Menuju konten utama

Sengkarut Lahan di Cikopo: Antara TNI AU dan Warga

Lahan di Cikopo, Jawa Barat, jadi rebutan antara warga dan TNI Angkatan Udara. Masing-masing mengklaim paling berhak memiliki tanah.

Sengkarut Lahan di Cikopo: Antara TNI AU dan Warga
seorang warga melampiaskan emosinya kepada seorang prajurit tni ad yang merekam berlangsungnya pembebasan asrama batalyon siliwangi (bs) di cililitan, jakarta timur, kamis (8/1). kodam jaya dibantu polisi dan satpol pp menerjunkan ribuan personel untuk membebaskan asrama itu yang selanjutnya akan dibangun perumahan prajurit aktif. antara foto/widodo s. jusuf/rei/pd/15.

tirto.id - Bukan hal aneh di Indonesia kalau ada satu bidang tanah diperebutkan oleh dua pihak atau bahkan lebih, dengan dasar hukumnya masing-masing. Tak jarang, pihak yang saling berebut lahan itu adalah sipil dan militer.

Yang paling anyar adalah kasus sengketa lahan di Cikopo, Purwakarta, Jawa Barat. Saling klaim antar warga dan TNI memunculkan pertanyaan: siapa yang sebetulnya berhak dengan tanah itu dan bagaimana awalnya konflik bisa terjadi?

Ahad (22/4) kemarin, tersebar informasi lewat pesan berantai bahwa warga Cikopo digusur oleh TNI Angkatan Udara. Namun, kejadian itu tidak ada. Yang terjadi adalah polisi--bukan tentara--yang mendatangi warga. Itu pun bukan menggusur.

Pihak yang mendatangi warga adalah polisi, diwakili oleh Kanit IV Subdit Tindak Pidana Tertentu AKP Budi. Polisi datang karena TNI mengadukan adanya penyerobotan lahan negara yang dilakukan oleh warga. Namun, ketika ditanya warga apakah ada laporan polisi (LP) yang jadi bukti kalau warga memang digugat, Budi tak bisa menunjukkan. Ia berdalih kalau itu memang belum perlu.

Budi menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan ketika itu adalah pemeriksaan awal perkara yang memang tak butuh LP. Dan itu adalah hal yang lazim dilakukan. Bila masalahnya adalah sengketa, petugas harus memastikan lokasi yang jadi wilayah konflik.

"Sifatnya 'kan hanya memeriksa, laporan sambil ditangani petugas piket di kantor. Ini bukan datang dalam ranah penyidikan," katanya saat dikonfirmasi, Senin (23/4/2018).

Rencana penggusuran pertama kali terdengar warga saat beredar surat tertanggal 23 Maret 2018 yang ditandatangani oleh Ketua Tim Aset Pangkalan TNI AU Suryadarma, Kolonel Budhi Arifa Chaniago. Surat ini ditujukan kepada tujuh kepala keluarga di Desa Cikopo. TNI AU mengklaim tanah tersebut kepunyaan mereka.

Dalam surat itu, TNI AU menegaskan akan mengalihfungsikan lahan seluas 16,96 hektare tersebut menjadi helipad dan dropping zone (daerah penurunan pasukan untuk pasukan penerjun). Warga diharuskan mengosongkan lahan paling lambat hari Minggu (22/4/2018).

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Marsekal Muda Jemi Trisonjaya, mengklaim bahwa mereka memegang dokumen legalitas tanah. Menurutnya, keputusan untuk "mengaktifkan kembali" lahan tersebut adalah karena oknum telah menjadikannya lahan bisnis.

Jemi juga mengaku sudah melakukan sosialisasi kepada warga terkait pengosongan.

"Para perwakilan keluarga tersebut merespon dengan tidak ada keberatan," kata Jemi dalam keterangan tertulisnya.

Jemi membenarkan kalau di satu sisi memang ada surat nomor KEP/B/28/VII/1974 yang jadi dasar warga menempati lahan. Dalam surat yang dikeluarkan oleh Jenderal TNI M. Panggabean (Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia ke-15 periode 1971-1978) tersebut, disebutkan kalau tanah diizinkan jadi lokasi pemukiman bagi para purnawirawan TNI dalam cakupan rencana strategi (Renstra) tahun 1974-1978.

Namun, Jemi menilai tanah tersebut dapat sewaktu-waktu dikosongkan bila TNI AU memintanya kembali. Dan kini waktu itu telah datang.

Penolakan Warga

Klaim Jemi soal "tidak ada keberatan" dari warga dibantah mentah-mentah oleh salah satu cucu purnawirawan yang pernah tinggal di Cikopo, Army Mulyanto. Army, yang juga salah satu anggota tim advokasi warga Cikopo, mengaku seluruh kepala keluarga menentang penggusuran.

"Kalau dibilang tidak ada keberatan, itu deskripsinya bagaimana?" kata Army kepada Tirto.

Meski seluruh purnawirawan TNI yang diberi hak tinggal telah meninggal, Army merasa keluarga purnawirawan tetap boleh bertahan di sana. Selain surat Panggabean tahun 1974, ada keputusan tambahan yang harus dilihat oleh TNI AU.

Tahun 1975, Panglima Komando Daerah Udara V TNI AU, Marsekal Muda Sukardi, mengeluarkan surat perintah operasi nomor KODAU V/04/1/30/ASLOG yang mengatur proyek permukiman Kodau V di beberapa daerah, termasuk di "sekitar daerah Kalijati" menurut bagian latar belakang surat keputusan.

"… Terdapat beberapa bidang tanah yang dapat dimanfaatkan untuk tempat-tempat permukiman para anggota TNI AU yang sudah menjalani MPP/pensiun… Landasan yang berada di bawah penguasaan TNI-AU yang secara operasioniil sudah tidak dipergunakan lagi seperti Langen, Gorda, Bekasi dan bidang-bidang tanah lainnya di sekitar daerah Kalijati, Atang Senjaya dan sekitar Kota Serang."

"Di sekitar Kalijati," ditafsirkan Army sebagai daerah Gandaria, Cileunca, termasuk Cikopo.

Surat keputusan KODAU yang dikeluarkan pada 1975 ini yang jadi alasan utama Army dan warga sekitar tetap bertahan.

"Sebaiknya, Dinas Penerangan TNI AU baca surat Pangkodau V dulu, deh," sarannya.

Dalam surat keputusan itu, tanah memang masih diklaim milik pemerintah atau TNI AU. Namun, diputuskan pula bahwa TNI AU harus membikin sertifikat hak milik bagi purnawirawan. Sertifikat tersebut akan keluar setelah masa tenggang, yaitu ketika akte tanah dan rumah sudah diproses jadi hak milik. Purnawirawan juga tidak boleh "memperjualbelikan/memindahkan hak atas tanah dan rumah tersebut kepada pihak lain." Dan itu mereka lakukan.

Masalahnya, sertifikat tak kunjung keluar bahkan ketika para tentara ini meninggal.

Sedangkan dalam surat komando yang dikeluarkan Marsekal Muda TNI, Panglima Komando Daerah Udara V, Sutoto, Juli 1977, barulah ada izin bagi 8 purnawirawan TNI untuk menempati tanah di daerah Cikopo. Untuk aturan lebih detil tentang kepemilikan tanah dan rumah di Cikopo, Army tidak bisa menemukannya.

"Tanya itu ke TNI AU," katanya ketika ditanya kenapa bukti kepemilikan bisa tidak ditemukan. "Mereka [TNI AU] 'kan yang menyembunyikan. Justru itu yang harus ditanya, di mana suratnya? Mereka menutup-nutupi. Padahal 'kan ada buktinya purnawirawan TNI itu diberi kuasa tinggal di sana [Cikopo]," ujarnya.

Infografik current issue penggusuran oleh tni

Selain soal penerimaan warga atas putusan penggusuran, Army juga membantah klaim TNI AU yang menyebut kalau lahan itu dipakai oknum untuk mengeruk keuntungan. Apa yang dilakukan warga, katanya, sebatas meminta uang bagi tiap truk galian yang lewat.

"Untuk biaya perbaikan jalan juga," katanya.

Selesaikan Lewat Jalur Hukum

Army sebetulnya lebih suka jika kasus diselesaikan lewat jalur hukum. Ia mengatakan kalau memang TNI AU merasa berhak atas tanah tersebut, maka sebaiknya mereka menggugat lewat mekanisme pengadilan, bukan main gusur.

"Kami akan patuhi putusan itu [putusan pengadilan]. Kalau disuruh bayar kami bayar, kalau disuruh angkat kaki, tidak usah disuruh, saya akan kawal warga pergi dari sana," katanya.

Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), organisasi yang kerap bersinggungan dengan konflik-konflik lahan, mengatakan hal serupa. Menurutnya, kasus ini memang idealnya diselesaikan lewat jalur hukum.

Iwan menjelaskan bahwa ada tiga jenis tanah dinas: rumah jabatan, rumah prajurit, rumah milik. Rumah jabatan diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai jabatan tertentu dan berdinas di daerah tertentu tanpa tempat tinggal, sementara rumah prajurit adalah rumah yang sifatnya sementara. Rumah ini ditempati selama prajurit itu bertugas di daerah tersebut.

"Nah yang ketiga, rumah-rumah itu bisa [ditetapkan lewat] surat Kemenkeu dan pemilik rumah harus mencicil untuk kepemilikannya. Makanya, harusnya mereka mendapatkan sertifikat," tegasnya.

Menurut Iwan, aturan yang menyebut kalau "rumah tidak boleh dialihkan ke pihak lain" tidak berlaku bagi anggota keluarga sendiri sebab rumah itu sama saja dengan hak waris. Rumah akan diberikan kepada keluarga ketika pemegang hak meninggal dunia. Apa yang terjadi dalam kasus ini, sebagaimana konflik lahan di tempat lain, menurut Iwan dikarenakan "tidak rapinya penataan administratif di masa lalu."

"Makanya tinggal ke pengadilan saja. Apakah warga nanti bakal membayar, atau TNI AU yang kembali mendapat tanahnya," katanya.

Namun, upaya ini tidak digubris, ketika berita ini ditulis, Senin sore, TNI AU baru saja melakukan penggusuran. Harta benda milik warga dibiarkan terlantar di luar rumah.

"Ini kami pasrah saja terlantar di halaman rumah," kata Army, kuasa hukum warga.

Baca juga artikel terkait PENGGUSURAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani