tirto.id - Foto papan pengumuman yang ditempel di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tangerang beredar luas di media sosial dan jadi bahan bergunjing warganet. Isinya dianggap diskriminatif. Pengelolanya dikritik.
"Rumah Sakit Sesuai Prinsip Syariah," demikian judul papan pengumuman itu, dengan huruf berwarna putih berlatar hitam. "Dalam rangka menghindari khalwat dan ikhtilath," tertulis di sana, "penunggu pasien wanita seyogyanya (berdasarkan PUEBI: 'seyogiyanya') adalah wanita; penunggu pasien pria seyogyanya adalah pria. Kecuali penunggu pasien adalah keluarga (mahramnya)."
Pada bagian bawah tertera keterangan: "khalwat: berduaan selain dengan mahramnya; ikhtilath: pencampuran pria dan wanita."
Seorang pengguna Twitter bernama @trinitym234 mengkritik kebijakan ini dengan mengatakan bahwa RSUD, di mana pun itu, itu dibiayai dari APBD yang dibayar dari pajak masyarakat, tak peduli apa agamanya. "Apa pendapatan pajak mesti dibedakan pula antara muslim dan non-muslim?" tanyanya, retoris.
Sementara pengguna Twitter bernama @jesen82 memberi contoh kasus yang mungkin terjadi. Jika kebijakan ini dipertahankan--tanpa penjelasan lanjutan--maka mungkin akan ada orang takut menolong, misalnya, korban tabrak lari. "Mau tolong serba salah, karena bukan muhrimnya," katanya.
Di Balik Papan Pengumuman
Rumah Sakit Syariah adalah produk Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSM MUI). Ini tertera dalam aturan Nomor 107/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah (PDF) tanggal 1 Oktober 2016 yang ditandatangani oleh Ma'ruf Amin yang ketika itu berstatus Ketua DSN MUI dan kini jadi pendamping Joko Widodo di Pilpres 2019.
RSI Sultan Agung, terletak di Semarang, Jawa Tengah, adalah RS syariah pertama di dunia, demikian klaim Ma'ruf Amin.
Selain meneken peraturan, Ma'ruf juga aktif mempromosikan RS Syariah. Dalam pidato di acara International Islamic Healthcare Conference and Expo (IHEX) di Jakarta Convention Center (JCC) pada 10-12 April 2018 lalu, dia mengapresiasi rumah sakit yang sudah tersertifikasi. Menurutnya RS-RS ini telah "memasyarakatkan syariah," dan "mensyariahkan masyarakat."
"Syariah telah menjadi bagian lifestyle yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kini, tuntutan penerapan kaidah-kaidah syariah diharapkan dapat mencakup beberapa bidang... hingga pengembangan rumah sakit syariah," kata Ma'ruf seperti dikutip dari situs halalmui.org.
Ketua Eksekutif Komisi Akreditasi Rumah Sakit Seluruh Indonesia (KARS) Sutoto menjelaskan bahwa setiap rumah sakit mesti terakreditasi dulu sebelum melakukan sertifikasi syariah. "Sertifikasi RS syariah diselenggarakan oleh lembaga yang berbeda dengan KARS, tetapi mereka mewajibkan RS yang mau sertifikasi syariah harus terakreditasi KARS terlebih dahulu," ujarnya kepada reporter Tirto.
Ada beberapa ketentuan yang mesti diikuti oleh RS yang menerapkan standar syariah seperti yang tertera dalam pedoman. Di antaranya akad (baik antara RS-tenaga kesehatan, RS-pasien, hingga RS-pemasok alat kesehatan), penggunaan obat yang halal (kecuali darurat), dan penggunaan jasa Lembaga Keuangan Syariah.
Tidak ada yang secara eksplisit menyebut soal-soal yang tertera pada papan pengumuman di RSUD Kota Tangerang. Yang paling mendekati itu hanya aturan bahwa "RS, pasien, dan penanggung jawab pasien wajib mewujudkan akhlak karimah" (poin 5.8), dan "RS wajib menghindari diri dari perbuatan maksiat, riywah, zhulm, dan hal-hal yang bertentangan dengan syariah" (poin 5.9).
Anggota Bidang Industri, Bisnis, dan Ekonomi Syariah DSN MUI Yuke Rahmawati mengatakan bahwa penekanan sertifikasi ini memang pada poin "bisnis".
"Seperti kontrak kerja sama RS dengan dokter atau pegawai lainnya. Kerja sama dengan pihak lain, pembelian obat, dan lain-lain. Penggunaan akad pada aktivitas-aktivitas tersebut menjadi concern DSN MUI untuk penilaian kesyariahannya," katanya kepada reporter Tirto, kemarin.
Dia mengatakan dengan memiliki sertifikasi syariah, pada akhirnya RS akan punya "nilai tambah" yang bisa dijual ke calon konsumen. Oleh karena itu sertifikasi ini tidak wajib, melainkan hanya diproses jika ada permintaan dari pihak RS.
Kepala Humas RSUD Kota Tangerang Lulu Faradis mengkonfirmasi bahwa memang merekalah yang meminta sertifikasi dari DSN MUI.
Survei sertifikasi, seperti tertera pada situs resmi mereka, dilakukan pada 24 Januari 2019. Di sana disebutkan bahwa sertifikasi diselenggarakan "sesuai dengan instruksi Walikota Tangerang Arif R Wismansyah." Sertifikat akhirnya didapat pada akhir Maret lalu, seperti diberitakan Tangerangnews.
"Penerapan syariah sesuai dengan visi misi Pemkot Tangerang yang akhlakul karimah. Karena itu kami memilih jadi RS yang bersertifikasi syariah," katanya kepada reporter Tirto, Senin kemarin.
"Memang Apa Istimewanya?
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan kepada reporter Tirto kalau embel-embel syariah "tidak perlu" dilekatkan pada rumah sakit karena pada dasarnya itu adalah lembaga publik yang dibiayai negara dari uang masyarakat. Dia mempertanyakan apa fungsi dari predikat itu.
"Emang apa istimewanya RS Syariah? Pelayanan lebih baik dan biaya lebih murah? Atau pasti dapat kamar walau penuh kalau kita muslim?" katanya, Selasa (11/6/2019). "Itu enggak penting. Kita bukan negara Islam," tambahnya menekankan.
Lulu Faradis mengatakan kritik-kritik terhadap mereka berlebihan. Dia, misalnya, mengatakan dalam konsep syariah bukan berarti pelayanan kepada pasien non-muslim dinomorduakan. Justru sebaliknya: pelayanan berbasis syariah dapat pula lebih menguntungkan semua pasien, apa pun latar belakang agamanya.
"Salah satunya dengan pemasangan kateter [jantung] dan EKG berdasarkan gender. Kalau dulu pasien wanita bisa saja dipasangkan oleh perawat pria. Kini pasien wanita dengan perawat wanita," ujarnya.
Begitu juga untuk pelayanan kerohanian, jika pasien mengalami masa-masa kritis dan potensi hidupnya sedikit, maka pihak RSUD akan meyiapkan layanan pembimbing doa berdasarkan agama masing-masing tanpa dipungut biaya tambahan.
Yang terakhir spesifik soal papan pengumuman. Menurutnya aturan soal menunggu pasien itu sifatnya imbauan. Dan sebagaimana imbauan, tak wajib hukumnya.
"Bukan paksaan, tidak ada kata 'harus' juga di papan tersebut tapi kami pakai kata 'seyogyanya'. Itu sama saja dengan sebaiknya."
Meski begitu dia mengakui kalau memang isi papan pengumuman itu menimbulkan tafsir yang beragam. Karenanya manajemen memutuskan mencopot itu dan akan menggantinya dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti dan tak multitafsir.
"Kami menggunakan kata-kata yang terkesan sangat syariat sekali. Seperti kata khalwat dan iktilath," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino