Menuju konten utama

Harimau dan Manusia

Populasi macan menurun dan populasi manusia terus bertambah di dunia.

Harimau dan Manusia
Harimau. FOTO/Istock

tirto.id - Pada nasib patung harimau Cisewu ada gema nasib harimau yang sebenarnya.

Manusia tidak bisa berhenti bicara tentang harimau (dengan rasa takut, kagum, secara harfiah, secara metaforis), tetapi kini populasi harimau di seluruh dunia tinggal 3,2 hingga 3,6 ribu ekor dan mereka hanya mendiami sekitar 7 persen wilayah historisnya.

Sebagai spesies dominan sekaligus satu-satunya yang mempunyai kesadaran di Bumi, manusia jelas bertanggung jawab atas situasi buruk itu, lebih-lebih jika mengingat sebabnya tak lain ialah tindakan manusia sendiri: Perburuan dan penyempitan habitat harimau.

Menurut data TRAFFIC, sedikitnya ada 1.590 ekor harimau yang disita dari para pedagang satwa liar dalam rentang Januari 2000 sampai April 2014, atau rata-rata dua ekor per pekan.

“Populasi manusia di India, salah satu tempat tinggal terbesar harimau, tumbuh sebesar 50 persen hanya dalam dua dekade; di Cina, jumlah manusia membengkak jadi dua kali lipat dalam empat puluh tahun,” tulis Amelia Meyer dari tiger.org. “Karena manusia memerlukan lebih banyak ruang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, ada demikian banyak hutan dan habitat alami lain yang dihancurkan.”

Menurut Meyer, tiga perempat dari keseluruhan hutan di Indonesia sudah tidak ada. Maka, tak mengherankan bila dua dari tiga subspesies harimau (harimau bali, harimau sumatera, dan harimau jawa) yang tinggal di hutan-hutan itu punah, sementara nasib subspesies yang tersisa, harimau sumatera, pun nahas: Populasinya tinggal sekitar 400 ekor saja di alam, tak sampai setengah populasi pada 1978, dan trennya terus menurun.

Keadaan serupa juga melingkupi sepupu harimau sumatera (keduanya adalah bagian dari genus panthera): macan tutul jawa. Menurut laporanThe Jakarta Post pada Februari 2017, kini hanya ada sekitar 250 ekor macan tutul jawa di habitat-habitat alami. Setelah kepunahan harimau jawa pada 1980-an, ia adalah satu-satunya hewan berjenis kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa.

Pada akhir abad ke-18, penyair Inggris William Blake menulis “The Tyger.” Puisi itu menampilkan harimau sebagai makhluk misterius yang indah sekaligus menakutkan, memukau sekaligus menggentarkan.

Blake bertanya pada bait pertama: “Tyger Tyger, burning bright/In the forests of the night;/What immortal hand or eye,/Could frame thy fearful symmetry?” Dan pada bait terakhir, pertanyaan itu diulang, tetapi kata 'could' (sanggup) digantikan dengan 'dare' (berani).

“Tuhan macam apa yang sanggup/berani membayangkan dan menciptakan harimau?” tanya Blake.

Dan kita hanya tahu bahwa kitalah sebab terbesar kepunahannya.

Macan Tangsi

Baca juga artikel terkait HARIMAU atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Fahri Salam