tirto.id - Harimau Jawa yang dianggap telah punah sejak 1976 tiba-tiba bikin geger lagi. Sebuah foto dari Taman Nasional Ujung Kulon memperlihatkan seekor harimau — yang diduga harimau Jawa— sedang berjalan santai meninggalkan seekor banteng yang terkulai. Sang harimau baru saja merobohkan banteng itu.
Sekitar tiga abad lalu, populasi harimau Jawa masih cukup banyak di hutan-hutan. Paling tidak, catatan-catatan tentang perburuan harimau dalam arsip-arsip kolonial menggambarkan hal itu.
Harimau memang memiliki banyak makna bagi orang-orang Jawa. Dalam dunia semiotika tradisional mereka, harimau pernah dijadikan simbol tertentu bagi perlawanan Jawa terhadap Belanda. Salah satunya tergambar dalam rampogan, pertunjukan yang memanggungkan duel antara antara harimau Jawa melawan kerbau.
Ada kisah menarik tentang rampogan dalam fragmen sejarah kerajaan-kerajaan Jawa dari zaman Sultan Mangkubumi. Ia adalah pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejarah lebih mengenal raja ini sebagai Hamengku Buwana I.
Ketika mengunjungi keraton Yogyakarta pada 1783, Residen van Rhijn disambut dengan penuh persahabatan oleh Sultan. Beberapa bulan sebelum kedatangannya, terjadi insiden yang mengganggu hubungan Belanda dengan penguasa Yogyakarta itu.
Pada perayaan Grebeg Mulud bulan Februari 1783, seorang kapten dari kompi Dragoon VOC di Yogyakarta ditusuk pinggangnya oleh salah satu perwira Sultan. Kapten Belanda itu memang tidak mati, tapi ia terluka sangat parah. Sultan kemudian menyelidikinya dan menyatakan jika insiden tersebut hanya sebuah kecelakaan. Dia bahkan mengirim uang santunan kepada si kapten guna mengobati lukanya.
Uang tersebut ditolak sang kapten. Para pejabat VOC meyakini bahwa penusukan tersebut disengaja. Tidak hanya itu, dugaan juga berkembang bahwa insiden itu adalah konspirasi untuk menjatuhkan wibawa Belanda.
Demi menjaga hubungan baik, Sultan kemudian memutuskan menghukum mati si perwira. Van Rhijn malah mencegah dan memohon agar ia diampuni. Sultan pun menyanggupi. Dia memerintahkan si perwira meminta maaf kepada si kapten.
Untuk memulihkan persahabatan Sultan dengan van Rhijn, seperti dituturkan sejarawan Merle C. Ricklefs dalam Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java, diadakanlah pesta besar di keraton Yogyakarta. Residen datang dengan penuh persahabatan, meski masih menaruh syak wasangka kepada raja baru Yogyakarta itu. Ia belum percaya sepenuhnya kepada Mangkubumi karena pengalaman masa lalu saat Mangkubumi mengobarkan perlawanan.
Di depan istana, Sultan telah mempersiapkan tontonan besar: pertarungan harimau melawan kerbau. Orang-orang Belanda memang sudah familiar dengan suguhan yang digemari para penguasa Jawa dalam tari-tarian, gamelan, atau pertunjukan lain. Tapi pertarungan harimau melawan kerbau adalah sesuatu yang baru.
“Mari, Tuan,” ajak Sultan kepada sang tamu, “setelah memaafkan dan melupakan peristiwa tadi, kini aku akan menyerahkannya kepada harimau dan kerbau dan dengan itu aku anggap semuanya telah selesai.”
Pertarungan harimau versus kerbau tersebut diadakan di alun-alun selatan keraton Yogyakarta. Biasanya, semua warga kota dan orang-orang dari desa berdatangan menonton. Ini hal wajar, mengingat tontonan ini jarang sekali digelar. Hanya dalam momen-momen tertentu ketika para pembesar Belanda berkunjung.
Harimau-harimau Jawa yang dipertandingkan di keraton didapat dari Jelegong, sebuah desa di tepi Sungai Progo. Penduduk Jelegong sangat terkenal di seantero Jawa sebagai orang-orang yang ahli berburu dan dijuluki “tuwa buru” (pemuka para pemburu). Mereka hidup dari menangkap harimau dengan perangkap yang metode pembuatannya diwariskan secara turun-temurun sejak nenek moyang.
“Suatu pekerjaan yang sulit dan berbahaya yang berkaitan dengan penggunaan jampi-jampi rahasia dan keberanian yang luar biasa,” tulis Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa.
Hasil tangkapan itu kemudian dijual kepada keraton sebagai hewan peliharaan atau untuk dipertarungkan di alun-alun. Selama satu abad kemudian, keraton selalu berlangganan harimau Jawa kepada orang-orang Jelegong. Kelak, ketika buyut Mangkubumi, Pangeran Dipanegara, mengobarkan pemberontakan pada 1825, ia mendapat tambahan pasukan yang sangat berharga dari para tuwa buru itu.
Siang itu, di hadapan Sultan dan Tuan Residen, di alun-alun yang dikelilingi pohon rindang, sebarisan prajurit bertombak telah bersiaga. Mereka membentuk konfigurasi persegi empat, yang masing-masing sisi terdiri dari empat baris. Di tengah-tengahnya, seekor harimau Jawa yang ganas dan seekor kerbau yang liar siap bertarung.
Pertarungan biasanya berlangsung lamban. Harimau menyerang kerbau bertubi-tubi. Tapi kerbau hewan yang liat. Serangan harimau memang melukai, tapi tidak melumpuhkan. Hewan itu terlalu digdaya untuk dirobohkan hanya dengan cakaran dan gigitan.
Seperti biasa, jika sudah lebih dari setengah jam, harimau mulai kelelahan. Ia akan menepi ke pinggir karena staminanya sudah habis dan berlindung di sudut dengan lunglai. Kerbau, sementara itu, bukan binatang agresif. Ia tidak segera menyerang balik musuhnya yang telah terpuruk.
Jika keadaan ini terjadi, harimau akan dibunuh dengan cara “rampog”: pasukan bertombak akan memancingnya menyerang dan sang harimau ditusuk ramai-ramai. Tepat di titik ini, semesta simbolisme Jawa bekerja.
Van Rhijn, dan residen-residen setelahnya yang berkunjung ke keraton Jawa, tidak memahami dunia simbolisme Jawa yang menyelubungi pertunjukan itu. Pertarungan harimau melawan kerbau sesungguhnya alegori yang dipakai penguasa-penguasa Jawa untuk mengejek orang Belanda.
Harimau yang gesit, mematikan, tapi staminanya cepat turun, dianggap sebagai perwujudan orang Belanda. Sementara kerbau merupakan metafora terbaik yang mencerminkan orang Jawa: lamban tapi kuat, lemah lembut, namun bertenaga. Dan jika diadu melawan harimau, kerbau yang hati-hati dan tabah akan selalu menang.
Tidak ada keterangan pasti mengapa para pejabat Belanda gagal memahami kerumitan ala Jawa ini. Barangkali di abad 18, mereka belum banyak mendalami dunia batin orang Jawa yang penuh perlambang itu. Hampir semua residen yang datang ke keraton Jawa terkesan dengan pertunjukan rampogan dan merasa terhormat disuguhi tontonan eksklusif yang hanya digelar untuk tamu-tamu Belanda.
Sosok yang mampu membaca simbol itu justru pejabat Inggris: Sir Thomas Stamford Raffles. Dalam magnum opus-nya yang legendaris, The History of Java, ia menggambarkan rampog sebagai pertunjukan yang paling digemari orang Jawa.
“Sebuah pertunjukan nasional yang paling disuka,” katanya, “adalah pertarungan antara kerbau dengan harimau… Hampir selalu kerbau yang menang… Dalam pertunjukan ini, orang-orang Jawa biasa membandingkan kerbau dengan orang Jawa dan harimau dengan orang Eropa.”
Barangkali Raffles bukan orang pertama yang mampu membaca perlambang Jawa itu. Tapi dia orang pertama yang menuliskannya dalam buku yang sistematis dan dibaca orang banyak. Raffles juga tahu bahwa kemenangan kerbau sesungguhnya harapan paling subtil yang dikehendaki orang Jawa.
“Dan bisa segera dibayangkan bahwa mereka [orang Jawa] menyambut gembira kemenangan kerbau,” tutur Raffles.
Meski dalam kenyataan kerajaan-kerajaan Jawa selalu kalah melawan Belanda selama hampir dua abad, paling tidak mereka memenangi pertarungan di dunia perlambang. Sebuah dunia yang kadang-kadang dianggap lebih penting dibanding dunia nyata.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS