernama Yulianto yang dikatakan menjadi perantara pemberi suap pada pemimpin KPK.

Justru kemudian rekaman telepon antara Anggodo dan orang dari Polri dan Kejaksaan berhasil didapatkan KPK dan diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan rekaman tersebut, Anggodo ditahan KPK, tapi anggota Polri dan Kejaksaan yang diduga dalam rekaman tidak diketahui sampai sekarang.

“Mereka [Anggodo dan aparat penegak hukum] menyusun rencana untuk membuat Bibit-Chandra jadi tersangka,” catat Bibit dan Nurlis E Meuko dalam buku Koruptor Go to Hell! Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia (2009).

Beralih ke pemerintahan Jokowi pada 2015, kini giliran Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Samad karena dugaan pemalsuan dokumen, sedang BW tersangkut masalah saksi palsu. Dua kasus dalam dua kepemimpinan ini berakhir sama: deponeering. Jaksa Agung mengesampingkan dua kasus tersebut.

Masih pada tahun yang sama, pimpinan KPK Adnan Pandu Praja dan Zulkarnaen dilaporkan ke polisi dalam rentetan peristiwa Cicak vs Buaya jilid III. Setelah mereda, Wakil Ketua KPK yang lain, Johan Budi dan Chandra Hamzah, juga dilaporkan ke polisi. Dua nama terakhir diadukan dengan Pasal 36 UU KPK Nomor 30 Tahun 2002.

Petikan pasal 36: Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.

Dengan pasal ini, kembali ke Firli, ia bisa saja terancam pidana dengan hukuman sampai dengan lima tahun penjara. Namun, selain karena aduan ini terlambat, hal ini juga sulit karena pelaporan dan penetapan tersangka hanya bisa diproses oleh satu institusi: Polri, yang tidak lain 'rumah' Firli sebelum KPK.

ICW sudah berusaha mengadukan Firli dengan dasar hukum lain, yakni Pasal 12A UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait gratifikasi vis-à-vis penggunaan helikopter ke Bareskrim Polri. Tapi Polri memilih mengabaikan aduan tersebut. “Jangan tarik-tarik Polri,” kata Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto.

Peneliti ICW Lalola Easter menanggapi sinis sikap itu. “Ketika ada upaya untuk melaporkan ke kepolisian itu sendiri, respons dari Polri cenderung dismissive.

Utak-atik Selamatkan Penyidik

Faktor lain yang membuat keinginan masyarakat sipil mendongkel Firli Bahuri adalah aturan Polri yang memungkinkan mereka 'menyelamatkan' anggota yang bermasalah di KPK. Untuk itu kita mengulas kembali dua peristiwa.

Penyidik Roland Ronaldy dan Harun merusak buku merah–barang bukti yang memuat aliran uang dari pengusaha Basuki Hariman yang menjadi pelaku suap kasus uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 2017. Dalam barang bukti itu ada keterangan soal aliran uang ke rekening Tito Karnavian yang saat dokumen dirusak menjabat Kapolri.

Dulu Dewan Pengawas belum ada. Penyelidikan terhadap Harun dan Roland dilakukan oleh Direktorat Pengawas Internal KPK. Ketika penyelidikan belum tuntas, keduanya ditarik ke Polri dengan alasan mereka dibutuhkan oleh Mabes Polri dan masa baktinya di KPK sudah usai. Gara-gara itu, penyelidikan KPK terhadap keduanya menguap begitu saja.

Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi (PDF) yang keluar pada masa pemerintahan SBY, mereka yang diperbantukan dari Polri bisa bertahan sampai 10 tahun dengan dua kali perpanjangan.

Menurut aturan ini, KPK dapat mengembalikan anggota dari Polri “berdasarkan evaluasi, pertimbangan, dan persetujuan pimpinan komisi dan pimpinan instansi asal.” Polri juga boleh menarik anggota dengan syarat “setelah empat tahun melaksanakan tugas” dan punya tujuan “pembinaan karier” atau “semua tugas dan tanggung jawab pekerjaannya telah diselesaikan.” Penarikan ini juga harus disepakati oleh KPK dan Polri enam bulan sebelum masa pengabdian atau perpanjangan berakhir.

Masalahnya, aturan ini tidak kuat; tidak ada sanksi pidana atau administratif. Alhasil, pelaksanaannya sering longgar.

Dalam kasus Harun dan Ronald, mereka belum genap bekerja delapan tahun dan sedang terlibat pemeriksaan internal, yang berarti bisa saja tanggung jawabnya belum tuntas, tapi mereka tetap ditarik Polri.

Penarikan ini terjadi lagi pada 2019 terhadap Firli, setelah setahun sebelumnya menemui TGB. Ketika itu Firli yang menjabat Deputi Penindakan baru 14 bulan mengabdi di KPK. Alasannya karena Firli mau diberikan jabatan baru. Lagi-lagi, penarikan terjadi ketika penyelidikan dugaan pelanggaran etik tengah berjalan.

Di penghujung tahun yang sama, Firli ditetapkan KPK melakukan pelanggaran etik berat tapi sanksi tak bisa dijatuhkan dan ia malah sudah terpilih sebagai Ketua KPK periode berikutnya.

Infografik HL Indepth Inaleaks KPK

Infografik HL Indepth Skandal Etik & Sikap Lembek Pimpinan KPK. tirto.id

Mantan Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala berpendapat selain aturan dalam PP ini memang tidak kaku, Polri sendiri punya Perkap Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi yang menyatakan eksplisit bahwa waktu bantuan bersifat fleksibel. Akhirnya praktik di lapangan pun demikian.

Adrianus tidak heran jika akhirnya ada anggapan penarikan ini digunakan untuk menyelamatkan anggota yang tengah bermasalah di KPK. “Menyembunyikan atau menutupi [kasus] mungkin saja. Maka kemudian ketika dia ditarik (Harun dan Ronald) maka ada missing link,” kata Adrianus kepada Tirto, Sabtu (26/6/2021).

Solusi yang ditawarkan Adrianus adalah, anggota yang diperbantukan dan sudah senior seharusnya menjadi staf tetap KPK. “Tapi kadang mereka (Polri) tidak mau. Makanya dipakai sedemikian rupa,” lanjut Adrianus.

Sayangnya kerumitan ini juga disetujui oleh internal KPK periode 2014-2019. Penarikan Firli tidak pernah diprotes oleh satu pun komisioner, setidaknya demikian yang terpantau di media massa. Padahal, berdasar aturan yang ada, mereka tidak bisa kembali ke institusi asal tanpa ada persetujuan atau perbicangan dengan komisioner terlebih dahulu.

Ketika Firli kembali ke KPK sebagai pimpinan, maka protes dan putusan pelanggaran etik berat dari komisioner terdahulu tentu sudah tidak berarti, termasuk juga pengaduan pasal 36 yang seharusnya bisa menjerat Firli dengan pidana penjara.

Baca juga artikel terkait FIRLI BAHURI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino