tirto.id - Pada momen ketika Nabi Muhammad lahir, jazirah Arab diimpit oleh dua kekaisaran: Romawi dan Persia. Keduanya memperebutkan wilayah Hijaz di Timur Tengah yang waktu itu belum terkuasai.
Romawi yang saat itu dalam kekuasaan Kekaisaran Byzantium menjadi pusat agama Kristen Timur atau Kristen Ortodoks, sementara Persia di bawah Kekaisaran Sasaniyah memiliki rakyat dengan mayoritas penganut Zoroaster.
Di tengah konteks geopolitik semacam itu, Nabi Muhammad lahir di Makkah pada 571 M atau sekitar 1449 tahun lalu.
Dalam khazanah Islam, tahun kelahiran Nabi Muhammad dikenal dengan "Tahun Gajah" yang menandai momen penting ketika raja vasal Ethiopia di Yaman, Abrahah bermaksud meratakan bangunan Ka'bah. Pasukan ini bertolak menuju Makkah dengan membawa gajah.
Ka'bah nyatanya tak pernah runtuh, dan pasukan Abrahah dihujani batu yang dilempar burung ababil, demikian dikisahkan dalam sumber-sumber resmi Islam. Peristiwa penyerangan Ka'bah ini juga diabadikan dalam Alquran surah Al-Fiil.
Di "Tahun Gajah" itulah, bayi Muhammad lahir dari rahim Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf bin Zuhra sebagai anak yatim. Ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal dalam perjalanan niaga dari Syam. Abdullah meninggal ketika singgah ke tempat saudara ibunya di Yatsrib.
Selepas Aminah melahirkan, Abdul Muthalib amat gembira dan membawa bayi yang baru lahir itu ke Ka'bah, serta memberinya nama Muhammad. Nama "Muhammad" yang dipilihkan Abdul Muthalib menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum Arab Makkah.
Ketika diadakan "kenduri" penyembelihan unta selepas 7 hari kelahiran sang bayi, sebagaimana dituliskan Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980), orang-orang Quraisy bertanya-tanya kenapa nama bayi itu tidak diambil dari nama-nama nenek moyang mereka.
Abdul Muthalib yang menyaksikan kedahsyatan peristiwa "Perang Gajah" dan bantuan serangan dari "langit" lantas menjawab: “Kuinginkan dia [Muhammad] akan menjadi orang yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.”
Dalam bahasa Arab, kata "Muhammad" diambil dari kata sifat yang berarti "orang yang terus-menerus terpuji." Harapan Abdul Muthalib terkabul karena Nabi Muhammad SAW menjadi sosok yang demikian berpengaruh, berbudi pekerti luhur hingga dijuluki Al-Amin (orang terpercaya), dan memperoleh tempat khusus di sejarah dunia.
Dilansir dari NU Online, dikisahkan bahwa pada malam kelahiran Nabi Muhammad, istana kisra di Persia berguncang hingga 14 ruangannya roboh. Api kaum Zoroaster yang disembah penganut Majusi pun padam. Padahal, api tersebut telah menyala selama 1000 tahun.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW ini diyakini telah "memadamkan api" penganut Majusi, menandai kemunculan penyampai pesan "ketuhanan" di tengah impitan imperium Romawi dan Persia.
Esoknya, air danau Sawah di Persia surut. Beberapa sumber mata air mengering dan rakyat Kisra kebingungan. Seseorang kepercayaan di Kisra bernama Al-Mubidzan bermimpi melihat unta-unta bermuatan berat menuntun kuda-kuda bagus. Unta-unta tersebut berjalan mengarungi sungai Tigris dan sungai Eufrat, lalu menyebar ke sejumlah negerinya. Mimpi itu ditafsirkan sebagai kelahiran Nabi Muhammad SAW yang menjadi momen besar di seluruh penjuru Arab.
Kelahiran Nabi Muhammad juga diyakini membawa berkah bagi orang-orang di sekitarnya. Halimah As-Sa'diyah, diriwayatkan terus menerima keberuntungan, sejak pertama kali ia mengambil bayi Muhammad bin Abdullah sebagai bayi susuannya.
Ketika bayi itu disusui, air susu Halimah yang sebelumnya sedikit menjadi deras mengalir. Unta yang ditumpanginya dan sang suami ketika mengambil Muhammad menjadi gemuk dan kuat menempuh perjalanan dari Makkah ke Thaif. Kabilah bani Sa'ad asal Halimah As-Sa'diah juga tak henti-henti dilimpahi keberkahan selepas Muhammad berada di lingkungan mereka.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom