tirto.id - Pada 1926-1927, PKI memotori pemberontakan terhadap Hindia Belanda dengan tujuan kemerdekaan nasional, namun pemberontakan itu gagal dan kader-kadernya diburu oleh polisi kolonial.
Usia Buyung Saleh baru tiga tahun ketika ayahnya, Poeradisastra, ditangkap oleh polisi Hindia Belanda. Majalah Pandji Poestaka (24/09/1926) menyebut Poeradisastra sebagai pemimpin komunis wilayah Banten. Surat kabar Pemberita (21/10/1926) menyebut Poeradisastra sebagai Bapak Pergerakan PKI di Banten. Poeradisastra tertangkap pada 17 September 1926, saat ia bersembunyi di Garut dan menyamar sebagai seorang buruh perusahaan teh bernama Salaman.
Meskipun demikian, ditambah latar zamanmeleset—depresi ekonomi dunia sejak 1929—Buyung masih bisa masuk sekolah dasar. Menurut buku Hamka, Di Mata Hati Umat (1983) karya Nasir Tamara, Buyung bahkan sempat belajar di sekolah menengah tetapi tidak selesai.
Ia bekerja di Jakarta Tokubetsu Shi (Kantor Pekerjaan Umum Jakarta) pada zaman pendudukan Jepang. Tentu di sana hidupnya tak jauh dari dunia buruh. Setelah proklamasi, Buyung aktif dalam serikat-serikat buruh, termasuk di Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri). Buyung juga terlibat revolusi nasional (1945-1949) melawan tentara Belanda, meski ia tak ikut arus menjadi tentara.
“Hari-hari pertama setelah pendudukan Belanda di Kediri, ia mengorganisir perlawanan di dalam kota. Kemudian mengundurkan diri ke arah timur, sekitar 10 kilometer dari Kediri, membangun basis di Desa Tiru yang terletak datar rendah dan padat penduduk. Bujung Saleh (Buyung) berfungsi sebagai komisaris politik; komandan pasukan seorang bernama Nata,” tulis Poeze. Nata adalah mantan anggota Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI, bentukan Bung Tomo). Ketika Batalyon Brantas dibentuk oleh para mantan anggota BPRI dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Nata menjadi komandan dan Buyung menjadi pengawasnya—mungkin karena ia terpelajar.
Pada masa revolusi, seperti dikatakannya pada Harry Poeze (30/08/1980), Buyung menyaksikan ketidakakuran kelompok laskar dengan tentara nasional. Ia juga tahu tentang persaingan antar perwira tentara yang menyedihkan dan merugikan perjuangan.
Marxis Tangguh
Setelah tentara Belanda angkat kaki, Buyung aktif dalam kesusastraan. Menurut salah seorang kawannya, Ajip Rosidi, dalam "SI Poeradisastra: Hidayah Allah di Pulau Buru", ia pernah menjadi sekretaris redaksi majalah kebudayaan Indonesia—terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Ajip mengenal Buyung sejak 1954, dan menurut Ajip, pada waktu itu, “dia sudah dikenal sebagai orang kiri, lebih khusus lagi seorang Marxis yang tangguh.”
Pada 1954, Buyung berpolemik melawan Soedjatmoko dalam majalah Siasat. Menurut Nursam dalam Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjatmoko (2002), perang opini itu berlangsung sekitar 3 bulan. Soedjatmoko bukan sembarang orang, dia tak kalah terpelajar ketimbang Buyung. Soedjatmoko lulusan Hogare Burger School (HBS), jenis sekolah menengah elit era kolonial.
“Tak pernah dia berbicara tentang paham politik atau keyakinan hidupnya. Dia berbicara tentang segala macam soal, karena dia memang suka bicara, tapi tak pernah memuji paham politik atau pandangan politiknya itu kepada saya atau kawan-kawan yang lain untuk mempengaruhi agar menganutnya juga,” tulis Ajip.
Kawan lain Buyung, Aoh Karta Hadimadja—kakak penyair Ramadhan KH—pernah bertanya kepada Buyung, “Sebagai Marxis, saudara percaya akan adanya Tuhan atau tidak?” Kemudian Buyung menjawab, “Pada saat-saat tertentu memang saya merasa bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar dari kita.”
Bagi Ajip, Marxis semestinya anti Tuhan dan jawaban Buyung itu ganjil. Dengan nada mengejek, Ajip mengatakan mengapa Buyung tidak mencari tahu lebih dalam soal kekuatan yang lebih tinggi dan lebih besar dari manusia tersebut? “Tentu karena takut kalau-kalau pada ujungnya akan sampai pada anggapan bahwa memang Tuhan ada,” katanya menyimpulkan. Buyung tak pernah menanggapi komentar Ajip tersebut.
Namun, setelah itu tak ada permusuhan antara Ajip dan Buyung. Ajip bahkan mengikuti berita bagaimana Buyung nyaris dituntut ke pengadilan oleh AS Dharta. “Buyung menulis Perkembangan Kesusasteraan Indonesia yang dimuat dalam Almanak Seni 1957. Ia mengatakan bahwa nama AS Dharta yang sebenarnya adalah Rodji. Dharta naik pitam dan mengancam akan menyeret Buyung ke pengadilan. Sayang, Buyung tidak sampai benar-benar diseret ke pengadilan sehingga sampai sekarang kita belum tahu siapa nama A.S. Dharta sebenarnya,” tulis Ajip di Pikiran Rakyat (17/02/2007).
Menurut Ajip, Buyung keluar dari majalah Indonesia pada 1958. Ia sempat menganggur, sebelum akhirnya dipekerjakan Badan Pemusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) sebagai peneliti. Pada tahun 1960, Buyung sempat mengajar sastra Indonesia modern di Universitas Indonesia, lalu di Universitas M.V. Lomonosov, Moskow, pada 1962. Sepulang dari Moskow, Buyung diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Baperki.
"Hidayah" di Pulau Buru
Ajip cukup lama tak bertemu dengan Buyung, ia hanya mendengar dengar kabar bahwa Buyung akan dikirim ke Pyongyang. Namun, setelah 30 September 1965, ia mendapat berita kabur soal Buyung yang dibuang ke Pulau Buru, Maluku, karena ia merupakan salah satu pemimpin Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Semua baru jelas ketika Slamet, anak Buyung, menemui Ajip dan mengkonfirmasi berita soal pembuangan ayahnya ke Pulau Buru.
“... Tahun 1976 ketika berita tentang pembebasan para tapol dari Buru dimuat di surat-surat kabar, saya baca tentang Prof. Iskandar Poeradisastra di antara kelompok yang pertama dikembalikan dari Pulau Buru,” tulis Ajip. “Ketika saya telusuri, ternyata Prof Iskandar Poeradisastra itu adalah Buyung Saleh.”
Di Pulau Buru, kata Ajip, Buyung mendapat bimbingan dari seorang penyebar agama Islam dan menyadari bahwa "kekuatan yang lebih tinggi dan besar daripada manusia" adalah Tuhan.
Buyung menjadi rajin salat dan berpuasa. Ketika Slamet mengalami sakaratul maut, Buyung mendampingi anaknya itu dan memandunya mengucapkan kalimat syahadat. “Alhamdulillah, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, Slamet kembali kepada agama ayah-ibunya,” ujar Buyung kepada Ajip.
Setelah bebas, Buyung banyak menulis resensi buku dan esai sejarah. Ia menggunakan nama pena baru, SI Poeradisastra. Sebagai sejarawan muslim, Buyung juga menulis sebuah buku hasil telaahnya soal Islam dan dunia ilmu pengetahuan, yang kemudian berjudul Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (1981).
Masa lalu Buyung sebagai Marxis dan anggota partai komunis—yang kerap berseberangan dengan penguasa—menyulitkan kehidupannya yang baru.
Suatu kali, menurut Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 2: Maret 1946 - Maret 1947 (2008), Buyung bersama AH Nasution dan Muhammad Yamin menulis sebuah buku tentang hubungan Jenderal Sudirman dengan Persatuan Perjuangan Tan Malaka. Kala itu Sudirman sudah jadi manusia setengah dewa yang tak pernah salah bagi sebuah kaum. Maka, Jaksa Agung pun menunjukan peran rutinnya: melarang buku tersebut. Serangan lainnya datang dari Yusuf Abdullah Puar, dalam bukunya Patriotisme Jenderal Sudirman dan Kekaburan Penusan Sejarah (1985). Ia menyatakan Buyung “tampil di balik kedok palsu dengan menyembunyikan nama yang sebenarnya.".
Namun, terlepas dari situasi sukar itu, Buyung memberikan sumbangan bagi dunia Islam Indonesia. Ia menunjukkan bahwa Islam ialah agama yang mencintai dan ikut mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia menunjukkan bahwa bersama-sama masyarakat dunia, orang-orang Islam terbaik memperkaya peradaban dunia modern, bukan sibuk mencari cara kembali ke kehidupan primitif belasan abad silam.
Menurut Ajip Rosidi, “Bangsa Indonesia meskipun penduduknya mayoritas Muslim, namun kebanyakan tidak mengetahui sejarah dan kebudayaan Islam.” Termasuk tidak tahu bagaimana sumbangan Islam dalam ilmu pengetahuan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Dea Anugrah