Menuju konten utama
Miroso

Sambal Tumpang: Makin Semangit, Makin Sip!

Bagi yang belum tahu, sambal tumpang merupakan olahan tempe semangit atau nyaris busuk.

Sambal Tumpang: Makin Semangit, Makin Sip!
Header Miroso Sambal Tumpang Ala Sragen. tirto.id/Tino

tirto.id - Jika ada sajian yang menjadi tradisi dalam keluarga besar saya, sambel tumpang ada di urutan pertama. Sajian ini semacam penegas kedirian saya sebagai orang Sragen, Jawa Tengah. Bahkan ada kelakar di kalangan sepupu-sepupu dari pihak ibu, “Darah kita itu darah sambal tumpang” saking seringnya menu ini hadir di acara kumpul keluarga. Namun bagi saya pribadi, sajian ini tak sekedar identitas diri tapi juga selera yang sulit terganti.

Bagi yang belum tahu, sambal tumpang merupakan olahan tempe semangit atau nyaris busuk yang dibumbui bawang merah, bawang putih, cabai, kemiri, kencur, lengkuas, daun jeruk, dan direbus bersama santan. Di Klaten dan sekitarnya, sambal tumpang juga dikenal sebagai ‘lethok’. Agak sulit menempatkan sajian ini dalam satu kategori saja, apakah masuk ke sayur, lauk, atau kondimen.

Seingat saya, sambal tumpang baru saya kenal dan konsumsi dengan kesadaran penuh ketika duduk di bangku SMA. Kala itu, pilihan sarapan di penjual nasi terdekat dari rumah hanya nasi tumpang dengan urap sayur sebagai menunya. Sebelumnya, saya hanya tahu dan kenal sambal tumpang yang dijual berjajar bersama bubur terik kuning serta aneka gorengan di Pasar Cilik, Sragen. Alasan lain karena sajian ini pedas, bahkan untuk lidah remaja saya.

Lepas SMA, saya mulai mampu menikmati sambal tumpang. Menu ini wajib dibeli setiap kembali dari perantauan. Tidak ada penjual langganan khusus jika ingin makan sambal tumpang, karena rata-rata penjaja makanan ini punya cita rasa khasnya masing-masing. Setiap penjual punya sambal tumpang dengan rasa enak yang berbeda dan miroso dalam jalurnya masing-masing.

Suatu hari ketika sedang tinggal di Yogyakarta, mendadak saya kangen sambal tumpang. Apesnya, tak ada penjual sambal tumpang di sini. Kota terdekat yang punya sajian serupa hanya Klaten dan Solo. Itu pun berbeda jenisnya, tidak mendekati sambal tumpang dari tanah tumpah darah saya.

“Ya bikin sendiri lah, nduk. Tak kasih resepnya wis,” begitu ibu menjawab keluh anak bungsunya yang sedang kangen masakan leluhur ini.

Resep dari ibu tiba dengan catatan teramat panjang. Masalahnya: resep itu tanpa takaran. Lhadalah! Gimana mau memasak kalo tak ada takaran jumlah atau setidaknya perkiraan? Tentu saja jawaban ibu saya sangat santai.

“Ya dikira-kira aja. Sesuai seleramu mau yang kaya gimana tumpangnya."

Sambal tumpang menurut versi ibu punya perbandingan ¾ tempe semangit, dan ¼ nya adalah tempe bosok atau tempe yang sudah busuk. Lain halnya dengan resep tante saya yang menggunakan tempe waras atau tempe baru sebagai penambah tekstur. Baru di perkara tempe saja saya sudah garuk kepala, belum aksesoris pelengkap lainnya.

Dalam satu belanga sambal tumpang ada gabungan dua protein: nabati dan hewani. Protein nabati bersumber dari tempe kedelai dan tahu. Tahu, dalam kamus resep sambal tumpang ibu saya, adalah wajib hukumnya. Makin banyak tahunya makin lazis, apalagi kalau pakai tahu pong dan tahu goreng yang akan menyerap kuah dengan baik.

Infografik Miroso Sambal Tumpang Ala Sragen

Infografik Miroso Sambal Tumpang Ala Sragen. tirto.id/Tino

Protein hewani ditambahkan sesuai kemampuan. Yang paling sederhana adalah telur rebus, telur puyuh, atau balungan ayam. Namun ibu berpesan: ada baiknya sambal tumpang ditambahkan rambak sapi dan sedikit tetelan sapi. Dengan dua bahan itu, dijamin sambal tumpangnya langsung naik kelas segurih brongkos Handayani Alkid yang legendaris itu.

Sambal tumpang dengan tahu dan krecek merupakan variasi yang sering disajikan di keluarga besar saya. Setidaknya dua komponen itu melengkapi sambal tumpang yang saya nikmati sejak remaja, selain tentunya rasa semangit yang makin hari makin kuat. Konsep menghangatkan masakan hingga dua hari ke depan adalah kunci kelezatan lanjutan dari olahan ini.

Ketika dihangatkan maka aroma ‘semangit’ dari tempe dan bumbunya akan makin kuat seiring menyusutnya kadar air. Bahkan ada keyakinan di kalangan keluarga kami, bahwa sambal tumpang yang semangit akan makin enak jika sudah melalui proses dihangatkan. Mungkin saja dari segi kesehatan ini sudah masuk ‘red zone’ alias tidak sehat. Tapi kalo perkara selera, kadang hal ini lebih baik diabaikan asal tak berlebihan.

Ketika selesai masak resep dari ibu, saya nggumun. Jadinya lebih mirip sayur tempe yang remuk ketimbang sambal tumpang yang teksturnya mirip bubur. Memang, ketika dicici rasanya 90 persen persis sambal tumpang yang ada dalam ingatan lidah saya. Hanya saja tumbukan tempe yang tak rata menyebabkan gumpalan kedelai tempe masih nampak disana-sini.

Prestasi mengolah sambal tumpang ini saya laporkan pada ibu dan beliau berkomentar bahwa tidak semua sambal tumpang gilingannya halus. Beliau juga membesarkan hati dengan bilang: asal rasanya mendekati dan jejak semangit sudah ada, maka itu sudah sah sebagai sambal tumpang.

Yah, setidaknya saya lulus dalam uji kompetensi menghadirkan masakan yang menjadi komponen penyusun ‘darah’ saya, meskipun bisa dibilang rasanya masih jauh dari buatan ibu atau tante saya. Mungkin benar kata ibu: sambal tumpang dan variasinya tidak bisa dibakukan. Dan tak perlu juga dibakukan. Ia akan selalu mengikuti panduan dari lidah dan memori si pembuat, juga penikmatnya.

Baca juga artikel terkait SAMBAL atau tulisan lainnya dari Lina Maharani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Lina Maharani
Editor: Nuran Wibisono