Menuju konten utama

Selamat Jalan Ki Enthus Susmono, Dalang Edan Penentang Zaman

Wayang dan keberanian. Dua warisan Enthus Susmono.

Selamat Jalan Ki Enthus Susmono, Dalang Edan Penentang Zaman
Dalang Ki Enthus Susmono mendapatkan wayang Gatot Kaca dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam tasyakuran hari lahir ke-19 PKB di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (22/7). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Indonesia kehilangan salah satu seniman besarnya. Dalang sekaligus Bupati Tegal non-aktif, Enthus Susmono, meninggal dunia pada Senin (14/5) kemarin malam di RSUD Soeselo, Slawi.

“Iya betul, mas. Tadi jam 19.15,” kata Wakil Ketua DPC PKB Tegal, Fathuri Nurzen, saat dihubungi Tirto.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Enthus berencana akan menghadiri acara pengajian di Desa Argatawang, Kecamatan Jatinegara. Sebelum berangkat, ia sempat bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat di Desa Kajenengan, Kecamatan Bojong. Di tengah perjalanan, Enthus merasakan nyeri di dada, mual, hingga berujung tidak sadarkan diri.

Enthus pun segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Di sana, tim medis segera melakukan pertolongan pertama pada Enthus. Tapi, hasilnya nihil: ia masih juga tidak sadarkan diri.

Tak lama kemudian, Enthus dibawa ke RSUD Soeselo. Namun, upaya penanganan dari pihak rumah sakit tidak membuahkan hasil. Enthus dinyatakan meninggal dunia akibat serangan jantung.

Bahagia dengan Wayang

Enthus lahir di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal pada 21 Juni 1966. Ia anak tunggal dari pasangan Soemarjadihardja dan Tarminah. Sejak kecil, hidup Enthus tak bisa dilepaskan dari wayang mengingat ia tumbuh di keluarga seniman. Ayahnya dalang wayang golek, sementara kakek buyutnya, R.M. Singadimedja, adalah dalang yang kondang di era kekuasaan Amangkurat Mataram.

Kendati tumbuh di keluarga seniman, Enthus tak serta merta diperbolehkan mengikuti jejak ayahnya menjadi dalang. Sang ayah pernah berpesan “Dadi dalang kuwi abot sanggane” (jadi dalang itu berat).

Pernyataan sang ayah didasari alasan bahwa pekerjaan mendalang tak otomatis membuat ekonomi keluarganya membaik. Berkaca dari hal tersebut, sang ayah lantas meminta Enthus fokus sekolah; syukur-syukur bisa sampai kuliah dan membawa titel sarjana.

Dasarnya Enthus ngeyel, ia tetap tertarik untuk terjun ke dunia pewayangan. Seringkali ia mencuri kesempatan berlatih wayang di kala ayahnya tidur pulas. Enthus juga rajin ikut ayahnya mentas dari satu panggung ke panggung lainnya. Mengamati lakon yang dibawakan ayahnya sampai menyimak teknik-teknik pedalangan dengan seksama.

Tak hanya itu saja, Enthus tak malu belajar dari para dalang senior macam Sugino Siswotjarito, Ki Gunawan Suwati, serta Ki Bonggol, di samping rutin mendengarkan rekaman kaset permainan Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, sampai Ki Manteb Sudarsono. Semua dilakukannya secara otodidak demi mewujudkan mimpinya jadi dalang.

Keterlibatannya di dunia pewayangan makin serius tatkala sang ayah wafat dan mewariskan tanggungan pementasan. Kondisi itu membuat Enthus mau tak mau menggantikan pekerjaan ayahnya.

Pada 1988, di usianya yang baru 22 tahun, Enthus memperoleh capaian yang mengesankan. Dalam lomba di Wonogiri yang diselenggarakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Enthus sukses menyabet juara satu sekaligus dalang favorit. Prestasi tersebut membuat namanya perlahan dikenal luas.

Publik mengenal Enthus sebagai dalang yang menolak tunduk pada zona nyaman. Ia jauh dari kesan dalang yang tampil kalem, jaga wibawa, serta menonjolkan citra adiluhung. Enthus, sebagaimana diketahui, adalah antitesis dari itu semua. Saat pentas, ia cenderung bermain slengean, dengan gayanya yang khas—blak-blakan.

Namun, justru itulah yang membuat Enthus mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ia dapat mengembangkan potensinya dengan maksimal. Meramu cerita secara kreatif, inovatif, dan begitu jeli menangkap fenomena maupun isu-isu terkini—HAM, narkoba, atau pemanasan global—untuk dijadikan landasan setiap lakon yang dibawakannya.

Walhasil, didukung eksplorasi artistik yang mumpuni, Enthus mengubah pertunjukan wayangnya jadi tak sebatas pementasan biasa. Ketika Anda menyaksikan Enthus bermain, Anda seperti melihat pertunjukan opera yang megah namun tetap membumi dengan guyonan liar yang membuat penonton tertawa ger-geran.

Singkat kata, Enthus adalah dalang, guru, penghibur yang mampu muncul dalam satu waktu bersamaan.

Jika karier Slamet Gundhono makin moncer selepas ia membikin wayang rumput, Enthus pun rupanya demikian. Sepak terjangnya kian trengginas saat ia berani menciptakan wayang-wayang yang terinspirasi tokoh populer seperti George Bush, Saddam Husein, Osama bin Laden, Harry Potter, sampai Batman. Wayang-wayang ini dibuat Enthus guna mendukung jalannya lakon yang ia susun serta menarik minat penonton yang berusia muda.

Ihwal hal ini, Enthus pernah berkata bahwa dunia wayang (atau dalang) harus senantiasa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ia tak boleh berdiri kaku pada bentuk yang konvensional. Sebaik-baiknya wayang adalah wayang yang tak sekalipun merasa alergi terhadap “sesuatu yang baru” serta selalu membuka ruang kemungkinan adanya perubahan demi perubahan yang kelak bisa bertahan di tengah pasang-surut waktu.

Atas kiprahnya tersebut, Enthus banyak diganjar penghargaan. Pada 2009, misalnya, wayang ciptaannya dipamerkan di Tropenmuseum, Belanda, dengan tajuk “Wayang Superstar: The Theatre World of Ki Enthus Susmono.” Lalu, setahun berselang, karyanya kembali menghiasi galeri internasional di Museum of International Folk Art, Sante Fe, Amerika.

Di dalam negeri sendiri, entah sudah berapa banyak penghargaan yang pernah ia dapatkan. Rekor MURI sebagai dalang dengan ciptaan wayang terbanyak, misalnya.

Infografik Ki enthus susmono bupati tegal

Wayang dan Islam Adalah Kunci

Selain wayang populer, nama Enthus juga dikenal wayang santri.

Wayang santri merupakan salah satu ragam wayang bikinan Enthus yang tak bertumpu pada pakem wayang purwa ataupun golek, berpijak pada cerita kehidupan Muslim sehari-hari, serta diiringi lantunan tembang dan musik qasidah.

Lewat wayang ini, pada dasarnya, Enthus hendak berdakwah. Namun, dakwah Enthus dibalut dengan dialog-dialog vulgar antar tokoh, lelucon frontal, dan kritik sosial-politik yang keras. Selain itu, melalui wayang santri, Enthus ingin membuat wayang sebagai tontonan dan tuntunan yang menarik serta menjangkau audiens baru yang mungkin sebelumnya tak mengenal wayang sama sekali.

Enthus pertama kali mementaskan wayang santri pada Agustus 2010. Tak dinyana, respons masyarakat begitu antusias. Tercatat, setelah debutnya, wayang santri sudah dimainkan sebanyak 173 kali. Menurut Sadiah Boonstra, kurator Tropenmuseum, dalam “Performing Islam” yang diterbitkan Inside Indonesia, wayang santri populer karena bisa dijangkau masyarakat.

Dengan tema lakon yang relevan, bahasan yang tidak ndakik-ndakik, hingga lelucon yang muncul bertubi-tubi, wayang santri seperti merepresentasikan rutinitas masyarakat sehari-hari, terutama di wilayah pesisir Pantura. Ada kegetiran, harapan, impian, bahkan sikap menertawakan hidup di balik setiap cerita yang dipentaskan.

Meski begitu, tidak semua pihak merasa senang dengan apa yang disajikan Enthus. Sebagian kelompok Islam berpendapat bahwa agama dan wayang merupakan dua hal yang berbeda dan terpisah, sehingga tidak bisa disatukan dalam satu wadah. Bahkan, pada 2010, ketidaksukaan tersebut diwujudkan oleh segelintir pihak tak bertanggungjawab dengan menyerang pementasan wayang di beberapa daerah di Jawa Tengah.

Tapi Enthus tak gentar. Baginya wayang dan Islam merupakan dua hal yang bisa berjalan beriringan. Dunia keduanya tak berbeda jauh serta dapat saling mendukung satu sama lain. Dengan wayang, Enthus yakin mampu menyebarkan pesan-pesan agama secara damai, ringan, jenaka, dan terpenting masyarakat luas menerimanya dengan terbuka. Wayang, catat Enthus, adalah alat dakwah yang tak memaksakan kehendak. Ia bergerak dengan sukacita serta niat yang tulus.

Enthus yang Politis

Di luar kerja-kerjanya sebagai dalang, Enthus nyatanya juga aktivis. Kontrol dan kritik sosialnya tak cuma ia suarakan dengan wayang, melainkan lewat aksi nyata. Enthus beberapa kali melakukan aksi protes terkait situasi politik di Tegal.

Pada 1998, bersamaan dengan robohnya rezim diktator Soeharto, Enthus yang kala itu menjadi pimpinan Kiret (Komite Reformasi Tegal), bersama dengan berbagai aliansi seperti FKMPT (Forum Komunikasi Mahasiswa dan Pemuda Tegal), dan KAMUR (Kesatuan Aksi Mahasiwa Untuk Reformasi) menuntut Walikota Tegal, HM Zakir, turun dari jabatannya karena dianggap korup.

Satu dekade kemudian, Enthus kembali bergabung dalam gelombang massa yang menolak kemenangan Agus Riyanto-Hery Soelistiyawan dalam pilkada Kabupaten Tegal. Enthus menilai pasangan tersebut telah menggelembungkan perolehan suara. Namun, Enthus justru ditangkap aparat dengan tuduhan menyulut provokasi massa. Pengadilan memutuskan Enthus bersalah dan memvonisnya dengan kurungan dua bulan.

Tak kapok menyuarakan sikap politiknya, pada 2013, Enthus maju dalam pilkada Kabupaten Tegal. Ia menggandeng Umi Azizah dan disokong Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Enthus pun menang. Ia terpilih jadi orang nomor satu di Tegal untuk masa jabatan 2014-2019.

Selama menjabat bupati, nilai-nilai yang kerap ia terapkan atau sampaikan dalam pertunjukan wayang, turut ia bawa saat mengelola pemerintahan. Enthus berkali-kali menegaskan bahwa pemerintahannya harus bersih dari korupsi hingga mengayomi rakyat. Di samping itu, ia juga sering mengeluarkan kebijakan nyentrik. Seperti ketika ia melantik pejabat-pejabatnya di kuburan.

Melihat Enthus adalah melihat manusia yang terus bergerak melintasi zaman dan teguh membawa prinsip hidupnya. Enthus merupakan cerminan seniman Indonesia yang luwes, cair, tegas, serta mampu melebur tembok tradisi yang kokoh. Ia adalah satu dari sekian petualang yang berlari di lintasan seni dan politik. Kreasi wayang, bisa dikata, hanya salah satu hasil manifestasi kehidupannya yang membentang panjang.

Dari semua itu, Enthus mengajarkan kita betapa pentingnya menjadi manusia yang berani.

Baca juga artikel terkait WAYANG atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Ivan Aulia Ahsan