tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bakal mengeluarkan layanan ojek daring (ride hailing) atau yang lebih dikenal sebagai ojek online (ojol) dalam rancangan kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Sebab, menurutnya ojol tak termasuk moda transportasi umum berplat kuning.
Sebaliknya, ojol merupakan bentuk usaha dari korporasi atau perorangan yang kemudian menyewakan kendaraannya untuk ojek.
“(Ojol) nggak (masuk kriteria). Ojek dia kan pakai untuk usaha. Ojek itu Alhamdulillah. Kalau motor, motor punya saudara-saudara kita (pengusaha), (pengemudi ojol) yang bawa motornya. Tapi sebagian kan juga punya orang yang kemudian saudara-saudara kita bawa itu dipekerjakan. Masa yang kayak gini disubsidi?” kata Bahlil, saat ditemui awak media di kediamannya, di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2024).
Meski begitu, saat dikonfirmasi kembali, Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut menjelaskan, kebijakan tersebut belum final. Selain itu, sampai saat ini Kementerian ESDM sampai saat ini juga masih mengkaji siapa-siapa saja yang bakal menjadi penerima subsidi BBM, termasuk nasib ojol yang rencananya tak lagi diizinkan untuk mengakses BBM bersubsidi.
“Saya kan udah bilang masih di-exercise, tunggu exercise selesai baru kita ungkap. Belum ada keputusan final,” tegas Bahlil, saat ditemui awak media, di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Meskipun sebelumnya sempat menyebutkan kalau ojol tak lagi boleh menggunakan BBM bersubsidi, namun yang pasti Bahlil menegaskan, kebijakan subsidi BBM ini dirumuskannya dengan adil.
“Yang jelas, kita ingin harus semuanya adil,” ucap Bahlil.
Penjelasan mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) itu menyulut kemarahan dari para pengemudi ojol. Bahkan, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono, pernyataan Bahlil tempo hari merupakan bentuk tantangan bagi para pengemudi ojol untuk melakukan protes besar. Pasalnya, selain tak juga memberikan legalitas kepada para pemudi ojol, pemerintah justru berencana mengeluarkan ojol dari daftar penerima subsidi BBM.
“Jika sampai ojol tidak dapat menerima atau mengisi BBM bersubsidi nanti maka pastinya akan terjadi gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia untuk memprotes keputusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ini,” kata Igun, kepada Tirto, Jumat (29/11/2024).
Apalagi, yang dijadikan alasan adalah bahwa ojol bukan merupakan angkutan publik. Padahal, subsidi BBM adalah salah satu bentuk perhatian pemerintah untuk para pengemudi ojol.
“Padahal kami berharap pemerintahan Prabowo ini dapat menyejahterakan ojol namun nyatanya pernyataan Bahlil ini membuat ojol meradang dan siap turun massa besar, mana pro rakyatnya? Ojol ini penghasilan tidak seberapa bahkan sudah menjadi sapi perah dari perusahaan aplikasi malah akan diperas lagi oleh pemerintah,” ucapnya.
Tidak hanya itu, Igun juga meminta Bahlil sebagai Menteri ESDM untuk melihat langsung kondisi ojol di lapangan. Di sisi lain, dengan pembatasan subsidi BBM untuk ojol, dinilai akan mendongkrak tingkat inflasi, karena sampai saat ini ada sekitar 4 juta armada ojol di seluruh Indonesia, dengan jumlah pengguna jasa sekitar 21 juta orang. Selain itu, sebanyak 60-70 persen pengemudi ojol juga menjalankan profesi sebagai pengiriman barang atau kurir dengan biaya jasa sangat rendah dari perusahaan aplikasi.
“Bahlil harus lihat di lapangan, jangankan untuk membeli bensin non subsidi, terkadang untuk mengisi bensin subsidi saja ojol ini harus menukar dengan rasa lapar di jalanan agar sepeda motornya tetap bisa beroperasi,” tegas Igun.
Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Armada Sewa Indonesia (APAS), Wiwit Sudarsono, menilai, pemerintah tak menjalankan rekomendasi dari Focus Group Discussion (FGD) tentang BBM bersubsidi untuk taksi dan ojek online yang pernah digelar Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 8 September 2024 lalu.
Padahal, pada FGD yang digelar di Holiday Inn & Resort, Jakarta Selatan, para peserta yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, perusahaan aplikasi, dan organisasi-organisasi taksi dan ojek online setuju bahwa BBM bersubsidi akan diberikan pula untuk taksi dan ojek online.
“Serta penambahan kuota BBM bersubsidi untuk taksi online serta mekanisme penyalurannya,” kata Wiwit, kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Persetujuan ini, tak lain didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 17 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat yang mendefinisikan ojol sebagai angkutan umum. Adapun arti kendaraan bermotor umum yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat 10 UU 22/2009 adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang dengan dipungut bayaran.
“Pernyataan Menteri ESDM yang menyebutkan bahwa ojol tidak masuk kategori penerima BBM bersubsidi (Pertalite) sangat menyakitkan hati kami. Padahal sudah jelas, bahwa ojek online adalah sarana transportasi roda 2 yang keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat, karena cepat dan efisien,” sambung Wiwit.
Sama halnya dengan Igun, Wiwit juga khawatir, saat tak bisa mengakses BBM bersubsidi nantinya, pendapatan yang diterima para pengemudi ojol akan lebih banyak tersunat. Padahal, sekarang ini kondisi para pengemudi ojol jauh dari kata sejahtera.
Banyaknya kompetitor dan perusahaan aplikator anyar membuat pendapatan para pengemudi ojol semakin minim tiap tahunnya. “Maka kami berharap pemerintah bijak dalam mengambil kebijakan, serta dapat mengkaji kembali kebijakan tersebut,” harap Wiwit.
Sementara itu, Pakar Ekonomi dan Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai larangan pembelian BBM bersubsidi bagi ojol merupakan kebijakan blunder yang lagi-lagi direncanakan pemerintah. Tidak hanya itu, melarang ojol untuk mengakses BBM bersubsidi juga sama dengan mencabut subsidi BBM kepada kelas menengah.
Padahal, rencana kebijakan ini dapat memicu pembengkakan biaya operasional ojol, sehingga kemudian perusahaan aplikasi justru menaikkan tarif ojol bagi konsumen. Pada akhirnya, rencana kebijakan ini akan semakin memperburuk daya beli kelas menengah ke bawah.
“Kebijakan larangan ojol pakai BBM subsidi menunjukan bahwa komitmen (Presiden) Prabowo untuk pro rakyat diragukan, tak lebih hanya omon-omon saja. Kebijakan ini harus dikaji ulang. (Karena akan) menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat,” jelas Fahmy, dalam pesan singkatnya kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Saat biaya operasional ojol melonjak karena ketiadaan akses BBM subsidi, beban jelas hanya akan ditumpukkan pada para pengemudi ojol. Sebab, biaya BBM tak akan mungkin ditanggung oleh perusahaan aplikasi ride hailing seperti Gojek, Grab, Maxim, atau lainnya. Dengan begitu, pendapatan bersih yang bisa dikantongi para pengemudi ojol bakal semakin menipis.
Berdasar hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhub yang dirilis tahun 2022, sebanyak 50,1 persen dari total 2.016 pengemudi ojek daring menyatakan bahwa pendapatan per hari hanya sebesar Rp50-100 ribu. Dengan 44,1 persen responden menyatakan bahwa pengeluaran yang mereka keluarkan dalam sehari mencapai Rp50-100 ribu. Artinya, penghasilan yang didapat para pengemudi ojol hanya cukup untuk membayar bahan bakar serta makan dan minum selama mereka ‘narik penumpang’ saja.
Di sisi lain, 37,4 persen responden mengaku tak pernah mendapatkan bonus atas hasil jerih payahnya, sedangkan 52,08 persen lainnya mengaku jarang mendapat bonus dari aplikator. Pun, 75,79 persen responden mengatakan jarang mendapat bonus atau uang tip dari penumpang.
“(Rencana kebijakan pelarangan BBM subsidi untuk ojol) sangat tidak adil, dong. Kalau orang mikir, biar Gojek tanggung jawab. Kok kayak nggak paham aja? Selalu kalau ada hubungan kerja yang kaitannya dengan buruh, tenaga kerja, driver, mitra dengan Gojek, Grab, semacamnya itu kan selalu dibebankan kepada yang posisinya lemah,” jelas Majelis Profesi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zainal Asikin, kepada Tirto, Senin (2/12/2024).
Padahal, seiring dengan berkembangnya layanan ride hailing di nusantara, aplikator dan negara lah yang diuntungkan. Aplikator dapat revenue atau pendapatan, negara tak rugi karena luasnya serapan tenaga kerja dari layanan ojek daring ini.
Pada periode yang sama saat survei dilakukan, dua raksasa layanan ride hailing di Indonesia, Gojek dan Grab mengalami peningkatan Gross Merchandise Value (GMV) masing-masing sekitar 30 persen. Adapun pendapatan yang diterima Gojek di sepanjang 2022 mencapai Rp11,3 triliun, naik 120 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp5,2 triliun.
Sedangkan Grab Holdings Ltd, yang merupakan induk dari Grab Indonesia, mengantongi pendapatan sebesar 1,43 miliar dolar Amerika Serikat (AS) di sepanjang 2022, naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2021 yang senilai 675 juta dolar AS.
Menurut kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), ekosistem GoTo, perusahaan induk Gojek berkontribusi hingga Rp428 triliun terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2022. Pada 2024, berdasarkan laporan Statista, pasar layanan ride hailing yang didominasi Gojek, Grab dan pemain baru seperti Blue Bird diproyeksikan mencapai 3,51 miliar dolar AS, atau lebih kurang Rp55,46 triliun (kurs Rp15.800 per dolar AS).
“Dengan (revenue) ini, pemerintah harusnya bisa mengatur. Pemerintah di situ bisa menjadi kayak badan arbitrase dong. Jadi kayak, Gojek, Grab dan sebagainya dipanggil dong, eh kamu ini bermitra dengan pengemudi, driver (ojol). Ojek online itu sangat diperlukan masyarakat. Pemerintah punya hak untuk turut campur,” tegas Muslich.
Tak cuma dengan memberikan akses BBM murah kepada para pengemudi ojol, namun juga harus ikut memperjuangkan kesejahteraan para pekerja yang masuk dalam golongan gig worker alias pekerja sementara, kontrak, atau paruh waktu itu. Hal ini dapat dilakukan dengan merilis aturan soal status hukum ojol dan menghapus status kemitraan antara pekerja angkutan daring dengan aplikator.
“Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, hal-hal yang menyangkut tenaga kerja pemerintah harus ikut campur. Kalau perlu menguasai, kalau perlu ngasih subsidi. Buat aturannya, nanti yang namanya pengemudi-pengemudi Gojek itu kalau ada kecelakaan dan sebagainya, dia dapat asuransi,” pungkas Muslich.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fahreza Rizky