Menuju konten utama
1 Januari 1999

Saat Mata Uang Tunggal Euro Resmi Berlaku

Warga Eropa antusias menyambut pemberlakuan euro sebagai mata uang tunggal resmi Uni Eropa pada awal 1999, tapi pemberlakuan secara fisik baru terjadi pada awal 2002.

Saat Mata Uang Tunggal Euro Resmi Berlaku
Ilustrasi Mozaik Euro. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Atraksi kembang api warna-warni tak habis menghias malam Kota Frankfurt, Jerman. Bangunan-bangunan klasik dan taman kota malam itu dihias lampu kerlap-kerlip. Selain merayakan berakhirnya milenium kedua, mereka juga menanti penggunaan mata uang tunggal baru bagi negara kawasan Uni Eropa, euro.

Sebagai kota yang menjadi markas baru Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB), warga kota Frankfurt merayakan tahun baru dengan lebih meriah. Penduduk bersuka cita menyaksikan “jam euro” yang menghitung detik sampai peluncuran mata uang euro berlaku.

Finlandia menjadi negara pertama yang mengadopsi mata uang baru itu, yakni pada pukul 22.00 GMT. Satu jam kemudian, 10 negara lain menyusul menjadikan euro menjadi mata uang tunggal kawasan Eropa. Portugal dan Irlandia menjadi negara terakhir yang bergabung tepat pada 00.00 GMT.

Peristiwa tersebut terekam pada 1 Januari 1999, hari ini tepat 19 tahun yang lalu.

Saat itu, sekitar tiga ratusan juta masyarakat Eropa berbondong-bondong meninggalkan mata uang di negara masing-masing. Mata uang franc yang berlaku di Belgia, Perancis, dan Luxembourg, ditinggalkan. Begitu juga dengan skema Austria, marka Finlandia, mark Jerman, lira Italia, punt Irlandia, guilder Belanda, Portugal escudo dan peseta Spanyol.

Warga di 11 negara dari 27 negara kawasan Uni Eropa menggenggam euro sebagai mata uang baru mereka. Selama dua tahun pertama keberadaannya, sejak 1 Januari 1999, euro hanyalah mata uang elektronik atau unit moneter non-tunai atau giral yang digunakan oleh perbankan.

Uang jenis kartal atau secara fisik yang terdiri dari pecahan uang kertas dan koin atau logam untuk euro, baru muncul di 11 negara tersebut pada 1 Januari 2002. Masa transisi pergantian mata uang berlangsung sampai dengan 28 Februari 2002. Selanjutnya, euro (diwakili oleh simbol €) menjadi mata uang tunggal sah dari 12 negara anggota UE.

Kegagalan Euro?

Perang Dunia II jadi pelajaran penting bagi negara-negara Eropa. Jean Monnet dari Perancis, yang dianggap sebagai bapak pendiri Eropa modern, berpendapat bahwa integrasi ekonomi akan sangat penting untuk menghilangkan konflik antarnegara yang terjadi usai perang besar abad 20 itu.

Pada 1951, Monnet menjadi kepala arsitek Komunitas Batubara dan Baja Eropa, yang merupakan langkah signifikan menuju integrasi Eropa. “Cara untuk membangun serikat baru adalah melalui langkah-langkah bertahap menuju integrasi ekonomi yang suatu hari akan mengarah pada integrasi politik,” tulis Franco Pavoncello, rektor John Cabot University, Roma, pada Mei 2011, sebagaimana dilansir Council on Foreign Relations.

Langkah besar menuju integrasi Eropa berikutnya adalah Perjanjian Roma 1957. Sesuai kesepakatan tersebut, Perancis, Jerman, Italia, Belgia, Belanda, dan Luxembourg mendirikan Pasar Bersama dan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC). Pasar ini bertujuan menghapuskan tarif perdagangan antar negara anggota sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Pada Desember 1969 di Den Haag, Belanda, para pemimpin negara-negara Eropa mengambil lompatan besar dalam sejarah: mengusulkan mata uang tunggal. Pertimbangannya, pemberlakuan mata uang tunggal akan membuat para pebisnis dan pelancong tak perlu melakukan pertukaran mata uang antar-negara Eropa, sehingga mereka bakal lebih sering melakukan transaksi dan jalan-jalan di kawasan Eropa.

Selain itu, dengan bank sentral Eropa, Zona Euro akan memiliki kebijakan moneter yang seragam. Kebijakan ini tidak bisa ditentang atau dibantah oleh pemerintah masing-masing negara anggota. Oleh karena itu, untuk mencegah inflasi domestik dan mendorong pertumbuhan domestik, pemerintah semua negara harus bertanggung jawab secara fiskal.

Negara-negara yang menggunakan mata uang tunggal juga perlu mengoordinasikan kebijakan ekonomi mereka. Saat kerja sama terjalin, maka perdamaian akan semakin kokoh.

Ekspansi Eropa pada dekade berikutnya dipercepat, terutama dengan penandatanganan Undang-Undang Eropa Tunggal tahun 1986. Dasar hukum ini memfasilitasi pengembangan pasar internal Eropa, memungkinkan pertukaran bebas modal, barang, dan juga sumber daya manusia.

Akhirnya, rencana penggunaan mata uang tunggal di Uni Eropa pertama kali disepakati pada Perjanjian Maastricht tahun 1992. Penggunaan mata uang bersama adalah bagian dari strategi yang lebih besar, yaitu Uni Ekonomi dan Moneter (EMU).

Sebanyak 27 negara Uni Eropa adalah anggota EMU. Tapi, hanya sebagian saja yang memiliki dan memenuhi kriteria terkait kondisi ekonomi dan moneter yang harus dimiliki sebuah negara dalam konvergensi Maastricht tersebut.

Secara khusus, negara harus memastikan inflasi di bawah 1,5 persen, defisit anggaran di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), rasio utang terhadap PDB kurang dari 60 persen. Untuk memenuhi kriteria, banyak negara Uni Eropa harus mengadopsi reformasi anggaran yang ketat. Tapi dalam praktiknya, standar-standar ketentuan ekonomi itu tidak diterapkan secara konsisten di negara-negara Uni Eropa. Walhasil, krisis pun melanda.

“Ada uji tuntas yang sangat lemah dalam menilai kesesuaian untuk masuk Uni Eropa dan mengadopsi mata uang euro. Aplikasi yang sama lemah dari segi beberapa aturan yang seharusnya digunakan untuk mengawasi operasional,” ucap Jason Manolopoulos, seorang manajer dana lindung nilai dalam bukunya Greece’s Odious Debt (2011), masih melansir CFR.

Keinginan pejabat UE untuk mengembangkan zona kawasan Uni Eropa dan euro yang besar dan kompetitif membuat mereka mengabaikan tanda-tanda peringatan terjadinya krisis tersebut.

Efeknya pun kian nyata. Dalam kurun waktu tujuh tahun setelah mata uang euro resmi terbit secara fisik, masalah mulai membelit.

Pada April 2009, Uni Eropa memerintahkan Perancis, Spanyol, Republik Irlandia, dan Yunani untuk mengurangi defisit anggaran. Pasalnya, terdapat ketimpangan besar antara belanja negara dengan pendapatan dan penerimaan dari pajak. Pada November 2009, kekhawatiran akan utang beberapa negara anggota UE mulai tumbuh setelah krisis utang Dubai.

Akhir 2009, Yunani mengakui memiliki utang mencapai 300 miliar euro. Angka tersebut adalah jumlah utang tertinggi dalam sejarah modern. Nilainya setara 113 persen dari PDB Yunani dan hampir dua kali lipat dari batas ketetapan Zona Euro yang sebesar 60 persen.

Lembaga pemeringkat internasional mulai menurunkan ranking utang bank dan pemerintah Yunani. Padahal awal 2009, Slowakia resmi mengadopsi euro. Negara-negara lain seperti Estonia, Denmark, Latvia dan Lithuania juga bergabung dengan Mekanisme Nilai Tukar agar mata uang dan kebijakan moneter mereka sejalan dengan euro dalam rangka persiapan untuk bergabung dengan UE dan mengadopsi mata uang tunggal.

Laporan School of Public Policy, George Mason University, menyimpulkan: “Akar malapetaka fiskal Yunani terletak pada pembelanjaan defisit yang berkepanjangan, salah urus ekonomi, kesalahan pelaporan pemerintah, dan penggelapan pajak”.

Infografik Mozaik Euro

Infografik Mozaik Euro

Tak berhenti di situ, Irlandia dan Portugal juga memiliki permasalahan fiskal dan moneter. Krisis perbankan di Irlandia dipicu oleh runtuhnya pasar perumahan (subpreme mortgage) pada 2008. Pada November 2010, Irlandia terpaksa mengetuk pintu Uni Eropa-IMF untuk mengucurkan dana penyelamat senilai $112 miliar. Irlandia saat itu mengalami resesi paling parah di kawasan EU, dengan tingkat pengangguran naik menjadi hampir 13 persen pada 2010, dari yang sebelumnya di level 4,5 persen.

Masalah yang sama menimpa Spanyol yang pada 2012 terpaksa meminta dana talangan moneter internasional sebesar $123 juta untuk rekapitalisasi perbankan yang mengalami kesulitan.

Portugal memiliki defisit yang dibiayai utang luar negeri mencapai lebih dari 10 persen PDB pada 2009. Artinya, jika investor asing menarik diri dan memindahkan dana ke negara lain, Portugal tidak bisa lagi membiayai dirinya sendiri. Mei 2011, Portugal meminta paket bailout senilai $116 miliar.

Akhir 2011, pusat krisis utang bergeser ke negara-negara Eropa yang lebih besar termasuk Italia yang memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di Zona Euro. Utang publik pemerintah Italia mencapai lebih dari $2,6 triliun yang tidak bisa ditangani oleh bailout.

Awal 2013, sektor perbankan di Siprus yang tidak seimbang mengalami keruntuhan besar-besaran. Perbankan Siprus adalah pihak yang paling banyak memegang surat utang atau obligasi pemerintah Yunani yang didevaluasi. Pemotongan nilai mata uang Yunani itu mengakibatkan Siprus harus menerima dana talangan $13 miliar.

Bank terbesar Siprus, Laiki, gulung tikar lantaran mengalami kerugian besar atas obligasi dan devaluasi Yunani. Hengkangnya para pemodal asing mengakibatkan banyak sektor keuangan Siprus bangkrut.

Makalah klasik yang ditulis oleh Milton Friedman pada 1968 berjudul "The Role of Monetary Policy" (PDF), menjelaskan bahwa fungsi utama kebijakan moneter adalah membantu meminimalisir dislokasi ekonomi makro. Artinya, mencegah ledakan ekonomi menjadi terlalu besar dan mengurangi waktu ekonomi resesi yang dialami suatu negara.

Friedman menegaskan, kebijakan moneter tidak dapat membantu sebuah negara meningkatkan prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Buruknya kebijakan moneter yang diterapkan dapat menyebabkan kerusakan dan mengurangi prospek pertumbuhan jangka panjang. Kebijakan moneter yang keliru dan tidak tepat waktu menggagalkan fungsi ekonomi normal.

Para pemimpin negara Uni Eropa mungkin tidak menyadari teorema Friedman tentang peran dan batasan kebijakan moneter. Sejatinya, penggunaan mata uang tunggal tidak dapat memberikan kemakmuran ekonomi. Selain itu, keuntungan politik yang dijanjikan dari mata uang tunggal adalah ilusi.

Pasalnya, para pemimpin Uni Eropa tidak akan menyerahkan pendapatan pajak negara mereka masing-masing untuk mengucurkan bantuan kepada negeri-negeri jiran yang tengah kesulitan.

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Windu Jusuf