Menuju konten utama

Berdakwah lewat Wayang Sadat

Foto spanduk berisi tulisan “Pemutaran Wayang Kulit Bukan Syariat Islam” viral di media sosial dan menuai pro-kontra. Wayang dikontraskan dengan syariat Islam, padahal Islam di Indonesia menyebar lewat medium wayang. Kini, ada wayang sadat yang menjadi alat berdakwah.

Berdakwah lewat Wayang Sadat
Pendakwah berceramah dengan menggunakan media wayang kulit. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani.

tirto.id - Foto spanduk-spanduk terkait pergelaran wayang kulit beredar di media sosial, pada Minggu (22/1/2017) kemarin. Foto-foto spanduk yang salah satunya memuat tulisan “Pemutaran Wayang Kulit Bukan Syariat Islam” itu viral dan menuai protes.

Protes terhadap spanduk itu wajar, mengingat wayang bukan hanya salah satu kekayaan budaya nusantara, namun ia juga cara dakwah yang dilakukan Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Dosen seni rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Sukirno dalam artikel “Hubungan Wayang Kulit dan Kehidupan Sosial Masyarakat Jawa” menulis bahwa para Wali Songo memahami betul jika pewayangan merupakan salah satu cara efektif dalam berdakwah.

Mereka menggunakan wayang dengan beberapa perubahan atas wayang beber yang berwujud persis manusia. Namun, perubahan ini tetap mempertimbangkan adat istiadat, serta kebudayaan masyarakat setempat. Warna agama Hindu dan pemujaan terhadap arca juga dihilangkan dengan mengubah bahan kertas dengan kulit kerbau.

Wujud manusia tetap masih ada, tapi dibuat aneh. Misalnya leher dibuat panjang, gambar wajah dibuat miring, tangan dibuat panjang sampai kaki. Akhirnya, wayang bisa menjadi tontonan menarik, sekaligus disisipi pesan moral dan dakwah Islam.

Tak hanya itu, Wali Songo juga memberi kelengkapan teknik pakeliran. Misalnya, setiap pergelaran wayang digunakan layar (kelir), pohon pisang guna menancapkan wayang, blencong sebagai penerangan, kotak alat penyimpang wayang dan cempala guna memukul kotak.

Cerita pergelaran memang tetap memakai Ramayana dan Mahabharata. Namun, dalam beberapa bagian diselipkan unsur dakwah yang mengarah pada tauhid, meskipun dalam bentuk simbol lambang.

Meski wayang telah mengalami perubahan berkali-kali, perubahan tidak mematikan bentuk-bentuk wayang yang lama. Perubahan itu justru memperkaya jenis-jenis wayang yang pernah ada di Indonesia.

Dosen Universitas Indonesia, Turita Indah Setyani dalam artikel “Ragam Wayang di Nusantara” menyebutkan secara garis besar wayang dibagi menjadi delapan jenis. Salah satunya adalah wayang beber yang pertunjukannya dilakukan dengan pembacaan cerita dan peragaan gambar-gambar yang telah dilukiskan.

Selain itu, ada juga wayang purwa. Wujudnya berupa wayang kulit, wayang golek, atau wayang orang dengan mengisahkan cerita yang bersumber pada kitab Mahabharata atau Ramayana. Jenis wayang ini pun sangat beragam.

Seiring dengan kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi sosial dengan media wayang semakin meningkat, maka diciptakanlah wayang baru yang dapat memadai faktor-faktor komunikasi tersebut, salah satunya Wayang Sadat pada 1986 yang didalangi oleh Suryadi WS, seorang mubalig dari kalangan Muhammadiyah.

Wayang sadat yang digagas oleh Suryadi ini bertujuan sebagai media dakwah, sama seperti wayang kulit pada masa Wali Songo. Namun, ada perbedaan mendasar antara pementasan wayang sadat dengan pergelaran wayang yang pernah dilakukan oleh para Wali Songo tersebut.

Jika pementasan wayang pada masa Wali Songo menggunakan alat peraga dan kelengkapan teknik pakeliran, maka wayang sadat, mulai dari dalang hingga lakonnya menggunakan orang dan bercerita tentang sejarah perjuangan para Wali di Pulau Jawa. Gending dan kostum pun Islami. Gendingnya salawatan, sementara dalangnya mengunakan surban, pengrawitnya menggunakan kopiah, sedangkan sindennya berjilbab.

Berdakwah dengan Wayang

Namun, perekambangan wayang sadat ini tidak mulus-mulus amat karena harus berhadapan dengan fenomena gerakan purifikasi Islam. Dalam Jurnal Penelitian Humaniora yang terbit pada April 2008, Muhammad Mukti, salah satu pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta pernah menulis hasil penelitiannya soal perjalanan wayang sadat ini.

Mukti dalam artikel “Resistensi Wayang Sadat dalam Menghadapi Hegemoni Muhammadiyah” menulis bagaimana wayang sadat yang digagas oleh Suryadi W.S. tersebut harus berhadapan dengan organisasi tempatnya bernaung. Muhammadiyah wilayah Trucuk, Klaten, tampil sebagai gerakan yang gigih memberantas kemusyrikan yang dikenal dengan penyakit TBC (Tahayul, Bid'ah, dan Khurafat.

Masalahnya, tradisi ada yang dianggap sebagai bagian dari penyakit TBC ini, termasuk kesenian. Termasuk wayang sadat.

Namun, Suryadi tidak patah arang. Ia justru melakukan perlawanan dengan cara menggelar pertunjukan wayang sadat pada 1986 sebagai reaksi atas mengentalnya fenomena gerakan purifikasi Islam. Saat itu, Suryadi yang notabene merupakan seorang mubalig dari kalangan Muhammadiyah yang juga tinggal di Trucuk, Klaten mengadakan gebyagan wayang sadat sebagai pentas perdana.

Pentas itu diniatkan untuk dakwah. Pergelaran wayang berlangsung selama empat jam, berkisah tentang sejarah perjuangan para wali di Jawa.

Infografik Wayang Sadat

Wayang sadat juga sering diundang untuk pentas di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai hajat seperti, tasyakuran, hitanan, perkawinan, dan sebagainya.

Melalui pentas wayang sadat ciptaannya itu, Suryadi sebagai seorang mubaligh benar-benar merasa dapat menyiarkan agama Islam secara lebih efektif dan mengena. Semua adegan digunakan untuk menyalurkan dakwah, sehingga realitas di lapangan menyebutkan bahwa setelah ditampilkan wayang sadat tersebut banyak pola pikir masyarakat yang berubah.

Misalnya, masyarakat yang semula tidak salat kemudian menjadi salat, yang semula tidak mau mengaji, kemudian mau mengaji.

“Banyak orang yang malam nonton wayang, siangnya datang memberi tahu bahwa dirinya sekarang sudah salat. Bukan saja penonton wayang sadat yang jelas-jelas menjadi sasaran dakwah Suryadi, tetapi juga pengrawit,” tulis Mukti.

Sutiyono dalam artikel “Pergelaran Wayang Sadat” menyebut cara Suryadi ini mirip dengan yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Keduanya sama-masa menjadikan pentas wayang sebagai media yang efektif untuk mendekatkan dan menarik simpati masyarakat terhadap agama.

Jadi, apakah wayang bukan syariat Islam? Ahli syariat-lah yang harus menjawab pertanyaan ini. Yang jelas, sejarah menunjukkan wayang telah membantu syiar dan dakwah agama Islam.

Baca juga artikel terkait PENOLAKAN WAYANG atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani