tirto.id - Tujuh puluh tahun lalu Ponijan menyimpan rahasia negara. Tugasnya membawa surat dari Letnan Satu Sumarkijo kepada Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia. Dengan berjalan kaki, ia menyusuri perbukitan Menoreh dan menghindar dari sergapan Belanda. Konon, selama membawa sandi negara, Ponijan tak pernah tertangkap. Orang biasa seperti dirinya juga punya peran penting dalam sejarah.
“Bapak masih kecil, belum supit [sunat] waktu itu,” kata Ngadiman, anak Ponijan, kepada Tirto, Kamis (18/8/2016).
Enam puluh tahun lalu, kakek Ngadiman, Marto Setomo merelakan rumahnya dijadikan markas bagi para code man, penulis kode rahasia informasi negara. Rumah itu berdiri di lereng pegunungan Menoreh—30 km ke arah barat dari pusat Yogyakarta. Rimbunan pohon dan bukit-bukit yang menjulang menyembunyikannya dari mata pilot pesawat Belanda. Belakangan rumah itu disebut “rumah sandi” dan kini masuk dalam wilayah Dukuh, Purwoharjo, Samigaluh Kulon Progo.
Di rumah itulah 70 tahun lalu Letnan Kolonel Dr. Rubiono, kepala Dinas Code, mengambil langkah penting dalam sejarah sandi negara di Indonesia. Ia memerintahkan anak buahnya untuk memantau perkembangan Republik ketika Yogyakarta jatuh akibat Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Informasi dari titik-titik gerilya di di wilayah Republik dipantau dari rumah itu. Informasi berharga tersebut lantas diteruskan kepada T.B. Simatupang di Banaran.
“Bapak bertugas mengirim surat ke Banaran,” ujar Ngadiman.
Banaran berjarak sekitar lima kilometer ke arah barat dari rumah Ponijan. Di kampung itulah Simatupang memantau situasi Republik di kota Yogyakarta sekaligus menyusun strategi setelah Yogyakarta jatuh dan Sukarno-Hatta ditawan Belanda. Beruntung, keduanya sempat memerintahkan Syafruddin Prawiranegara membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.
“Hubungan dengan Sumatra belum lagi dapat diadakan saat itu. Tetapi menurut perwira-perwira dari Jawatan-jawatan Perhubungan, mereka mempunyai harapan bahwa tidak lama lagi telegram yang pertama akan dapat dikirim ke Sumatra,” terang T.B. Simatupang dalam Laporan dari Banaran (1960).
Saat Yogyakarta dikuasai, stasiun-stasiun radio telegram di Bukittinggi ikut dibombardir. Akibatnya, para pegawainya kocar-kacir. Beruntung, mereka masih bisa menyelamatkan radiogram ke hutan-hutan dan berhasil menerima siaran dari Jawa.
Baru pada akhir Januari 1949, kata Simatupang, hubungan radio telegrafis antara Jawa dan Sumatra itu pulih. Dari Sumatra informasi diteruskan lagi ke perwakilan Indonesia ke New Delhi, di sana ada A.A. Maramis yang ditunjuk untuk mendirikan republik perwakilan jika pemerintah darurat di Sumatra gagal. Sejarah mencatat, dari hubungan radiogram itulah dunia tahu Republik Indonesia masih berdiri.
“Kemudian saya dengar, bahwa hubungan radio-telegrafis dari Sumatera ke New Delhi itu selalu mempergunakan stasiun antara, yakni di Rangoon, di mana tentara Burma menyediakan suatu pemancar bagi orang-orang kita. Pada waktu itu radio New Delhi sering menyiarkan berita-berita yang kita kirim dari Jawa, hal mana sangat baik pengaruhnya atas semangat di kalangan kita,” jelas Simatupang.
Akhir Januari 1949, Simatupang bisa sedikit lega. Titik-titik gerilya di Gunung Kidul, Gunung Lawu, Sumbing, dan Lawu bisa terorganisir melalui “radio-telegrafis”. Demikian pula hubungan dengan luar negeri yang belakangan sangat menentukan dalam perundingan Indonesia-Belanda di hadapan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
“Dengan memasang pemancar kecil di sini [Menoreh], hal mana disanggupkan Kapten Darttojo, maka radiogram-radiogram dapat dikirim ke pemancar-pemancar yang lebih besar Wonosari dan di Balong, di lereng Gunung Lawu. Pemancar-pemancar yang besar ini dapat meneruskan radiogram-radiogram itu ke Sumatera, dan melalui Sumatera hubungan dengan luar negeri dapat diadakan,” lanjut Simatupang.
Situasi itu jauh lebih baik dibanding pagi kelabu 19 Desember 1948. Ketika ia buru-buru pergi dari Markas Besar Jawa (markas angkatan perang wilayah Jawa) dan jawatan sandi di Jalan Batanawarsa, Yogya saat dar der dor senapan Belanda makin terdengar mendekat.
Di jawatan sandi itulah ia menemui Rubiono. “Kepada Dr Rubiono, dokter sandi kita, saya minta supaya diusahakan agar hubungan dengan Bukittinggi terus menerus terbuka, sebab besar kemungkinan kabinet akan mengirimkan telegram,” pesannya.
Pesan itu didengar Rubiono, tapi tak sepenuhnya bisa dilaksanakan sebab pasukan Belanda terlanjur dekat dengan kantor Jawatan Sandi. Rubiono akhirnya menyuruh anak buahnya untuk berpencar menyelamatkan diri dan membawa peralatan sandi, termasuk Buku C, buku berisi sandi-sandi yang ia buat dua tahun sebelumnya. Buku itulah yang dijadikan patokan sandi negara.
Beberapa anak buahnya ada yang lari ke Gunung Kidul, sementara ia sendiri pergi ke barat, ke Menoreh. Setelah menemukan persembunyian di rumah Merto Semoto, ia melanjutkan perjalanan ke Jawa Barat. Kemungkinan ia mendirikan pemancar radio rahasia di sana.
Hikayat Sang Pembuat Kode
Raden Rubiono Kertopati nama lengkapnya. Seperti kode yang ia buat, kisah hidupnya tak mudah terpecahkan. Rubiono seperti menyimpan teka-teki sejarah.
Ia hanya diketahui lahir di Ciamis, Jawa Barat dari keluarga ningrat. Ia tercatat pernah sekolah “dokter Jawa” di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) Surabaya. Ia punya sahabat dekat, Ibnu Sutowo dan G.A. Siwabessy. Belakangan Ibnu jadi “bapak Pertamina” dan Siwabessy “bapak atom” Indonesia.
Ketiga sahabat ini berpisah sekitar 1941. Belanda terdesak Jepang di Pasifik. Mereka harus mengamankan Papua sebagai antisipasi. Sebagian lulusan NIAS diperbantukan di dinas medis ketentaraan Belanda di Papua, termasuk Rubiono.
Kurang lebih empat tahun Rubiono di pedalaman Papua untuk memberikan vaksinasi malaria kepada warga di sana. Pada 1944, setahun menjelang Jepang kalah, Rubiono dipindahkan sebagai tentara medis cadangan di Detasemen III tentara Belanda, NICA.
Tapi ada “puzzle” yang belum ditemukan dari jejak langkah Rubiono. Bagaimana ia bisa kembali lagi ke Indonesia dan bergabung dengan tentara Republik? Hingga akhirnya ia dipanggil Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin pada 4 April 1946 untuk memimpin Dinas Code, sebuah badan pemberitaan rahasia milik negara.
Hingga kini belum jelas alasan Amir memilih Rubiono. Tapi Tampil Chandra Noor Gultom, Subbag Infomasi-Bagian Humas dan Kerja sama Museum Sandi Yogyakarta, kepada Tirto menyampaikan, sandi buatan Rubiono dianggap paling efektif dibanding sandi sebelumnya. “Kerumitannya tinggi,” kata Tampil, Kamis (18/8/2016).
Tampil menambahkan, Rubiono saat itu belajar sandi secara autodidak. Ilmu itu ia dapatkan dari pengalaman selama menjadi tenaga medis dan sering berkomunikasi secara rahasia dengan tentara. Sampai akhirnya ia memiliki insting dan intuisi untuk menciptakan sandi. Di dalam Buku Kode C buatan Rubiono itu terdapat tanda baca, cara menulis, arti, dan lain sebagainya. “Satu sama lain tidak ada kesamaan,” terangnya.
Buku Kode C itu terdiri dari 10.000 kata dalam bahasa Inggris dan Belanda. Buku ini menjadi pedoman para penulis kode di awal-awal Republik berdiri. Namun, sandi-sandi itu selalu diubah tiap minggu atau bulan. "Untuk menghindari kebocoran," jelasnya.
Selama kurun 1946 sampai 1948 sandi buatan Rubiono terus digunakan. Sandi tersebut juga dipakai saat Indonesia menghadapi perundingan-perundingan dengan Belanda. Termasuk ketika terjadi Serangan Oemoem Satu Maret 1949 yang memberi pesan kepada dunia Internasional bahwa Indonesia masih bisa melawan, Indonesia masih ada. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Peristiwa 6 jam di Yogya.
“Pengiriman [informasinya] dengan model telex dengan morse,” beber lulusan arkeologi itu.
Selama dipakai apakah sandi Rubiono pernah bocor?
“Untuk kabar tersebut sendiri saya belum tahu. Yang saya tahu bahwa dengan sistem monitoring, akan membuat efektif untuk pemantauan,” aku Tampil.
Sandi buatan Rubiono ternyata pernah bocor. Pratama B. Persada di video YouTube “Kode untuk Republik” menjelaskan bahwa pada saat pemerintah Indonesia membuat pemerintahan darurat di Sumatra (PDRI), radiogram yang bocor. Kabar itu sampai di telinga petinggi Belanda. “Hal ini terekam melalui laporan CMI [dinas intelijen Belanda] mengenai PDRI yang dikeluarkan di Batavia 7 Juni 1949,” jelasnya.
Namun, informasi yang didapat Belanda itu sepertinya telat. Sebagaimana diketahui, Simatupang telah bisa menjalin hubungan dengan Sumatra pada akhir Januari 1949. Saat itu Simatupang bergerilya di Banaran di kawasan perbukitan Menoreh, sekitar 8 kilometer dari Gua Sriti, markas gerilya Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.
“Dan sekarang, seratus dua puluh tahun kemudian [1948], kami dengan dengan tidak sengaja telah tiba di sana,” kata Simatupang dalam Laporan dari Banaran.
“Belajar dari sanalah pejuang-pejuang itu dari kemudian hari tahun 1948 merasa sangat bagus dan efektif untuk melakukan persembunyian,” jelas Tampil.
Rubiono di antara Rahasia Negara
Semua pejuang Republik akhirnya keluar dari persembunyian ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Agustus 1949. Rubiono yang sebelumnya pergi ke Jawa Barat kembali menjabat sebagai Kepala Jawatan Sandi Negara.
Tidak banyak yang bisa diceritakan dari Rubiono selama Indonesia dalam kekuasan Sukarno. Dua lembar surat keputusan yang diteken Sukarno pada 23 Noveber 1954 sedikit memberi petunjuk tentang dirinya. Pada surat itu disebutkan Rubiono sebagai Kepala Jawatan Sandi ditunjuk sebagai anggota “Panitia Negara untuk Penjelidikan Radio-aktivitet”. Panitia ini bertugas menyelidiki potensi atom sebagai sumber energi baru di Indonesia. Di kepanitiaan itu ia bertugas bersama G.A. Siwabessy, ahli atom yang bekerja di Kementerian Kesehatan. Sahabatnya semasa di NIAS.
Sampai menjelang kekuasaan Sukarno berakhir pada 1965, nama Rubiono kembali muncul. Ia disebut sebagai anggota tim dokter tentara yang melakukan autopsi terhadap tujuh Pahlawan Revolusi atas perintah Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban.
Namun, saat itu laporan rinci tentang autopsi tidak pernah dipublikasikan. Sebagaimana diketahui, informasi yang beredar selanjutnya menyatakan sebelum jenazah para jenderal dibuang ke sumur di Lubang Buaya mereka disebut mengalami penyayatan keji. Tubuh mereka disayat dengan silet sebagaimana digambarkan dalam film Pengkhianatan G30 S/PKI.
Atas nama rahasia tentara, Rubiono bungkam setidaknya sampai Soeharto menjabat sebagai pejabat Presiden pada 1967. Sejak tahun itu, peran Rubiono dalam telekomunikasi Indonesia terhitung penting. Ia menjabat sebagai Dewan Telekomunikasi Indonesia sekaligus mendirikan Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari).
Rubiono pula yang mewakili Indonesia dalam konferensi Intelsat. Intelsat merupakan perusahaan layanan satelit terkemuka dengan anggota Amerika Serikat (AS), Australia, Jepang, Kanada, dan Tujuh Negara Eropa. Perusahaan ini berencana meluncurkan Intelsat lll yang mengorbit di daerah Samudra Hindia pada 26 Januari 1967.
Pada surat delegasi AS tertanggal 4 Maret 1969, disebutkan Rubiono memiliki kesan terhadap delegasi AS bahwa rencana peluncuran satelit itu itu hanya untuk kepentingan Intelsat. Karenanya ia mengusulkan satelit juga diperuntukkan bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Delegasi AS menyetujui usulan itu dengan syarat sistem satelit di Indonesia sesuai dengan Intelsat dan bersedia membayar setiap akses terhadap satelit itu. Belakangan akses satelit Intelsat III dipakai oleh Indosat dan mulai beroperasi secara komersial selama 20 tahun sejak September 1969.
Peran Rubiono tak hanya di bidang telekomunikasi, di bidang kesehatan keahliannya masih dibutuhkan. Ia ditunjuk Soeharto untuk menjadi dokter kepresidenan. Salah satu tugasnya adalah mengawasi kondisi kesehatan Sukarno selama “disingkirkan” Soehato.
Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, pada artikelnya di Jawa Pos menulis, ada perbedaan perlakuan antara Soeharto dan Sukarno ketika mereka sama-sama menjadi mantan kepala negara. Soeharto memperoleh hak dan fasilitas, sementara Sukarno menjadi semacam tahanan rumah di Wisma Yaso dan tidak boleh dikunjungi masyarakat umum.
“Putrinya sendiri, Rachmawati, hanya boleh besuk pada jam tertentu,” tulis Asvi dalam artikel berjudul “Beda Pemakaman Soeharto dan BK”, yang dimuat pada 28 Januari 2008, sehari setelah Soeharto mangkat.
Menurut Asvi, Rachmawati pernah menanyakan kondisi Bung Karno kepada Rubiono selaku dokter kepresidenan, bahwa ayahnya menderita gagal ginjal saat dirawat di RSPAD, tapi mengapa tidak dilakukan cuci darah. Jawaban Rubiono ketika itu, “alat itu sedang diupayakan untuk dipesan ke Inggris.”
Sampai kemudian Sukarno wafat pada 21 Juni 1970, cuci darah itu tak pernah dilakukan. Sementara setahun kemudian Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1971 meluncur. Isinya tentang perintah Soeharto untuk membangun RSPAD. “Ditetapkan dalam Keppres Mayjen TNI Dr. Roebiono Kertopati sebagai Ketua Dewan Pengawas,” demikian ditulis di situs resmi RSPAD.
Kala mendapat tugas itu, Rubiono juga masih menjabat sebagai Kepala Sandi Negara. Ketika “dokter sandi” ini meninggal pada 23 Juni 1984, tepat hari ini 36 tahun lalu, masih banyak “kode-kode” yang belum terpecahkan hingga kini.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 Agustus 2016 dengan judul "Kode Rahasia dr Rubiono di Bukit Menoreh". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan