tirto.id - Perang Dunia II adalah konflik paling berdarah-darah dalam sejarah umat manusia. Dampaknya menyasar jutaan warga di ketiga belah pihak, baik negara anggota Sekutu, Poros, maupun yang netral. Perang secara efektif menghancurkan beragam rupa infrastruktur hingga memandekkan roda ekonomi.
George Carlett Marshall Jr, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, adalah orang yang saat itu berupaya melobi pemerintahan Presiden Harry S. Truman untuk program pemulihan Eropa.
Marshall berbicara soal mendesaknya bantuan bagi Eropa di berbagai kesempatan sejak awal 1947. Ia tidak sendirian. Seorang industrialis bernama Lewis H. Brown, misalnya, juga menulis A Report on Germany. Isinya soal rekonstruksi Jerman pascaperang, yang kemudian menjadi dasar utama bagi program Marshall Plan.
Rencana itu menuai polemik di level elite pemerintahan; di mana politisi Republikan mengontrol Kongres, sementara barisan Demokrat menguasai Gedung Putih. Perjuangan di Senat berakhir pada 31 Maret 1948 ketika Marshall Plan lolos. Program efektif berlaku per 3 April 1948, tepat hari ini 71 tahun lalu. Marshall Plan diberlakukan hingga empat tahun berikutnya.
Kepentingan Politik, bukan Kemanusiaan
Nama resminya adalah European Recovery Program (ERP). Total dananya $12 miliar. Jika dihitung dengan kurs 2016, nilainya hampir mencapai $100 miliar.
Uang itu dipakai untuk membangun berbagai infrastruktur vital. Aturan-aturan perdagangan yang mengekang dikendorkan agar pebisnis bisa berekspansi ke negara tetangga. Dana segar mengalir ke berbagai pusat industri agar lebih produktif sekaligus bagian dari program modernisasi pabrik.
Marshall Plan dibagi-bagi berdasarkan basis per kapita. Porsi besar diberikan kepada negara industri anggota blok Sekutu karena kebangkitan pusat-pusat produksi diperhitungkan akan menggerakkan roda perekonomian lain yang lebih luas. Porsi yang lebih sedikit diberikan kepada negara-negara Poros atau yang netral.
Penerima terbesar dana Marshall Plan adalah Inggris, diikuti dengan Perancis dan Jerman Barat. Kurang lebih ada 18 negara Eropa yang menjadi penerima dana Marshall Plan.
Marshall Plan selalu digadang-gadang sebagai bantuan luar negeri paling sukses yang pernah Amerika berikan selama Perang Dingin. Sebagian bahkan mengklaimnya sebagai bantuan paling berhasil sepanjang sejarah Paman Sam.
Tapi para sejarawan juga mengingatkan: Marshall Plan, sebagaimana bantuan luar negeri Amerika lain, yang pertama dan utama didasarkan pada kepentingan politik. Dengan kata lain, tidak 100 persen didorong oleh altruisme kemanusiaan.
Benn Steil dalam The Marshall Plan: Dawn of the Cold War (2018) mengungkapkan bagaimana Marshall Plan juga dimanfaatkan sebagai strategi untuk menjegal pengaruh komunisme di Eropa.
Visi tersebut sebenarnya bukan rahasia umum. George Marshall dan Presiden Harry Truman sadar bahwa perang ideologi di panggung dunia dimulai sejak Perang Dunia II berakhir. Eropa Barat jadi ladang kekuasaan Amerika, sementara Eropa Timur jatuh ke kontrol Uni Soviet.
Menurut Steil, sebagaimana dibahas Melvyn P. Leffler dalam analisisnya di kanal Foreign Affairs, yang dikhawatirkan Amerika bukanlah agresi militer Soviet. Tetapi tantangan ekonomi serta dinamika sosial dan politik segera melanda negara-negara Eropa barat.
Jerman telah berubah menjadi palagan perang ideologi baru setelah terbelah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Secara khusus, Amerika perlu memenangkan kontrol atas Jerman yang kaya akan sumber daya alam serta alat-alat industri—modal utama untuk mengakselerasi kebangkitan ekonomi Eropa.
Partai-partai komunis menikmati dukungan yang besar di Perancis atau Eropa. Maklum, gerakan kiri punya peran besar dalam gerilya mengusir kelompok-kelompok fasis.
Kekuatan kanan dalam perang saudara di Yunani juga sedang melemah akibat digempur kekuatan kiri. Mereka sebelumnya mampu bertahan berkat bantuan dari Amerika dan Inggris. Tapi Inggris kemudian memutuskan untuk menyetopnya karena ingin fokus menanggulangi kerusakan akibat perang di dalam negeri.
Negara-negara di Eropa mulai menyolidkan sistem pemerintahannya pasca-Perang Dunia II. Amerika diam-diam menyorotinya dari seberang Samudera Atlantik, dan mengamati beberapa negara mulai mengadopsi sistem yang cenderung kekiri-kirian.
Inggris, misalnya. Partai Buruh yang berkuasa melakukan nasionalisasi di berbagai sektor industri besar. Mereka juga mengambil alih Bank of England sampai menciptakan pelayanan kesehatan gratis untuk semua (National Health Service/NHS). Langkah-langkah ini sesuai karakteristik negara kesejahteraan (welfare state).
Para pengambil kebijakan Amerika mulai ketar-ketir. Kremlin dianggap bisa memenangkan hegemoni atas Benua Biru tanpa perlu menembakkan satu peluru. Ketakutan ini menjadi faktor utama yang membuat pengesahan Marshall Plan bisa terwujud dengan cepat meski melibatkan uang dalam jumlah besar.
Gerhard Wettig dalam Stalin and the Cold War in Europe (2008) memaparkan Marshall Plan juga membuat Soviet gusar. Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov, misalnya, menyatakan bahwa negaranya tidak sudi menerima duit dari program Marshall Plan.
Soviet juga mengeluarkan berbagai pernyataan yang makin menegaskan permusuhan terhadap Amerika. Mereka menuduh rezim Truman sedang memfasiskan kembali Eropa melalui bantuan-bantuan kemanusiaan.
Molotov kemudian menciptakan Molotov Plan. Program yang resminya dijalankan pada 1949 ini dimaksudkan sebagai tandingan Marshall Plan. Tujuannya untuk membangun ekonomi negara-negara di Eropa Timur, atau minimal agar negara-negara itu tidak membelot ke Amerika.
Di era permulaan Perang Dingin, segala bentuk pembelotan akan menuai harga yang mahal.
Contohnya Cekoslowakia, yang akhirnya memutuskan untuk menerima bantuan Marshall Plan. Tak lama kemudian terjadi kudeta berdarah yang diinisiasi Partai Komunis Cekoslowakia serta dibekingi oleh Soviet. Rezim komunis pun berkuasa di negara itu selama empat puluh tahun ke depan.
Di sisi seberang, Marshall Plan lambat laun menuai pengaruh yang menguntungkan Amerika. Contohnya di Turki, di mana bantuan Paman Sam membuat pergerakan kaum komunis terganjal.
Atau di Italia, Belgia, dan Perancis, di mana suntikan dana segar membuat partai-partai tengah-kanan mampu mengalahkan partai komunis-sosialis di ajang pemilu. Reaksi Soviet gampang diduga meski klaimnya juga akurat: menyalahkan Amerika sebagai dalang dari kekalahan-kekalahan itu.
Badan Intelijen Pusat AS (CIA), dalam catatan Frances Stonor Saunders di buku The Cultural Cold War (1999) juga mendapat jatah Marshall Plan sebanyak lima persen dari total anggaran. Sekali lagi, tujuannya untuk operasi luar negeri melawan pengaruh Soviet, terutama di kawasan Eropa Timur.
Rincian dananya sebesar $685 juta untuk dipakai selama enam tahun. Melalui Kantor Koordinasi Kebijakan AS, uang itu diarahkan untuk mendukung serikat buruh, surat kabar, kelompok mahasiswa, grup-grup seniman dan intelektual dalam upaya melawan rekan-rekannya yang bertendensi anti-Amerika.
Uang terbesar dilimpahkan untuk Kongres untuk Kebebasan Budaya (Congress for Cultural Freedom/CCF). CCF didirikan pada Juni 1950 melalui sebuah konferensi di Berlin. Acara dihadiri orang-orang terkemuka AS dan Eropa yang berprofesi sebagai penulis, filsuf, kritikus, dan sejarawan.
Melunturkan Pengaruh Komunisme
Setelah empat hingga lima tahun berjalan, Marshall Plan benar-benar memberikan dampak positif dalam proses penanggulangan perang di Eropa. Kesejahteraan menjangkau ke daerah-daerah. Standar kehidupan warga meningkat.
Meski demikian, sejumlah sejarawan juga mengkritisi bahwa kemajuan tersebut bukan karena didorong oleh Marshall Plan semata. Beberapa ada yang mengajukan bukti bahwa sebelum Marshall Plan pun kemajuan secara umum sedang berlangsung di Eropa.
Kesuksesan Amerika yang sesungguhnya justru ada di ranah pertarungan ideologi. Pengaruh komunisme di Eropa Barat dapat ditekan secara signifikan, demikian juga popularitas partai-partai komunis di kawasan tersebut.
Marshall Plan memang resmi dihentikan pada 1951 sebab Amerika mulai terlibat dalam Perang Korea. Tapi program bantuan luar negeri dengan visi yang sama tetap berjalan hingga beberapa dekade setelahnya. Maklum, pertarungan ideologi bersifat abadi—atau setidaknya hingga Soviet runtuh pada 1991.
Editor: Ivan Aulia Ahsan