tirto.id - Salwa Hidayat, seorang tukang bubur di Tasikmalaya, Jawa Barat dijerat dengan Pasal 34 ayat (1) juncto Pasal 21 I ayat (2) huruf f dan g Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat [PDF]. Penjual makanan itu divonis Rp5 juta atau subsider kurungan 5 hari penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya.
Salwa dianggap melanggar peraturan di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali karena membiarkan empat pelanggan makan bubur di tempat. Padahal, menurut kesaksian kakak Salwa, ia telah memperingatkan para pembeli agar tidak makan di situ. Namun pembeli memaksa menghabiskan penganan tersebut pada Senin (5/7/2021) malam.
Sial, personel operasi yustisi melintas di Jalan Galunggung, tempat Salwa berjualan. Petugas menindaknya, maka pria itu mau tak mau harus menjalani proses hukum tindak pidana ringan, pada Selasa (6/7). Menurut Kapolresta Tasikmalaya AKBP Doni Hermawan, Salwa beroperasi melebihi batas waktu yang sudah ditentukan dan memberikan layanan makan di tempat.
“Aturan selama PPKM Darurat sudah sangat jelas. Pedagang, rumah makan boleh buka, atau kafe, boleh tetap beroperasi selama tidak melayani pembeli makan di tempat dan mematuhi batas waktu yang ditentukan. Saya kira itu sudah sangat jelas. Sidang kami lakukan untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar agar patuh aturan selama PPKM Darurat,” kata Doni.
Peristiwa ini berbeda dengan anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus yang enggan menjalankan karantina mandiri usai tiba dari Kirgistan dan dia tak disanksi apa pun. Merujuk pada Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang Protokol Perjalanan Internasional di Masa Pandemi COVID-19, pada saat kedatangan, dilakukan tes ulang RT-PCR bagi pelaku perjalanan internasional dan diwajibkan menjalani karantina terpusat selama 5x24 jam.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berujar pidana diatur dalam undang-undang dan memiliki prasyarat ketat sehingga tidak sembarangan menghukum masyarakat.
“Harus hati-hati melakukan pendekatan pidana karena itu cara paling terakhir, di masa pandemi ini tidak tepat memidanakan orang. Karena saat sekarang, proses pemenjaraan dihindari lantaran penjara itu menjadi sarana klaster baru. Sebenarnya orang lebih takut dengan sanksi administrasi,” ujar dia kepada reporter Tirto, Kamis (8/7/2021).
Sanksi administrasi membutuhkan pelaksanaan yang kuat, tapi jangan sampai ada ketidakadilan bagi publik, kata dia. Misalnya dalam kasus Guspardi, itu mencerminkan perbuatan buruk di kalangan elite. Sebenarnya, kata Isnur, masyarakat bisa diatur asalkan ada contoh teladan dari pemerintah dan elite politik.
“Yang paling efektif sebenarnya pemerintah mencontohkan yang baik. Tidak boleh ada perbedaan (sanksi), ini (pandemi) adalah keadaan darurat. Sampai pada titik masyarakat bukan tidak mau turut, tapi mereka meniru pejabat. Hukum berlaku bukan semata aturan, tapi juga karena konsistensi dan kedisiplinan para penegaknya,” kata dia.
Contoh konkretnya yakni aparat juga memproses hukum pejabat pelanggar di era pandemi COVID-19, kata Isnur. Pada kasus Salwa, ia dianggap melakukan tindak pidana ringan dan dijerat berdasar Perda. Peraturan Daerah betul mengatur tindak pidana ringan cum bersifat administratif.
Isnur menilai jika tukang bubur ditindak, maka mengapa pegawai restoran di mal tidak diproses hukum? Terpenting, bila pemerintah membuat larangan di masa PPKM Darurat, maka wajib memenuhi kebutuhan rakyat sembari melaksanakan kewenangan.
“Ketika pemerintah menutup, menyegel, dan lainnya, itu harus diiringi pemenuhan kebutuhan. Harus dicek kebutuhan orang itu apa. Jika dia (masyarakat) mengontrak, maka (pemerintah) membayar kontrakannya. Kalau ada lima orang di rumah, maka lima orang itu harus makan tiga kali sehari,” kata Isnur.
Manjurkah Sanksi Pidana?
Program Officer Perkumpulan Prakarsa Eka Afrina Djamhari setuju dengan pendapat Isnur. Hukum haram tebang-pilih, kata Eka. Selain itu, kelonggaran pada penerapan sanksi juga membuat masyarakat tak taat regulasi. Konsistensi penerapan hukuman ia anggap masih kurang.
“Penerapan sanksi ini ketika dilihat langsung petugas patroli, tapi kalau tidak kelihatan maka sanksi tak berjalan,” tutur dia kepada reporter Tirto, Kamis (8/7/2021).
Proses sanksi pun bisa dilakukan bertahap, seperti teguran, denda, lalu kurungan penjara. Pun peran Kepala Daerah juga vital untuk memberlakukan sanksi. Agar ada efek jera dan menjadi contoh bagi warga setempat, kata dia, pejabat daerah yang melanggar aturan PPKM Darurat dapat segera diproses hukum.
Contohnya, kasus Suganda (54), seorang Lurah Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat, yang melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 212 KUHP dan/atau Pasal 216 KUHP.
Suganda kala itu menggelar hajatan pada hari pertama PPKM Darurat. Resepsi pernikahan itu dihadiri 30 orang. Kini perkaranya ditangan Kejaksaan Negeri Depok. Eka mengatakan faktor lain penyebab sanksi tak optimal adalah informasi tak diterima oleh masyarakat.
“Misalnya, informasi sanksi ke pengusaha besar itu sampai (mudah diterima), tapi pedagang kecil itu tidak,” kata dia. Mestinya, dalam kasus Salwa, para pembeli bubur yang makan di tempat pun ditindak. Itu bentuk keadilan hukum, kata Eka.
Tingkat pendidikan dan pengalaman masyarakat pun bisa jadi penyebab penerapan sanksi tak optimal. Prakarsa, tempat Eka bekerja, sedang meneliti perihal ini. Sementara ini, dia menemukan fakta bahwa ada pihak Rukun Warga –yang termasuk dari Satgas Penanganan COBID-19-- yang tidak paham PPKM, bahkan kebingungan.
“Pendidikan dan pengalaman RW sangat berpengaruh kepada penerapan kebijakan pemerintah. Kami menemukan perbandingan, pihak RW berpendidikan S1 dengan RW pendidikan SMP, ternyata pemberlakuan kebijakan itu beda,” jelas Eka.
Hasil analisis sementara, kata Eka, untuk pejabat setingkat RW yang berpendidikan tinggi lebih gencar menyosialisasikan kebijakan dan program pemerintah, bahkan gerak cepat untuk memfasilitasi vaksinasi warga.
Efektif atau tidak sanksi tersebut, itulah yang harus dilakukan pemerintah. Maka, kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto, pendekatannya harus lebih tegas meski tetap harus mengedepankan humanis. Tidak bisa sekadar keras, yang akibatnya malah memunculkan perlawanan dari masyarakat.
Dampak sosial dan ekonomi pandemi ini sangat berat bagi rakyat, sementara penyebarannya juga makin cepat. “Dalam kondisi ramai seperti saat ini memang dibutuhkan kebijaksanaan dari pemerintah untuk melepaskan keruwetan. Tidak bisa semua disamaratakan, kebijakan harus disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kultur dari masyarakat setempat,” ucap dia kepada reporter Tirto.
Bambang menegaskan “ketidakkonsistenan penegakan aturan selama ini membuat masyarakat juga tidak mempercayai aparat.” Jadi, kata dia, aparat jangan menyalahkan masyarakat saja.
Ia melanjutkan, saat ini aparat kewalahan menangani masalah publik. Seperti penanganan mudik lebaran, penutupan Jembatan Suramadu yang menimbulkan penolakan warga, itu menunjukkan aparat sudah kewalahan, kata Bambang.
“Maka yang dibutuhkan adalah partisipasi masyarakat lebih besar. Jangan menggantungkan pada aparat kepolisian saja, tapi harus melibatkan semua unsur pemerintah,” imbuh dia. Dalam kondisi darurat saat ini, kata dia, sanksi berat akan menjadi beban.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz