tirto.id - Bioskop mulai dikenal oleh penduduk Batavia sejak awal abad ke-20. Pengusaha bioskop pertama di Batavia merupakan seorang Belanda bernama Talbot. Talbot membangun bioskop tak permanen di sekitar Lapangan Gambir.
Selain Talbot ada pengusaha bioskop lainnya bernama Schwarz. Bioskop milik Schwarz sempat berasa di sebuah gedung besar di Pasar Baru. Bioskop lain bermunculan yaitu bioskop de Callone di Deca Park yang kini lokasinya di sekitar Masjid Istiqlal. Bioskop de Callone mula-mula berupa bioskop di lapangan terbuka.
Selain Belanda, ada juga pengusaha Belanda yang mendirikan bioskop Elite, yang akhirnya dijual kepada Universal Film Co.
Film-film yang populer pada waktu itu antara lain Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo, dan film-film lucu yang dibintangi oleh Charlie Chaplin, Max Linder, Arsene Lupin yang masih sebagai film bisu.
Kemudian bioskop di Jakarta terus berkembang. Muncul beberapa bioskop permanen antara lain Gloria Bioscoop di Pancoran, Cinema Orion di Glodok, Cinema Palace di Krekot, Globe Bioscoop di Pasar Baru, Deca Park di Gambir, dan Dierentuin di Cikini yang kini jadi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM).
Hingga 1942, jumlah bioskop di Batavia telah mencapai 15 bioskop, antara lain: Rex di Kramat Bunder, Cinema di Krekot, Astoria di Pintu Air, Centraal di Jatinegara, bioskop Rialto di Senen dan Tanah Abang, Thalia dan Olimo di Hayam Wuruk, Alhambra di Sawah Besar.
Selain itu, ada juga bioskop Widjaja di Pasar Ikan dan Rivoli di Kramat yang khusus memutar film-film India, Megaria di Cikini yang tren di era 1950-an sebagai bioskop papan atas di Jakarta. Juga ada bioskop Oost Java di jalan Merdeka Utara-Veteran III.
Tercatat bioskop Capitol yang paling mahal di Batavia. Gedung bioskop ini khusus bagi orang Belanda terutama periode sebelum 1950. Tarifnya mencapai setengah gulden, cukup mahal pada waktu itu.
Penonton bioskop di Bovenstad pada umumnya berasal dari masyarakat atas, pejabat pemerintahan, para pemimpin perusahaan besar Belanda. (komunitashistoria)