Menuju konten utama

NEFIS: Intel Belanda Mengintai Indonesia

NEFIS adalah momok bagi kaum Republiken di zaman Revolusi. Sementara badan intelijen Indonesia berantakan.

NEFIS: Intel Belanda Mengintai Indonesia
Pelantikan perwira Netherlands Force Intelligence Service (NEFIS); 1946. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Haji Mattaliti punya toko di Tunjungan, Surabaya. Waktu revolusi kemerdekaan tokonya tetap buka. Tokonya kerap dikunjungi dan menjadi tempat berkumpul orang-orang Bugis dan Makassar dari Sulawesi Selatan.

Begitupun pada 18 Juli 1947. Seorang pemuda yang baru tiba dari seberang datang berkunjung ke toko itu. Tiba-tiba seorang keturunan Arab bertamu juga ke toko. Sang tamu itu bernama Alimuddin Al Habsy. Marga Al Habsyi biasanya merujuk pada habib alias keturunan Nabi Muhammad SAW. Di masa Revolusi, Habib Alimuddin adalah pengkhianat Republik. Ia seorang loyalis NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), pemerintah sipil Hindia Belanda.

Kepada pemuda yang baru mendarat di Surabaya itu, Al Habsyi menghardik, “Engkau pemanggul senjata, saya tangkap kamu!”

Pemuda itu berusaha bersikap tenang. Setelahnya datang pula laki-laki dengan seragam tentara bernama Djunaidi, anggota Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS), intel Belanda yang kerjanya mencari info tentang pasukan Republik Indonesia.

“la juga datang mencari pemuda bernama Mustari, seorang "extremist dari seberang". Tapi setelah melihat saya, yang muka dan pakaiannya kotor dan compang-camping, Djunaidi pun tak bisa melaksanakan niatnya,” ingat Andi Mattalata—pemuda yang dihardik orang Arab itu—seperti tertulis dalam Meniti Siri Dan Harga Diri: Catatan Dan Kenangan (2003: 417).

Waktu itu, ayahanda dari Andi Meriam Mattalata ini adalah bagian dari tentara Republik yang dikejar-kejar tentara Belanda.

Bukan Andi Mattalata saja jadi buruan dan intel NEFIS pun bukan cuma Djunaidi. NEFIS adalah badan intelijen yang terbentuk di Australia waktu pejabat-pejabat Belanda mengungsi ke sana. Panglima tentara Belanda di Indonesia di zaman Revolusi, Simon Hendrik Spoor, pernah jadi direktur NEFIS. Badan intelijen ini adalah momok bagi kaum Republiken.

“NEFIS yang dibangun oleh Jenderal Spoor itu berhasil juga dalam perang urat syarafnya untuk menimbulkan perasaan dan suasana takut di kalangan kita,” tulis Tahi Bonar Simatupang dalam bukunya yang tersohor, Laporan Dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan (1980: 166).

NEFIS kerap jadi kambing hitam atas masalah apapun yang mereka alami. “Setiap kali ada kesulitan-kesulitan yang besar di kalangan kita, maka hal itu selalu dianggap pekerjaan NEFIS,” tulis Tahi Bonar Simatupang. NEFIS tak jarang jadi ajang fitnah. Simatupang juga mencatat, “Tiap orang yang tidak disukai dicoba untuk dicap Agen NEFIS.”

Mantan Menteri Penerangan sekaligus orang terdekat Soeharto di awal Orde Baru, Ali Moertopo, pernah dituduh sebagai anggota NEFIS. Menurut Soemitro dalam autobiografinya, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 (1998), “katanya [Kasman Singodimedjo] Ali Moertopo dulu bekas tentara Angkatan Laut Belanda, dia bagian dari spionase Nederlands Force Intelligence Service (NEFIS). Kemudian tertangkap di daerah Tegal oleh Hizbullah” (hlm. 278).

Namun, Ali kemudian dimanfaatkan oleh komandan Hizbullah sebagai agen ganda. Benar-tidaknya cerita dari Kasman itu, toh Ali nyatanya ikut pihak Republik dan terlibat dalam Revolusi Indonesia.

Orang Bali yang terkenal nekad jika bertempur pun bisa berkepala dingin dalam menghadapi NEFIS, yang suka mengorek informasi dari orang-orang Indonesia, termasuk dengan menyiksa pejuang Republik yang tertangkap.

Ktut Sudiri Panyarikan dalam I Gusti Ngurah Rai (1982) menyebut orang Bali punya I Gede Wayan Samba. Dia berhasil memasuki kalangan intelijen Belanda atas bantuan orang-orang Tionghoa Denpasar.

“Selama menjadi anggota intelijen Belanda (NEFIS), ia dapat mengirimkan berita tentang kekuatan- kekuatan pasukan N.I.C.A. di Tabanan,” tulis Panyarikan (hlm. 92).

Wayan Samba melakukan lebih dari itu. Dia juga berhasil menghasut pembubaran pasukan Bantuan Kepolisian yang terdiri dari orang-orang Tionghoa di sana. Atas orang-orang yang hendak dihukum mati, Wayan Samba berhasil pula menyelamatkan banyak anggota pejuang dari hukuman tembak.

Infografik NEFIS

Ikut NEFIS Gara-Gara Istri Direbut

Ada banyak alasan mengapa seorang Indonesia mau jadi mata-mata NEFIS. Bisa karena uang, bisa juga alasan lain seperti sakit hati. Penulis Robohnya Surau Kami, Ali Akbar Navis punya cerita menarik soal orang Padang yang jadi NEFIS, seperti ditulis dalam autobiografinya. Waktu sekolah di INS Kayutanam, dia punya kawan bernama Patiah. Dia orang kota, pengelola usaha percetakan.

Zaman Revolusi itu Patiah sudah kawin, tapi istrinya tidak serumah dengannya waktu Revolusi terjadi. Istrinya tinggal di kampung. Suatu kali, istrinya kena gaet seorang letnan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Navis tahu, Patiah tidak punya kesadaran politik yang mendalam. Tapi, kelakuan itu letnan bikin Republik Indonesia jadi musuh Patiah. Dia merasa terhina oleh si letnan. Tak heran jika Patiah rela ikut serdadu Belanda patroli ke kampung istrinya. Dia gabung dengan NEFIS di Bukittinggi. Dia berharap si penggaet istrinya ditemukan di kampung dan dia ingin si penggaet itu kena bedil Belanda. Entah oleh serdadu KNIL atau oleh tangannya sendiri.

“Ia sama sekali tidak membenci Republik dan pejuangnya,” tulis Navis.

Setelah Belanda angkat kaki, Patiah tidak lagi jadi NEFIS. Dia kembali hidup normal. Terkait rapat para pejuang di Toko Buku Djelita, Patiah kemudan bercerita: “Saya tahu apa yang kalian percakapkan, apa yang kalian rencanakan. Dari balik dinding sebenarnya saya dapat membunuh kalian, tapi itu tidak saya lakukan.”

Sementara itu, NEFIS juga meraba-raba dan berusaha mengintai bagaimana aktivitas badan intelijen Indonesia? Kala itu, badan intelijen Indonesia belum mapan. Pernah ada Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) pimpinan Zulkifli Lubis—yang belakangan dikenal sebagai Bapak Intelijen Indonesia. Lubis mati-matian membangun sebuah badan intelijen, namun usianya tidak lama.

“Walaupun Sukarno tanpa ragu-ragu mempercayai Lubis, namun ada beberapa pejabat sipil Departemen Pertahanan melobi agar fungsi intelijen tak berada lagi di bawah naungan militer tetapi di bawah naungan sipil,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2009: 5).

Setelah BRANI bubar, muncul Bagian V di era Amir Sjarifuddin jadi perdana menteri. Lalu ada Biro Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP) di tubuh Angkatan Perang. Tentu saja, lembaga-lembaga intel itu sulit bekerja karena keadaan negara yang masih morat-marit.

Berdasarkan catatan Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990: 344), meski keakuratannya tidak terjamin, NEFIS sudah menghitung kekuatan TNI. “NEFIS menaksir TNI bersenjata 1:4, artinya 1 senjata untuk 4 orang” (hlm. 344). Sementara itu, orang-orang Republik saling gontok terkait badan intelijen yang tidak mapan-mapan dan belum menjalankan fungsi intelijen dengan benar. Bahkan hingga hari ini, ketika kita merayakan hari ulang tahun Badan Intelijen Negara ke-72.

Baca juga artikel terkait INTELIJEN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan