tirto.id - Monyet ekor panjang (MEP) atau Macaca Fascicularis menjadi ancaman bagi kelestarian petani di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Primata ini merusak tanaman. Sementara populasinya bertumbuh cepat dalam beberapa tahun terakhir.
Imbasnya, daya semangat petani jadi turun. Regenerasi petani juga terhambat. Akhirnya, bertambahlah lahan subur yang tidur dan tidak produktif.
Petani merasa, rumusan pengendalian MEP dalam wujud regulasi berimbang sangat dibutuhkan. Sebab, hal tersebut turut berkaitan dengan keseimbangan ekosistem. Populasi yang tidak terjaga dan berlebihan terbukti nyata telah menimbulkan kerugian bagi manusia.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) DIY mencatat, seragan MEP pada lahan pertanian dan perkebunan terjadi di seluruh wilayah DIY. Namun, wilayah yang paling dominan adalah Kabupaten Gunungkidul dan Bantul.
Muhammad Syafi’i, Pengelola Organisme Pengganggu Tanaman BPTP DIY, menyebut, serangan MEP pada lahan pertanian dan perkebunan juga terjadi di Kulonprogo. Tepatnya di Kapanewon Kalibawang dan Samigaluh. Sementara di Sleman, mengganggu petani di sekitar Gunung Merapi.
“Kethek (MEP) juga sudah masuk Kota Yogyakarta, di Timoho Asri makan magga warga. Bahkan, saat marah merusak genting,” ungkap Syafi’i di Kebun Buah Mangunan, Kapanewon Imogiri, Kabupaten Bantul pada Senin (2/12/2024).
Syafi’i menjelaskan, MEP memiliki masa hidup yang cukup panjang. MEP pejantan dapat hidup sekitar 20-25 tahun. Sementara untuk MEP betina mampu bertahan hidup 15-20 tahun.
Dengan rentang usia itu, MEP masuk usia dewasa sekitar usia 3,5-5 tahun. Artinya, pada usia tersebut, MEP sudah dapat bereproduksi. Masa birahinya, kata Syafi’i, juga panjang mencapai 11 hari.
Syafi’i lantas mengungkap, cara alami yang pernah ditempuh oleh warga Gunungkidul di Kapanewon Paliyan. Warga memberi ‘upeti’ untuk MEP pada sebuah lahan khusus. Disediakan sekitar 50 kilogram ubi jalar untuk memberi makan MEP.
Harapannya, MEP tidak turun ke lahan warga, baik di perkebunan atau persawahan. Sehingga dampak serangan dapat diminimalkan. Namun, upaya ini ternyata justru jadi bom waktu.
Kemudahan MEP mendapat asupan makanan, justru meningkatkan jumlah populasinya. Kini, MEP justru melakukan serangan di Kapanewon Purwosari dan Panggang. “Kelengkeng, sudah habiskan. Bahkan bukan hanya buahnya, pucuk tanamannya juga ikut dimakan,” kata dia.
Oleh sebab itu, Syafi’i berharap ada metode terbaik dalam pengendalian MEP. Sebab populasinya yang terbilang tinggi pun mampu berkembang biak dengan cepat. Sehingga dianggap makin mengkhawatirkan.
Syafi’i mengatakan, lembaganya telah melapor ke Kementerian Pertanian terkait penanganan MEP yang meresahkan petani. Mengusulkan, untuk melakukan pemandulan terhadap MEP sebagai upaya beradab dan logis penanggulangan masalah ini.
“Harus membawa dokter hewan untuk nembak obat bius dan dimandulkan. Itu efektif,” kata dia.
Petani Merugi Rp1,4 Miliar per Tahun
Lurah Mangunan, Aris Purwanto, juga menyatakan keresahan warganya akibat invansi MEP ke permukiman dan lahan pertanian serta perkebunan. Dalam kalkulasi yang dilakukan olehnya, petani di Kalurahan Mangunan mengalami kerugian dengan total sampai Rp1,4 miliar per tahun.
Aris mengatakan warga sudah mencoba melakukan berbagai cara dalam menangani MEP. Upaya itu antara lain membuat jaring pengaman, tapi ternyata kekuatan serbuan MEP tetap tidak terbendung.
Warga pun pernah mencoba menyediakan lahan khusus untuk MEP. Namun, usaha itu juga dirasa tidak maksimal. Lahan khusus bagi MEP yang berisi tanaman buah-buahan, tidak cukup mengakomodasi kebutuhan. Sebab populasi yang terus meningkat.
“Ekosistem harus balance. Tapi 4 tahun terakhir, belum ada upaya real mengatasi kerugian monyet ekor panjang,” sebut Aris.
Pada 2021, kata Aris, kalurahannya membagikan anjing pada warga. Sebab diketahui, monyet takut dengan anjing. Namun, ketika monyet memanjat pohon, anjing tidak dapat berbuat banyak. Di samping itu, anjing justru menimbulkan keresahan lain bagi warga. Lantaran anjing mulai memburu ternak warga.
“Anjing juga jadi masalah, malah makan ternak ayam,” kata dia.
Berdasar penelitian, Aris mengatakan ada 27 koloni MEP di Kalurahan Mangunan. Namun, koloni tersebut juga menyebar di kalurahan lainnya, bahkan kapanewon lain. Terhitung, kawasan perbukitan di Bantul mulai dari Piyungan, Imogiri, dan Pundong turut jadi invasi MEP.
“Ini sangat berbahaya, monyet ini bahkan bukan hanya makan buah. Saat musim kemarau memakan rumput untuk pakan ternak. Kalau di perkebunan dan sawah habis, sampai ke rumah warga,” ungkap Aris.
Aris menyayangkan, kini lahan subur yang tidak produktif di kalurahannya jadi bertambah. Semangat warga untuk memanfaatkan lahan sebagai media tani dan berkebun kini menurun.
“Lahan 45,4 hektare terdampak. Masyarakat jadi malas berkebun dan bertani. Ini berdampak pada regenerasi petani kami. Padahal, tanah kami sebagai tadah hujan mampu memanen 380 ton satu dalam satu musim panen. Jumlah itu surplus, untuk memenuhi 5.007 orang,” sebut Aris.
Butuh Regulasi dan Penelitian dalam Upaya Pengendalian
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kabupaten Bantul, Jati Bayubrotro, mengerti akan keresahan warga. Namun, dia menegaskan butuh terbitnya peraturan yang berlandas pada penelitian dalam upaya penanganan MEP.
“Kami mohon betul legitimasinya untuk pengurangan [MEP]. Masyarakat perlu sekali mendapat pertolongan,” kata dia.
Senada, Ahmad Arif dari Tim Ahli Relung Indonesia menyatakan bahwa penanggulangan MEP butuh dilandasi oleh regulasi yang jelas. Sebab ekosistem butuh keseimbangan.
Arif menyarankan, regulasi pengendalian MEP di DIY menggunakan dasar Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
“Nanti bisa dilihat di sana, apakah ini [MEP] masuk kategori dilindungi atau tidak,” kata Arif.
Arif pun mengungkap bahwa lembaganya telah menaruh perhatian terhadap MEP yang melakukan invasi ke perkebunan dan persawahan sejak 20 tahun lalu. Namun, sampai saat ini belum menemukan solusi tepat dalam penyelesaian masalah antara MEP dan petani.
“Kami coba silaturahmi kalau ada konflik petani dan MEP. Kami terima masukan. Menurut kami, ini isu mampu membuat partai baru karena banyak yang terlibat dari pusat sampai masyarakat. Ini menunjukkan urgen untuk ditangani. Kami sepakat, dua poin yang kami dengar. Keseimbangan dan legitimasi. Semoga ada solusi beradab,” kata dia.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Abdul Aziz