Menuju konten utama

Sejarah Tradisi Dugderan di Semarang dan Makna Filosofinya

Sejarah Dugderan, tradisi penanda awal bulan Ramadhan di Semarang, yang biasanya dilaksanakan di daerah Simpang Lima Kota Semarang.

Sejarah Tradisi Dugderan di Semarang dan Makna Filosofinya
Karnaval Dugderan Menyambut Ramadhan Para peserta Karnaval Dugderan membawa maskot karnaval berupa patung hewan imajiner Warak Ngendok, saat melintas di Jalan Pemuda Semarang, Jateng, Jumat (27/6). (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)

tirto.id - Dugderan adalah tradisi penanda awal bulan Ramadhan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Perayaan Dugderan biasanya dilaksanakan di daerah Simpang Lima Kota Semarang.

Tradisi ini dimeriahkan dengan tabuhan bedug dan bunyi petasan yang juga menjadi asal kata penamaan Dugderan.

"Dugderan" berasal dari kata "Dug" dan "Der" dan mendapat akhiran an. Kata “Dug” diambil dari bunyi bedug masjid yang ditabuh berkali-kali, sedangkan kata “Der” sendiri berasal dari bunyi meriam atau ledakan petasan yang dinyalakan bersamaan dengan tabuhan bedug, demikian mengutip laman resmi Rumah Belajar Kemendikbud.

Sejarah Tradisi Dugderan

Tradisi ini pertama kali digelar sekitar tahun 1862 – 1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Kala itu umat Islam di Semarang kerap memiliki perbedaan pendapat mengenai awal masuknya bulang Ramadhan.

Oleh Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat, untuk menengahi silang pendapat tersebut, digelarlah sebuah perayaan yang bertujuan untuk menyeragamkan awal bulan Ramadhan.

Mengutip laman Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Kemendikbud, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat menghelat upacara dengan membunyikan suara bedug (dengan bunyi dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (dengan bunyi der) sebanyak 7 kali.

Prosesi tradisi Dugderan biasanya digelar 1-2 minggu sebelum Bulan Ramadhan tiba, yang terdiri dari tiga rangkaian acara yaitu Pasar Malam, prosesi pengumuman awal bulan Ramadhan, dan kirab budaya Warak Ngendok.

Pasar Malam diadakan agar semakin memeriahkan budaya yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, di Pasar Malam beraneka barang dijual seperti makanan dan kebutuhan rumah tangga.

Pada puncak perayaan, setelah mendengar kemeriahan bedug dan petasan, masyarakat kemudian akan berkumpul di alun-alun masjid Kauman, kata sambutan dan pengumuman awal bulan Ramadhan akan disampaikan oleh Bupati Semarang dan Imam Masjid Besar.

Selanjutnya akan diadakan kirab budaya Warak Ngendok yang menjadi ikon tradisi Dugderan. Warak ngendok adalah hewan mitologi bentuknya perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala dan buraq di bagian badannya.

Warak Ngendok sendiri berasal dari dua kata, yakni warak yang berasal dari bahasa arab “Wara'” yang berarti suci dan Ngendok artinya bertelur. Dua kata itu bisa diartikan sebagai siapa saja yg menjaga kesucian di Bulan Ramadhan kelak akan mendapatkan pahala di hari lebaran, demikian mengutip laman resmi Visit Jawa Tengah.

Baca juga artikel terkait TRADISI atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Yulaika Ramadhani