tirto.id - Sardjono sudah belasan tahun berdiam di Tanah Merah, Boven Digoel, pedalaman Papua bagian selatan. Dia dan seribuan orang lainnya berada di sana karena diasingkan pemerintah kolonial. Dalam sejarah, Boven Digoel dikenang sebagai hutan belantara yang sepi dan jauh dari hingar-bingar perpolitikan Hindia Belanda. Seperti beberapa orang buangan lainnya, Sardjono juga membawa keluarganya ke sana.
Suatu hari setelah belasan tahun di pedalaman Papua, datanglah seorang laki-laki kurus dan tinggi. Namanya Charles van der Plas. Ia birokrat Belanda yang berpengalaman dan punya keahlian seperti orientalis. Di sana, van der Plas membujuk orang buangan layaknya seorang saudara. Atas nama otoritas Belanda, van der Plas ingin membawa mereka ke Australia.
Sardjono dan penghuni Digoel lainnya, menurut Rupert Lockwood dalam Armada Hitam (1983: 27), “tidak mengetahui apa yang dinamakan Perang Dunia II” yang kala itu sedang berkobar. Mereka juga tidak tahu Hitler mencaplok sebagian kawasan Eropa. Mereka, yang kebanyakan orang komunis, tidak tahu pula bahwa Leon Trotsky sudah dibunuh orangnya Stalin.
Salah satu orang buangan di sana, Chalid Salim, Adik Haji Agus Salim, juga diajak bicara oleh van der Plas. Dalam Vijftien Jaar Boven Digoel (1973: 344), Chalid Salim menyebut van der Plas memperlakukannya dengan hormat dengan memanggilnya Meneer (tuan). Salim termasuk orang yang mudah diyakinkan untuk ikut ke Australia.
Akhirnya, seperti dicatat Harry Albert Poeze dalam bukunya yang didiskusikan minggu lalu di Rujak Cikini, PKI Sibar: Persekutuan Aneh Antara Pemerintah Belanda dan Orang Komunis di Australia 1943-1945 (2014), van der Plas dan koleganya berhasil membawa 524 penghuni Digoel—dengan rincian 316 laki-laki dewasa, 69 perempuan, dan 139 anak-anak (hlm. 15).
Di Australia sebuah kamp yang agak mirip Digoel dibuat di Cowra, dekat Sidney. Kamp itu disediakan bagi orang-orang buangan dari Digoel. Evakuasi para penghuni kamp interniran Tanah Merah itu juga direstui Panglima Tentara Sekutu Jenderal Douglas McArthur. Tujuannya agar mereka tak menguntungkan balatentara Jepang yang menjadi musuh di Front Pasifik.
Kaum Komunis Dikaryakan
Hindia Belanda sudah tamat riwayatnya sejak 8 Maret 1942. Tapi ada pelarian pemerintah kolonial yang tak ikut menyerah pada Jepang. Mereka adalah pejabat-pejabat yang kabur ke Australia. Di sana mereka membangun pemerintahan pengasingan. Charles van der Plas adalah salah satu dari mereka. Di sana, pejabat berdarah asli Indonesia juga ada, di antaranya Loekman Djajadiningrat dan Abdulkadir Widjojoatmodjo.
Kehadiran orang-orang Indonesia yang baru dievakuasi dari Digoel itu tak disia-siakan pemerintahan Hindia Belanda pengasingan. Bekas orang buangan itu diberi pekerjaan, sudah pasti yang menguntungkan Belanda.
Menurut Urhen Lukman dalam biografi ayahnya, Memoar Lukman: Seorang Pejuang Perintis Kemerdekaan RI (2011), beberapa Digoelis yang masih bujangan dimasukkan dinas militer di Towoomba—untuk tugas administrasi, pergudangan, dan lainnya—pada akhir 1943. Mereka tak dikirim ke front pertempuran secara langsung. Sementara yang sudah berkeluarga dipindahkan ke kota Mackay di Queensland pada Mei 1944 (hlm. 55).
Poeze menyebut para digulis itu ada yang dipekerjakan di Netherlands Indies Governement Information Service (NIGIS). Di sana berdiri juga suratkabar empat halaman yang terbit dua kali seminggu, Oetoesan Penjoeloeh. Sardjono dan seorang dokter pemerintah bernama Ma’moen Al Rasjid Koesoemadilaga kemudian mengusulkan sebuah perkumpulan (hlm. 27-28).
Pada 24 Mei 1944, sebanyak 16 orang berkumpul. Di antaranya Rantulalo, Boerhanoeddin, Soeka, Maskoen, T.A. Moerad, Djamaloeddin Thaib, mantan wedana Digoel Raden Mohamad Singer, Alibasah Winanta, bahkan dua letnan Angkatan Laut Kerajaan Belanda bernama M. Nelwan dan Abdoelrachman Atmosoediredjo. Sardjono dipercaya jadi Ketua Komite.
Van der Plas merestui organisasi yang mereka rancang dan pada 6 Agustus 1944 terbentuklah Serikat Indonesia Baroe (SIBAR). Organ ini belakangan dikhawatirkan para pejabat Hindia Belanda. Meski Sardjono bersikap amat manis terhadap para pejabat Belanda yang mempekerjakan mereka.
Banyak yang menyebut mereka mau bekerjasama dengan Belanda tak lain karena ada musuh besar bersama: balatentara fasis Jepang. Kebetulan kekuatan komunis dunia Uni Soviet pimpinan Stalin juga melawan balatentara NAZI Jerman yang dipimpin Adolf Hitler, yang sama-sama fasis seperti Jepang. Atas nama antifasisme, untuk sementara permusuhan terhadap Belanda dikesampingkan dulu. Dijadikan agen intel Belanda NEFIS pun tak apa.
Masa-masa di Australia itu dianggap sebagai periode hidup kembalinya PKI yang disikat pada 1926. Jika di Digoel mereka sulit menambah pengikut atau sekadar menanam pengaruh ke pihak lain, maka di Australia memungkinkan. Di negeri itu banyak pelaut Indonesia bergaji rendah yang ikut kapal-kapal Belanda.
Selain itu, Digoelis eks PKI punya kawan sepaham, yakni Partai Komunis Australia. Rupert Lockwood menyebut PKI membuka hubungan dengan partai komunis lokal seperti di Helidon dan Bundaberg. Sardjono dan kawan-kawan komunis yang bekerja sama dengan Belanda itu belakangan dikenal sebagai PKI-SIBAR.
Hubungan dengan orang-orang partai komunis di Australia itu sangat menguntungkan Indonesia. Mereka bersama-sama menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Adanya anggota Partai Komunis Australia yang jadi tentara dan sukses membebaskan beberapa daerah yang sebelumnya diduduki Jepang juga membuat propaganda kaum pendukung kemerdekaan Indonesia bisa sampai.
Komite Indonesia Merdeka (KIM), seperti dicatat Anthony Reid dan Marin O’Hare dalam Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1995: 19-20), telah mengirim pamflet-pamflet dari Australia ke Balikpapan lewat tentara Australia.
Nasib Eks PKI Sibar
Di akhir Perang Dunia II, beberapa mantan Digulis yang bekerjasama dengan Belanda itu ada yang dikirim ke daerah yang berhasil dikuasai Sekutu, seperti Hollandia alias Jayapura atau Morotai (Maluku Utara). Sardjono sendiri, seperti ditulis Poeze, dikirim ke Morotai karena dianggap membahayakan oleh van der Plas (hlm. 47).
Seperti dicatat Abdul Haris Nasution dalam Seputar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1 (1977: 427), di Morotai terdapat seorang eks Digulis yang dijadikan semacam opsir NICA bernama Dahlan. Suatu kali Dahlan dilapori soal rencana pemberontakan anggota KNIL Indonesia yang baru direkrut di Morotai. Namun Dahlan menahan rencana yang merugikan orang Indonesia itu (hlm. 427).
Opsir NICA di Makassar juga terdapat mantan Digulis bernama Mochtar Lutfie. Dia bukan PKI, tapi dari Permi Sumatra Barat. Pada 1950 dia dibunuh di jam-jam salat subuh di rumahnya di Makassar. Hingga kini di kota Makassar terdapat Jalan Mochtar Lutfie.
Belakangan, Sardjono bermantukan Abdoelrachman. Mereka kembali ke Jawa. Sardjono tergolong apes, dia terbunuh sekitar 1948. Abdoelrachman tidak ada kabarnya setelah 1948. Namun setahun sebelumnya, Abdoelrachman sempat dijadikan kepala badan intelijen. Laki-laki yang dituduh mantan NEFIS ini menjadi Kepala Kementerian Pertahanan bagian V (KP-V), ketika Menteri Pertahanan dijabat Amir Sjarifoeddin. Di organ intel itu terdapat orang PKI bernama Tjoegito sebagai Penasehat Istimewa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan