Menuju konten utama

Jejak dan Romantisme Raja Hutan Jawa

Harimau Jawa sudah lama dinyatakan punah, tapi semangat untuk membuktikan keberadaannya hingga kini belum padam. Penguasa hutan lainnya seperti Leopard atau Macan Tutul Jawa juga berpeluang mengalami nasib yang sama.

Jejak dan Romantisme Raja Hutan Jawa
Sekelompok pria dan anak-anak berfoto dengan harimau Jawa yang mati diburu pada Mei 1941 di Malingping, Banten. (H. Bartels/Tropenmuseum).

tirto.id - Semak-semak seketika bergerak-gerak, kala sesosok tubuh loreng mengendap-endap. Sorotan tajam menatap seorang bocah yang tengah bermalas-malasan di atas punggung kerbau di area persawahan. Harimau pun langsung menyergap, untungnya sang kerbau sigap.

Bocah yang bernama Saidjah itu terpental, pergumulan kerbau dan harimau pun tak terhindarkan. Sang raja hutan hari itu memang sedang apes, tanduk sang kerbau berhasil merobek perut belangnya, usus pun terburai, raja hutan akhirnya mendapati ajalnya.

Cuplikan menit-menit awal film Max Havelaar pada 1976 ini, diangkat dari sebuah karya sastra Multatuli, yang berlatar masyarakat Banten di penghujung abad ke-19. Secuil menggambarkan alam liar hutan Jawa yang masih hijau sebagai sarang dari Harimau Jawa, di tengah persoalan penindasan era kolonial.

Harimau dan kerbau bergumul saling membunuh bukan rekaan dalam sebuah film saja. Sejak abad ke-17 di Jawa, adu kerbau dan harimau menjadi sebuah pertunjukan massal layaknya gladiator, yang biasa disebut "rampokan macan" atau rebutan macan. Kegiatan rampokan macan, biasanya dihelat saat 1 Syawal, sebagai simbol membersihkan dari gangguan.

Jurnal KITLV karya R. Wessing yang berjudul “A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan” menjelaskan sejak 1791 di Kesultanan Yogyakarta, tradisi rampokan macan secara rutin digelar, termasuk untuk menyambut tamu-tamu dari Eropa sebagai sebuah pertunjukan.

Dalam rampokan macan, harimau atau macan kumbang tak hanya diadu dengan kerbau atau banteng, tapi juga menjadi sasaran tombak para prajurit dalam sebuah perhelatan yang biasa dilakukan di pagar tertutup di alun-alun pada siang hari. Nasib harimau maupun macan tutul berakhir di ujung tombak para prajurit. Setelah 1860-an tradisi itu menyebar ke wilayah-wilayah sekitarnya, seperti Kediri dan Blitar. Namun pada 1905, pemerintah Belanda melarang tradisi rampokan macan. (Bakda Mawi Rampog, R. Kartawibawa 1928, dicuplik dalam kedirikota.go.id)

Rampokan hanya salah satu sisi kelam dari nasib Harimau Jawa dan Macan Jawa yang dibantai dalam sebuah pertunjukan terbuka. Perburuan masif terhadap karnivora ini juga jadi sisi mengerikan bagi sang raja hutan. Berbagai foto era kolonial, menggambarkan kaum pribumi yang memanggul tubuh loreng yang sudah terkulai mati dengan latar depan seseorang yang pemegang senjata laras panjang berwajah Eropa--sebuah penggambaran umum adanya perburuan Harimau Jawa pada masa kolonial.

R. Wessing dalam tulisan lainnya berjudul “The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change” menggambarkan Harimau Jawa merupakan hewan buas yang umum hidup di Jawa. Pada 1822, antara wilayah Panarukan dan Banyuwangi jadi kawasan yang berbahaya bagi ternak milik penduduk. Gesekan harimau dan manusia juga tak terlepas dari perubahan peta ekonomi di Jawa, pada pertengahan abad ke-19. Pembukaan lahan hutan di Jawa untuk perkebunan menghasilkan migrasi banyak manusia. Habitat harimau pun makin terusik, sehingga harimau menyerang desa-desa. Harimau jadi pemangsa bagi ternak juga manusia, rata-rata membunuh 2.500 orang per tahun.

Pada 1822, pemerintah kolonial mulai mempekerjakan para pemburu harimau, yang berdampak pada populasi Harimau Jawa. Hingga awal 1940-an jumlah Harimau Jawa diperkirakan tinggal 200-300 ekor. Setelah era perang dunia kedua, keberadaan Harimau Jawa makin kritis. Meski demikian pada 1960, seekor Harimau Jawa sempat ditembak mati di Banyuwangi, Jawa Timur. Namun setelah itu, keberadaan Harimau Jawa cepat menghilang dari hutan-hutan di Jawa.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam situs resminya mengumumkan Harimau Jawa terakhir yang tercatat berada di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur pada 1976. Kepunahannya karena diburu dan hilangnya habitat dan mangsanya. Namun, bagi sebagian orang, masih ada yang meyakini Harimau Jawa tetap berkeliaran di hutan-hutan di Jawa meski dalam jumlah terbatas.

INFOGRAFIK Harimau yang tersisa

Romantisme dan Realita

Meski sudah dinyatakan punah pada 1970-an, Harimau Jawa tak pernah kosong dari pemberitaan tahun ke tahun terkait dugaan keberadaannya. Kabar dugaan keberadaan Harimau Jawa berseliweran di berbagai media daerah. Pada 2015 misalnya, pada warga di Pegunungan Kendeng, Grobogan, Jawa Tengah mengaku melihat harimau. Laporan serupa juga terjadi pada September 2016 di Gunung Lawu.

Laporan ini tentu mengundang rasa penasaran bagi orang-orang tertentu seperti Didik Raharyono yang sudah meneliti keberadaan Harimau Jawa selama 20 tahun. Didik yang merupakan sarjana biologi ini meyakini Harimau Jawa masih tersisa di Ujung Kulon, Gunung Slamet, dan Meru Betiri. Ia memperkirakan jumlahnya antara 50-75 ekor masih tersisa, berdasarkan laporan-laporan yang ditelitinya. Laporan yang sampai ke telinganya tentu perlu verifikasi, apalagi masalah persepsi dan penamaan masyarakat Jawa terhadap harimau dan macan sering rancu.

Selama pengembaraannya mencari jejak dan bukti-bukti Harimau Jawa, Didik hanya berhasil membawa bukti tapak kaki, dan spesimen bagian tubuh yang diduga dari sisa-sisa Harimau Jawa seperti rambut dari temuan 2009 dan 2013. Sayangnya proses uji DNA di LIPI belum keluar padahal proses pengujian sudah sejak 2014. Usahanya yang begitu ulet mencari bukti-bukti Harimau Jawa, karena hutan-hutan di Jawa makin menyempit akibat populasi manusia dan kegiatan pertambangan seperti semen hingga emas. Bila sebuah kawasan hutan terbukti ada kehadiran Harimau Jawa, maka harapannya hutan itu statusnya makin dilindungi.

“Esensinya demi melindungi hutan di Jawa, hutan yang tersisa di Jawa hanya di gunung-gunung, Harimau Jawa sebagai pintu masuk untuk melindungi hutan,” kata Didik kepada Tirto.

Pada kenyataannya sampai saat ini belum ada yang bisa benar-benar membuktikan secara ilmiah soal keberadaan Harimau Jawa termasuk oleh Didik. Yang ada, hanya “bukti” gambar wajah Harimau Jawa yang terpampang pada lambang Kodam III Siliwangi. Nama ini tentu sangat erat dengan Prabu Siliwangi sebagai simbol kekuasaan raja di Jawa Barat. Harimau Jawa dengan simbolnya memang masih tetap hidup di saat sang raja hutan ini sudah punah secara biologis.

Nasib Harimau Jawa memang tak seberuntung “saudaranya” Macan Tutul Jawa yang sama-sama jadi korban rampokan macan pada masa silam. Untungnya, Macan Tutul Jawa masih berkeliaran di sisa-sisa hutan di Jawa yang semakin minipis. Ia menempati puncak rantai makanan di hutan-hutan di Jawa yang kini nasibnya juga terancam. IUCN memasukkan “Leopard van Java” ini dalam daftar merah subspesies leopard di dunia, populasinya diperkirakan 323-525 ekor. Jumlah ini tak jauh berbeda dengan saudara Harimau Jawa yaitu Harimau Sumatera yang diperkirakan populasinya sekitar 600-an ekor (WCS).

“Lebih baik menyelamatkan yang masih ada, daripada romantisme untuk yang sudah nggak ada,” kata Species Conservation Specialist dari Wildlife Conservation Society (WCS) Wulan Pusparini kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait HARIMAU atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti