tirto.id - Pada Agustus 2017 lalu, beredar sebuah foto mengejutkan. Foto yang dipotret oleh tim Balai Taman Nasional Ujung Kulon itu memperlihatkan seekor harimau berjalan dengan tenang, meninggalkan seekor banteng yang tergeletak. Besar kemungkinan banteng itu baru saja diterkam sang harimau.
Sebenarnya, foto karnivora memangsa hewan lain adalah hal biasa. Namun, jadi berbeda karena harimau yang dipotret itu diperkirakan sebagai harimau Jawa, spesies yang dianggap sudah punah pada 1976 silam. Foto itu lantas makin menebalkan harapan: harimau Jawa belum punah. Saat ini, tim TN Ujung Kulon sedang menyelidiki apakah hewan itu adalah harimau Jawa, atau spesies harimau lain. Belakangan, peneliti LIPI berkata bahwa hewan itu adalah macan tutul, bukan harimau Jawa.
Habitat harimau Jawa memang naik turun. Spesies dengan nama ilmiah Panthera tigris sondaica pernah menjadi hewan yang ditakuti sekaligus dihormati di masa Jawa kuno. Tapi, setelah dekade 1970-an, harimau Jawa hanya bisa ditemui dalam dongeng belaka. Ia hanya dituturkan oleh orang tua pada anaknya, kakek dan nenek pada cucunya.
Pada masa lalu, harimau Jawa hidup dengan tenang. Mereka punya area tinggal sendiri, begitu pula manusia yang tak mengganggu habitat hewan yang dipanggil "Simbah" ini. Bagi masyarakat Nusantara, harimau memang menempati posisi sakral. Di Sumatera, harimau dipanggil dengan sebutan datuk. Dalam makalah The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change (1995), harimau di Jawa punya berbagai sebutan selain Simbah. Mulai dari Nenek hingga Kiai. Orang Jawa kuna percaya bahwa harimau punya kekuatan supernatural.
Baca juga: Jejak dan Romantisme Raja Hutan Jawa
Posisi itu terus terjaga karena manusia dan harimau punya dunia yang berbeda. Penulis asal Belanda, W. Baerveldt menyebut bahwa hutan di Jawa dianggap sebagai tempat yang menakutkan dan misterius serta diselubungi kekuatan mistis. Sedangkan harimau dianggap sebagai hewan sakti yang menguasai hutan.
John Crawfurd dalam History of Indian Archipelago (1820) menyebut bahwa, "harimau dan rimba punya hubungan dekat dan mereka saling melindungi." Orang yang mau mengusik hutan akan takut dengan keberadaan harimau. Harimau akan aman tinggal di rimba lebat yang menyediakan makanan berlimpah. Namun kedudukan itu berubah pada pertengahan abad 19. Ketika itu dimulailah pembukaan lahan besar-besaran di Jawa. Masuk ribuan pendatang dari Jawa Tengah, juga Madura. Ini membawa dampak besar, terutama dari sisi ekologi.
"Dampak ekologi dari meledaknya populasi ini lebih besar ketimbang gabungan dampak yang dihasilkan manusia di Jawa sebelumnya," tulis Seindensticker dan Suyono dalam makalah The Javan Tiger and the Meru Betiri Reserve: A Plan for Management (1976).
Baca Juga:Harimau dan Manusia
Dua peneliti ini menyebut, sepanjang 1800-an hingga awal 1900-an, terjadi perburuan besar-besaran terhadap harimau. Seiring hutan yang menyusut dan jumlah manusia yang makin ramai, keseimbangan ekologi terganggu. Harimau yang susah mencari mangsa, keluar dari hutan dan memakan hewan ternak. Manusia mulai menganggap harimau sebagai hama, bukan lagi sebagai hewan mistis yang dihormati. Pada 1938, hanya tersisa 23 persen hutan di pulau Jawa. Seindensticker dan Suyono mencatat, awal dimulai Perang Dunia II pada 1939, hanya tersisa segelintir harimau di Jawa.
Jejak harimau Jawa terakhir dilihat di Taman Nasional Meru Betiri pada 1976. Dalam periode sama, International Union of Conservation for Nature (IUCN) menaikkan status harimau Jawa, dari "Sangat Rentan" (Critically Endangered) ke "Punah" (Extinct). Harimau Jawa menyusul Harimau Bali yang dinyatakan punah pada 1937.
Usaha Mencari Harimau Jawa
Orang bijak zaman dulu sering berkata: don't know what you've got till its gone. Manusia kerap tak tahu betapa berharganya sesuatu yang mereka miliki sebelum sesuatu itu hilang. Begitu pula sikap manusia pada harimau Jawa. Saat harimau Jawa dinyatakan punah, banyak orang mulai mencari keberadaan Simbah ini.
Sekitar 5 tahun sebelum harimau Jawa resmi dianggap punah, ahli botani dari Belanda, R. van der Veen mengunjungi Meru Betiri. Kawasan ini dianggap sebagai hutan yang menjadi habitat terakhir harimau Jawa. Dalam kunjungan itu, ia mencatat ada kemungkinan populasi harimau di Meru Betiri.
Ekspedisi itu menjadi salah satu awal usaha pencarian harimau Jawa. Pada 1997, Komunitas Pencinta Alam Pemerhati Lingkungan dan pihak taman Nasional Meru Betiri mengadakan Ekspedisi Harimau Jawa. Tujuannya jelas: mencari keberadaan harimau Jawa. Dalam buku Mekar di Bumi: Visiografi 50 Tahun Eka Budianta (2006), penulis Eko Teguh Paripurno menyebutkan tak ada wujud harimau Jawa yang ditemui dalam ekspedisi itu.
"Tapi tanda-tanda bahwa harimau Jawa masih ada, sangat jelas di depan mata. Teman-teman berhasil menemukan cakaran, telapak kaki, kotoran, dan sisa-sisa makannya," tulis Eko yang sekarang menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta ini.
Selepas ekspedisi di Meru Betiri, pencarian harimau Jawa juga dilanjutkan oleh kelompok yang sama. Ekspedisi itu merentang ke Gunung Ijen dan Raung (19980), Gunung Slamet (1999), Gunung Sewu dalam kurun 2000 hingga 2002, kembali ke Meru Betiri pada 2003 hingga 2004, dan di Gunung Ungaran pada 2005.
"Hasilnya menggetarkan, di setiap lokasi kita menemukan bahwa harimau Jawa belum punah. Maka bila akhir-akhir ini ada pernyataan bahwa harimau Jawa telah punah, saya dan teman-teman sangat tidak setuju," tulis Eko.
Ekspedisi itu, tulisnya, mendorong lahirnya para peneliti harimau Jawa. Salah satu yang masih teguh hingga sekarang adalah Didik Raharyono. Ia tergabung dalam rombongan ekspedisi Meru Betiri pertama. Sejak ekspedisi itu, ia percaya harimau Jawa belum punah. Dalam wawancara bersama Mongabay Indonesia, Didik mengatakan ia punya bukti seperti kotoran, cakaran, gigi, jejak kaki, hingga kulit. Ia makin bersemangat ketika dalam seminar nasional di Universitas Gadjah Mada 1998 silam, ada rekomendasi peninjauan ulang terkait pernyataan punahnya harimau Jawa.
Baca Juga:Babad Lahan Gambut Terakhir di Jawa yang Dihuni Harimau
Pada 2004, Didik menemukan kotoran dengan panjang dan diameter 7 centimenter milik harimau Jawa. Ia memotret kotoran itu dan membandingkannya dengan macan tutul. Ada perbedaan mendasar dari kotoran dua hewan itu. Jika kotoran berdiameter setidaknya 4 centimeter dan tak ada komposisi daun di kotorannya, itu bisa diklaim sebagai kotoran harimau Jawa. Sebaliknya, jika ukuran diameter kotoran hanya 2-3 centi dan ada daun di bagian terakhir kotoran, itu bisa jadi kotoran macan tutul.
"Selain itu, di kotoran harimau Jawa, kami biasanya menemukan sisa kuku dari mangsa, yang tak pernah ditemukan di kotoran macan tutul," tulis Didik di blognya.
Penemuan lain adalah sampel kulit harimau loreng yang dibunuh di Jawa Tengah, ia dapat pada 2008. Setahun kemudian, ia mendapatkan sampel kulit harimau dari Jawa Timur. Selain itu, ia mendapatkan kesaksian dari para pencari kayu dan petani hutan yang tinggal di sekitar kawasan Meru Betiri.
Dengan bukti-bukti yang ia punya, Didik memilih untuk skeptis terhadap pernyataan dunia internasional yang menyatakan harimau Jawa telah punah. Di situs Peduli Karnivor Jawa bikinannya, Didik memacak pertanyaan sekaligus pernyataan, "Siapa bilang harimau Jawa punah."
Tahun 2012, petugas Taman Nasional Meru Betiri kembali menelusuri jejak harimau ini. Mereka memasang lima kamera secara bertahap di tiga titik berbeda. Jumlah itu memang amat sedikit dibandingkan dengan luas taman nasional yang mencapai 58 ribu hektare itu. Sayang, pemasangan kamera itu tak membuahkan hasil manis. Perbincangan tentang harimau Jawa kembali terkubur.
Tapi dengan adanya foto harimau di Ujung Kulon baru-baru ini, perbincangan tentang harimau Jawa meruak ke permukaan. Jika benar itu harimau Jawa, sudah pasti dunia internasional akan gempar. Hewan yang dinyatakan punah sejak 1976, ternyata masih ada, dan bukan di Meru Betiri seperti diduga selama ini. Kalaupun harimau itu ternyata bukan spesies yang dicari-cari, isu ini tetap akan jadi penting dan akan terus menimbulkan pertanyaan: benarkah harimau Jawa sudah punah?
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti